di tikungan senja
daku takut menyongsong malam
karena lilitan masalah memalangkan tidur
pada selasar subuh
daku enggan bersua pagi
sebab himpitan soal membayangi perjalanan
malam terlilit
siang terhimpit
siang malam terjepit
Minggu, 31 Mei 2015
JAUH-DEKAT
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
20.57
Duduk-duduk santai bersama karib, kerabat, kawan dan beberapa kisanak lainnya, pastilah seru. Sebab, terbayang sudah keriangan yang bakal muncrat dari setiap diri, mau menebus rasa kangennya yang menahun. Tapi apa lacur, di luar dugaan, malah acara itu nyaris sepi, separuh diam, lebih banyak kebisuan. Sahaya memerhatikan setiap diri yang terlibat, sambil bertanya di lumbung hati, mengapa sela kita begitu dekat tapi terasa jauh jaraknya? Kali ini Gurui Han angkat bicara dengan nada miris yang memiringkan telinga pendengarnya (?) : "Dalam sebuah pertemuan yang seharusnya lebur, cairan kegairahan hati mengalir, membasahi setiap diri. Tapi ada saja yang membekukannya, semisal pangkat, status, usia dan isi dompet, sebagai penyela satu sama lain Namun itu lagu lama. Ada pembeku yang paling dahsyat saat ini, yakni perangkat gadget, HP pintar dan sejenisnya. Bayangkanlah, kita sudah saling duduk berdekatan, berhadap-hadapan, namun tak saling bicara, lebih memilih teman bicara yang jauh di seberang sana lewat gadget. Yang dekat terasa tiada, yang jauh amat dekat. Lalu apa makna persamuhan, jikalau kita semua pada sibuk dengan tindisan huruf dan sentuhan layar ponsel pintar, sambil terkekeh sendiri?"
Selasa, 26 Mei 2015
TANGANMU
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
19.43
Kujabat tanganmu
Kuremas meresap
dalam khusyuk
Sepertilah daku
menggenggam parut
ada bara yang dikau
kepal demi hayat
dengan bara
dikau lukis hidup
di parut tapak tanganmu
tapak tangan
berparut itulah
yang dikau angkat
bersama bara
setinggi matahari
di pengadilan akhir
tangan berparut
penyelemat hayat
bersaksi nyata merdeka
dari neraka
tangan berparut
penggenggam bara
pembebas di
kedisinian dan keabadian
FITNAH
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
03.47
Gerah pikiran, resah jiwa, dan rusuh hati menyaksikan saling fitnah merajalela di dunia maya. Lewat pernyataan kebencian, gambar hoax, pemelintiran status.dan modus lainnya. Tanpa tedeng aling-aling, rasa sungkan hilang, sahaya langsung menohok tanya pada Guru Han, apa pendapatnya: " Seharusnya yang menjawab pertanyaan ini adalah para ulama, yang bisa memberikan ketetapan hukum akan fitnah di dunia maya. Tapi, patut kita menduga bahwa seseorang terlibat fitnah di dunia maya, ia melakukannya karena merasa tidak kena hukum bersalah, cukup dengan menghapus postingannya itu, selesai masalah (?). Atau ia beranggapan, sebab fitnahan itu dilakukannya lewat akun, plus akun palsu, maka yang akan dihukumi nanti kelak adalah akun itu. Maka lihatlah, tidak sedikit para penebar fitnah itu menggunakan akun palsu atau gonta ganti akun. Entahlah, ini sekadar dugaan saja."
PERBEDAAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
03.01
Terlibat dalam diskursus tentang perbedaan-perbedaan yang selalu berujung pada ketidakharmonisan. Entah itu di dunia maya maupun di dunia nyata, bahkan tidak sedikit yang bermuara pada kekerasan. Sahaya memelas pada Guru Han agar berpendapat: " Memang sulit sekali mengajak seseorang, atau sekelompok orang untuk memahami perbedaan yang terjadi antara sesama, jikalau selalu yang berbeda pada diri dipandang sebagai keganjilan. Hanya karena kita tidak terbiasa dengan sesuatu yang luar biasa bagi orang-kelompok lain, lantas kita memvonisnya sebagai keganjilan bahkan kesalahan. Sebagai misal, kita yang terbiasa makan beras sebagai makanan pokok, lantas melihat aneh orang lain yang menjadikan sagu sebagai makanan utamanya. Padahal, kalau situasinya yang dibalik, maka sesungguhnyalah kita yang termasuk aneh di mata mereka."
BERAS
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
00.54
Dari kejauhan sayup-sayup terdengar deru mesin, makin dekat makin keras derunya. Pun asap mengepul dari pembakaran sekam, tercium aroma yang mengekstasi, memandu ke masa kanak-kanak, kala membakar ubi dan jagung digundukannya. Sahaya masuk ke pabrik, melihat proses penggilingan dari gabah menjadi beras. Nampaklah beberapa biji gabah yang tak terolah oleh mesin, tetaplah ia bersejati gabah. Di kebisingan itulah, Guru Han menghentakkan suara melampaui deru mesin: " Dari mesin inilah kita layak belajar. Gabah yang tak berhasil jadi beras, bisa disebabkan oleh gabahnya yang masih kurang kering atau mesin penggiling yang tak berfungsi maksimal. Ibaratnya informasi itu adalah gabah, yang bakal kita olah untuk menentramkan khalayak, seharusnya nantilah jadi beras baru disebarkan. Sebab, kalau masih dalam bentuk gabah, tapi sudah dinyatakan sebagai beras, hanya karena sudah melalui mesin penggiling, informasi itu bakal jadi fitnah yang mengacaukan khalayak. Selayaknya, jiwa yang paripurna, mengolah informasi yang masih berbentuk gabah itu menjadi beras barulah disebarkan. Biar kulit padi itu jadi sekam lalu dibakar, dan isinya berupa beras mengenyangkan bagi yang memakannya."
MAKANAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
00.26
Canda ria, keluh kesah campur aduk menari-nari di selasar pondok kerabat. Duduk soalnya, salah seorang kerabat mengajukan masalahnya yang amat merisaukan dirinya. Oleh seorang dokter divonislah ia dengan seperangkat paket penyakit beserta pantangan makanan yang tak boleh dikonsumsi. Matilah ia dalam keadaan hidup, setidaknya menurut telisikan sahaya atas gundahnya. Oleh Guru Han, dinasehatilah kami dengan tutur penawar: " Penyakit datang karena diundang, dan salah satu bentuk undangannya adalah makanan. Makanan pavorit yang dikonsumsi secara berlebihan, pasti menuaikan penyakit sebagai bukti akan ketaklukanmu pada makanan kesukaanmu itu. Jadi, makanan yang disantap berkorelasi langsung dengan penyakit yang datang. Bukankah banyak orang mengundang penyakitnya, melalui makanan yang disukainya?"
Senin, 25 Mei 2015
AIRMATAMU
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
03.44
menangislah bila itu jalan terakhir
akan kugenggam airmatamu
lalu kusakukan di sudut jiwaku
merintihlah bila memang pedih
hendak kubekukan airmatamu
di lemari pendingin pikirku
kelak nanti
kala kegersangan jiwa menjamur
aku cairkan kebekuan airmatamu itu
buat menghangatkan pelataran luka kita
Sabtu, 23 Mei 2015
HIDUP
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
22.09
Selaku pengguna
jalan, begitu banyak trauma psikis yang diproduksi. Jengkel, dongkol, kesal dan
berbagai polusi jiwa lainnya. Tiba-tiba jalan poros macet, sahaya menduga ada
demonstrasi. Ternyata, pada pinggiran trotoar jalan, dua orang penjual kaki
lima bersitegang. Soalnya, penjual yang satu melarang penjual yang lain
menempati lahan yang masih kosong di sebelah kiosnya. Padahal lahan itu tidak
digunakan, dan bukan pula ia yang punya. Guru Han geleng-geleng kepala sambil
menggumamkan tutur: “Sama-sama mencari hidup, tapi dengan cara mematikan yang
lain. Berusaha hidup dengan cara membunuh orang lain, itulah prilaku hewani.
Tidaklah perlu menegaskan diri sebagai manusia, tapi dengan cara hewani.”
Rabu, 20 Mei 2015
DEMONSTRASI
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
15.49
Seorang mantan raja jalanan, maksudnya mantan demonstran semasa mahasiswa, mendatangi mukim sahaya. Dikeluhkannya ulah para demonstran saat ini, yang menurutnya hanya kesemrautan yang didedahkan. Demonstrasi berarti semraut. Guru Han, yang juga sesekali mengikuti demonstrasi semasa mudanya pun ikut menyimak, lalu menabalkan kesimpulannya terhadap pola demonstrasi: " Sederhana saja memprediksi awal dan akhir demonstrasi saat ini. Segerombolan massa yang mengatas namakan dirinya mahasiswa mengajukan tuntutan, berusaha bentrok atau diupayakan bentrok dengan pihak keamanan, lalu ada sekerumunan massa yang mengatas namakan masyarakat ikut bantu keamanan, maka bentroklah ketiganya dalam sebuah pertunjukan drama yang dramatis. Karena polanya begitu saja dari demonstrasi yang satu ke berikutnya, pertanyaan yang tersisa, mengapa mesti demikian? Seolah peristiwa itu hanya siaran ulang bak tayangan televisi."
KUKUH
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
15.14
Pada suatu senja yang lembut, seiring dengan makin jinaknya terik mentari, seorang kawan bercerita akan capeknya menghadapi kehidupan, lelah melihat dunia yang makin runyam. Gairah hidup makin melambat dan mungkin lebih baik kehidupan berhenti saja. Sahaya pun menyatakan bahwa, suasana semisal itu pernah melilit diri, dan kini dunia masih menarik untuk dikencani, sebab Guru Han pernah bertutur: " Manakala dikau terjebak dalam rumitnya kehidupan, lelah menghadapinya, maka yang perlu dikau lakukan, tetaplah membangun visi yang indah terhadapnya. Carilah keindahan dan visualisasikan, lalu praktiskanlah dalam langkah-langkah konkrit nan sederhana. Menaklukkan dunia, tidak mesti dengan langkah besar, bersikukuh pada perbuatan sederhana namun berarti bagi kehidupan, itulah yang lebih mendesak."
TAMPARAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.57
Seharian berkumpul dengan beberapa orang karib, di beranda tempat mengais nafkah, sahaya terlibat perbincangan mendalam, mulai dari urusan negara yang amat rumit, hingga soal potensi diri yang mesti harus diaktuilkan. Dalam keriuhan perlintasan gagasan, tiba-tiba saja Guru Han menyelipkan sebongkah pengharapan pada seonggok tutur: " Menghalau keburukan, tidaklah mesti kita langsung menonjok si pembuat onar. Ada cara yang lebih bersahaja, dengan cara menunjukkan kebaikan yang begitu berlimpah, yang telah diperbuat oleh begitu banyak orang di sekeliling kita. Mengaktuilkan perbuatan baik, berarti tamparan keras bagi pecinta keburukan."
Selasa, 19 Mei 2015
Minggu, 17 Mei 2015
MANTRA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
00.31
mungkin dikau kecewa
karena telah kusodorkan
bongkahan kata
sebagai jawabanku
padahal yang dikau ingin
berbongkah batumerah
bergunduk pasir
bersak semen
bongkahan kata yang daku saji
bolelhlah jadi mantra guna membikin
batumerah-pasir-semen
jadi utuh seutuhnya
tapi memang dikau suka
yang serba jadi
jalan pintas sintas
buat citramu selintas
Jumat, 15 Mei 2015
Nyatakan Saja dengan Buku
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
00.03
Nyatakan Saja
dengan Buku
( Tempo, 15 Mei
2015 )
Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi
Kehadiran buku
adalah bukti faktual keberadaan umat manusia sebagai makhluk terbaik di jagat. Rekaman
keadaban manusia sebagai sosok yang lantip mewujudkan peradabannya. Sebab, melalui
bukulah masa lalu bisa didaras ulang, era kiwari dapat di utak-atik, masa depan
mampu diintip. Sejarah buku merupakan sari diri peradaban umat manusia selaku
makhluk terbaik yang melata di atas bumi. Pun, teknologi industri perbukuan
makin canggih dengan hadirnya e-book
(buku digital) yang cukup mengusik buku cetak.
Entah sudah
berapa kali, saya belanja pada sebuah toko buku di salah satu pojok Universitas.
Cukup lama baru saya sadari, setelah mengamati lembaran kwitansi pembayaran, selain
jumlah harga buku, juga tertulis tagline dari toko buku tersebut:
Nyatakan Saja dengan Buku.
Pada dinding
belakang meja kasir pemiliknya termaktub penegasan akan keberadaan tokonya:
Apapun Perofesi Anda, Bukunya Ada pada Kami. Dan, bulan yang lalu, toko buku itu
sudah tutup, lalu pemiliknya beralih jualan. Konon, alasan tutupnya toko buku adalah
lesu penjualan. Belum lama berselang, rupanya ada toko buku yang cukup besar di
bagian utara kota ini, yang juga tutup. Singkatnya, awal tahun 2015 kota
Makassar telah kehilangan dua toko buku.
Padahal, kita
baru saja memperingati Hari Buku Sedunia ( World Book Day), yang jatuh setiap
tanggal 23 April. Dunia memperingati hari buku, itu berarti mensupport
peradaban, peradaban buku. Dan Ahad, 17 Mei besok, kita akan memperingati Hari
Buku Nasional, hari peresmian Perpustakaan Nasional di Jakarta, 35 tahun lalu.
Ada pula
kebiasaan saya, yang mungkin kurang populer saat ini. Paling tidak peristiwa
ini sebagai rujukannya. Sekali waktu, saya menghadiri hajatan pernikahan seorang
kawan. Kubawalah kado berisi buku sebagai tanda restu atas perkawinannya.
Rupanya, di tempat resepsi tidak disiapkan tempat kado, yang tersedia cuma dua
guci tempat memasukkan amplop berisi uang undangan. Keluarga pengantin tak
begitu respek atas kadoku, maka diletakkannyalah persembahanku itu pada tempat
yang kurang layak.
Banyak faktor
yang bisa dituduhkan sebagai penyebab menurunnya minat terhadap buku. Dalil
klasik tiada lain kurangnya minat baca, otomatis minat pada buku pun rendah. Bidikan
paling mutakhir tertuju pada semakin majunya teknologi komunikasi, hadirnya
internet yang memudahkan akses ilmu pengetahuan. Perangkat gadget yang
menggila di pasaran, ikut dituding sebagai biang yang ikut menggilas keberadaan
buku. Hadirnya e-book, semakin menguatkan premis itu. Apatah lagi,
lahirnya generasi Z, sebagai penggelaran untuk generasi muda sekarang ini, yang
gaya hidupnya tak bisa lagi lepas dari serbuan perangkat gadget yang
perangkapnya tak terduga. Dan tak begitu bangga lagi menenteng buku.
Saya lalu
teringat akan sebuah buku yang berjudul Elegi Gutenberg, ditulis oleh
Putut Widjanarko sewaktu masih memimpin salah satu penerbit berpengaruh di
tanah air.
Ulasan Putut
menarik untuk diajukan, guna melihat posisi kehadiran e-book di tengah
saudara tuanya, buku cetak. Menurutnya, saat ini, ada dua teritori. Pertama, teritori yang dikembarai lewat buku
tercetak, inilah teritori Gutenberg, sebagai era yang dinisbahkan untuk
menggelari produk mesin cetak. Sebuah teritori yang memberi pengalaman estetis,
untuk tidak menyebut pengalaman spiritual, yang karenanya bersifat personal.
Serta, bagi sebagian orang, mungkin tak tergantikan oleh medium lain.
Kedua, teritori cyberspace
-- mewakili ujung kemutakhiran tekhnologi—yang tidak bisa mempengaruhi, atau
mudah mengubah dunia literer. Dan perubahan itu bisa menyeluruh: dari sekadar
cara baru distribusi buku lewat toko buku online, penyebaran langsung
isi buku tanpa harus dicetak sama sekali, hingga –kalau ada—pengalaman estetis
baru yang sama sekali berbeda, atau malah bertentangan.
Tulisan Putut cukup
menghibur para pecinta buku dan pebisnis buku. Menarik bila hasil riset
diajukan sebagai penguat akan masih pentingnya berpegang teguh pada buku. Saya
nukilkan publikasi hasil riset dari media Time Healthland, tahun 2012. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa membaca materi dari buku cetak lebih mudah diingat untuk
jangka panjang dibanding membaca lewat layar.
“Apa yang kami temukan adalah bahwa
orang-orang yang membaca dari kertas lebih cepat merasa tahu atas informasi
yang dibaca. Ketika membaca lewat komputer, dibutuhkan waktu yang lebih lama
dan harus membaca berulang-ulang agar pembaca dapat menjadi tahu,” kata Kate
Garland, dosen psikologi di University of Leicester Inggris.
Selayaknya kehadiran
e-book menjadi mitra buku cetak. Tidak harus saling meniadakan, apalagi
menggusur. Keduanya adalah produk peradaban, sebagai bukti akan keistimewaan
umat manusia dalam hidup berkemajuan. E-book harus dipandang sebagai
cara mudah mengakses ilmu pengetahuan, dengan segala resiko kekurangan yang
mengiringinya, dan tanpa harus menampik keberadaan buku cetak. Bahkan di negara
maju sekalipun, kehadiran buku cetak masih menempati penanda peradaban
terdepan. Tak perlulah risau akan keberadaan buku cetak, dengan segala macam ancaman
terhadapnya, sebab masih punya daya tarik yang tak mungkin digantikan oleh e-book.
Jadi, bila ada
kepentingan untuk menyatakan hasrat, pada suatu momentum kehidupan yang sarat
arti kehayatan, sodorkanlah buku sebagai penandanya, sebagai bukti akan
keadaban, penghias peradaban, lantaran kita adalah makhluk yang beradab. Buku
adalah produk sekaligus penjaga peradaban. Benderangkanlah dengan buku akan
keberadaban, selaku makhluk beradab. Karlina Leksono bilang, memang buku
hanyalah benda mati, tapi di dalamnya ada kehidupan. Maka tak ada salahnya menyatakan
hidup dengan buku.
Kamis, 14 Mei 2015
Bahagia Itu Mudah
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
23.49
Bahagia Itu Mudah
( Tempo, Jumat 17 April 2015 )
Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi
Bahagia sumbernya
dari dalam diri, yang di luar diri hanya sekadar pemantik agar api kebahagiaan
menjilati diri. Bagi diri yang berbahagia, apapun medium di sekitarnya bisa
menjadi sarana untuk membahagiakan diri. Keharuan bersetubuh kegembiraan itulah
kebahagiaan. Tersenyum sumringah adalah puncak bahagia.
Sekali waktu,
tepatnya 9 April 2015 bertempat di
gedung IPTEKS Lt.2 UNHAS, saya menghadiri acara Seminar Internasional tentang
Perempuan, Masyarakat dan Politik Internasional. Seminar menobatkan tiga
pembicara, Alwy Rachman (Budayawan), Fariba Alasvand (Aktivis perempuan Iran)
dan Dina Y. Sulaeman (Pengamat Timur Tengah). Oleh penyelenggara, yang diwakili
oleh Fitrinela Patonangi dari Human Imparsial Institut, peserta diajak untuk
mengikuti acara seminar itu dengan penuh rasa bahagia. Menjadikan persilatan
pengetahuan itu sebagai arena kebahagiaan, kendatipun seminar itu bukanlah
bertema kebahagiaan. Dan benar saja adanya, setidaknya menurut saya, acara itu
membahagiakan semua pihak, baik saat seminar berlangsung maupun ketika
perhelatan itu selesai, para peserta dililiti senyum sumringah.
Beberapa waktu
sebelumnya, pada 15 Maret 2015, saya menyambangi perhajatan acara bertajuk
Hutan Bernyanyi. Even ini memilih hutan Campaga di Kab. Bantaeng sebagai
lokasinya. Kolaborasi apik antara Kedai Buku Jeni (KBJ), Titik Bias, Balang
Institute dan Komplen Bantaeng, menyajikan menu acara musik, teater, baca
puisi, sudut baca, tehnik menyablon dan kreatifitas lainnya. Tentu hajatan
utama dari acara ini adalah mengkampanyekan pelestarian hutan. Bagi pegiat
literasi semisal saya, acara yang dibuka oleh Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah
adalah sejenis gerakan literasi paling mutakhir, sebab gerakan literasi
digandengkan dengan berbagai macam icon budaya pop. Dan dari perhelatan ini pula, saya mendapati
sebuah banner yang dipasang dekat tiang pengeras suara, sejumput
penegasan: Bahagia Itu Mudah.
Bilakah bahagia
itu mudah? Berondongan momen-momen di atas jelas mengantarkan pada rasa
bahagia. Dengan begitu, amatlah memang mudah untuk berbahagia, cukuplah
terlibat menghadiri acara-acara yang mungkin memang ditujukan untuk
membahagiakan diri. Tetapi kebahagiaan sejenis itu, hanyalah kebahagiaan
sesaat, hanya dirasakan sewaktu terlibat dalam perhelatan. Singkatnya, barulah
letupan-letupan bahagia, bahagia yang bersifat temporer, karena bahagia
tercipta kala diri terlibat dalam sebuah momentum saja. Lalu, adakah cara
berbahagia yang lebih permanen?
Adalah Matthew B.
Crawford, sesosok doktor ilmu politik dan pemilik bengkel motor, yang
menawarkan cara berbahagia yang lebih bersifat permanen, yakni berbahagia lewat
pekerjaan, melalui profesi yang kita geluti. Dalam bukunya, Shop Class As
Soulcraft, Matthew menabalkan sebuah filosofi kerja, menemukan makna
pekerjaan agar hidup lebih menyenangkan. Walakin, penegasannya ini berbasis
pada pengalaman pribadinya yang tetap bersikukuh pada pekerjaan manual berbasis
pikiran dan keterampilan tangan.
Tidaklah
berlebihan pula manakala saya mengajukan perspektif yang berdasar pada
pendekatan psikologi positif tentang
berbahagia melalui pekerjaan. Seorang Martin E.P. Seligman, pendiri Psikologi
Positif dalam bukunya yang sangat
fenomenal, Authentic Happiness, telah melakukan banyak riset tentang
hubung kait antara pekerjaan seseorang dengan kebahagiaan yang diraihnya.
Hingga tibalah pada simpaian ujar bahwa Anda perlu mengeluarkan
kekuatan-kekuatan khas Anda untuk menggumuli pekerjaan. Memoles ulang pekerjaan
Anda untuk mengeluarkan kekuatan dan kebajikan setiap hari bukan saja membuat
pekerjaan lebih menyenangkan, tetapi juga mengubah pekerjaan membosankan atau
karier yang mandek menjadi suatu panggilan hati.
“ Panggilan hati
merupakan bentuk pekerjaan yang paling memuaskan, karena sebagai suatu
gratifikasi, ia dilakukan demi pekerjaan itu sendiri bukan demi keuntungan
materi yang diberikannya. Saya memprediksikan, sebentar lagi kondisi flow
dalam pekerjaan akan menjadi alasan utama bekerja, mengalahkan imbalan
material. Perusahaan yang meningkatkan kondisi ini bagi karyawannya akan
mengalahkan perusahaan yang hanya mengandalkan penghargaan berupa uang. Yang
lebih penting lagi, dengan terpenuhinya kini kebutuhan hidup dan kebebasan
secara minimal cukup baik, kita akan menyaksikan politik yang tidak sekadar
memperhatikan garis kecukupan, tetapi juga menangani pencarian kebahagiaan
dengan serius.” Tulis Martin.
Sebagai
alternatif pemikiran penguat atas Matthew dan Martin, saya ajukan pula gagasan, sebagai langkah awal dalam memilih
pekerjaan. Tentu tiada lain maksudnya, agar setiap diri bisa berbahagia dengan
pekerjaannya. Sedapat mungkin kita memilih pekerjaan bertolak pada kesukaan
atau hobi atas bakal pekerjaan yang dipilih. Selayaknya pula menjatuhkan
pilihan pekerjaan agar idealisme diri bisa tegak di dalamnya. Dan, yang tak
kalah pentingnya, pekerjaan itu berdampak pula pada adanya imbalan nafkah yang
pantas.
Memang sumber
kebahagian itu datangnya dari dalam diri, namun pemantiknya berasal dari luar
diri. Momen-momen perhelatan yang memancing rasa bahagia perlu untuk selalu
disambangi agar api kebahagiaan terus membara membakar diri. Namun yang lebih
fantastis tentunya, sedapat-dapatnya pekerjaanlah yang membuat diri bahagia.
Sebab berjebah diri menderita, dikarenakan pekerjaan yang tidak mengantarkan
pada kebahagiaan.
Padahal jauh di masa
silam, Imam Ali bin Abi Thalib telah bersabda: “ Rekreasi terbaik adalah dengan
bekerja.” Bukankah segala sesuatu yang
bersifat rekreatif pasti menyenangkan? Bersenang-senang merupakan salah satu
pintu masuk pada rumah kebahagiaan. Dan ternyata, bahagia itu mudah, cukup
dengan bekerja dalam suasana keharuan akan hasil, larut di dalam kegembiraan
pada capaian. Bekerjalah agar berbahagia.
Nyatakan Saja dengan Buku
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
23.43
Nyatakan Saja
dengan Buku
( Tempo, 15 Mei
2015 )
Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi
Kehadiran buku
adalah bukti faktual keberadaan umat manusia sebagai makhluk terbaik di jagat. Rekaman
keadaban manusia sebagai sosok yang lantip mewujudkan peradabannya. Sebab, melalui
bukulah masa lalu bisa didaras ulang, era kiwari dapat di utak-atik, masa depan
mampu diintip. Sejarah buku merupakan sari diri peradaban umat manusia selaku
makhluk terbaik yang melata di atas bumi. Pun, teknologi industri perbukuan
makin canggih dengan hadirnya e-book
(buku digital) yang cukup mengusik buku cetak.
Entah sudah
berapa kali, saya belanja pada sebuah toko buku di salah satu pojok Universitas.
Cukup lama baru saya sadari, setelah mengamati lembaran kwitansi pembayaran, selain
jumlah harga buku, juga tertulis tagline dari toko buku tersebut:
Nyatakan Saja dengan Buku.
Pada dinding
belakang meja kasir pemiliknya termaktub penegasan akan keberadaan tokonya:
Apapun Perofesi Anda, Bukunya Ada pada Kami. Dan, bulan yang lalu, toko buku
itu sudah tutup, lalu pemiliknya beralih jualan. Konon, alasan tutupnya toko
buku adalah lesu penjualan. Belum lama berselang, rupanya ada toko buku yang
cukup besar di bagian utara kota ini, yang juga tutup. Singkatnya, awal tahun
2015 kota Makassar telah kehilangan dua toko buku.
Padahal, kita
baru saja memperingati Hari Buku Sedunia ( World Book Day), yang jatuh setiap
tanggal 23 April. Dunia memperingati hari buku, itu berarti mensupport
peradaban, peradaban buku. Dan Ahad, 17 Mei besok, kita akan memperingati Hari
Buku Nasional, hari peresmian Perpustakaan Nasional di Jakarta, 35 tahun lalu.
Ada pula
kebiasaan saya, yang mungkin kurang populer saat ini. Paling tidak peristiwa
ini sebagai rujukannya. Sekali waktu, saya menghadiri hajatan pernikahan
seorang kawan. Kubawalah kado berisi buku sebagai tanda restu atas
perkawinannya. Rupanya, di tempat resepsi tidak disiapkan tempat kado, yang
tersedia cuma dua guci tempat memasukkan amplop berisi uang undangan. Keluarga
pengantin tak begitu respek atas kadoku, maka diletakkannyalah persembahanku
itu pada tempat yang kurang layak.
Banyak faktor
yang bisa dituduhkan sebagai penyebab menurunnya minat terhadap buku. Dalil
klasik tiada lain kurangnya minat baca, otomatis minat pada buku pun rendah. Bidikan
paling mutakhir tertuju pada semakin majunya teknologi komunikasi, hadirnya
internet yang memudahkan akses ilmu pengetahuan. Perangkat gadget yang
menggila di pasaran, ikut dituding sebagai biang yang ikut menggilas keberadaan
buku. Hadirnya e-book, semakin menguatkan premis itu. Apatah lagi,
lahirnya generasi Z, sebagai penggelaran untuk generasi muda sekarang ini, yang
gaya hidupnya tak bisa lagi lepas dari serbuan perangkat gadget yang
perangkapnya tak terduga. Dan tak begitu bangga lagi menenteng buku.
Saya lalu
teringat akan sebuah buku yang berjudul Elegi Gutenberg, ditulis oleh
Putut Widjanarko sewaktu masih memimpin salah satu penerbit berpengaruh di
tanah air.
Ulasan Putut
menarik untuk diajukan, guna melihat posisi kehadiran e-book di tengah
saudara tuanya, buku cetak. Menurutnya, saat ini, ada dua teritori. Pertama, teritori yang dikembarai lewat buku
tercetak, inilah teritori Gutenberg, sebagai era yang dinisbahkan untuk
menggelari produk mesin cetak. Sebuah teritori yang memberi pengalaman estetis,
untuk tidak menyebut pengalaman spiritual, yang karenanya bersifat personal.
Serta, bagi sebagian orang, mungkin tak tergantikan oleh medium lain.
Kedua, teritori cyberspace
-- mewakili ujung kemutakhiran tekhnologi—yang tidak bisa mempengaruhi, atau
mudah mengubah dunia literer. Dan perubahan itu bisa menyeluruh: dari sekadar
cara baru distribusi buku lewat toko buku online, penyebaran langsung
isi buku tanpa harus dicetak sama sekali, hingga –kalau ada—pengalaman estetis
baru yang sama sekali berbeda, atau malah bertentangan.
Tulisan Putut cukup
menghibur para pecinta buku dan pebisnis buku. Menarik bila hasil riset
diajukan sebagai penguat akan masih pentingnya berpegang teguh pada buku. Saya
nukilkan publikasi hasil riset dari media Time Healthland, tahun 2012. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa membaca materi dari buku cetak lebih mudah diingat untuk
jangka panjang dibanding membaca lewat layar.
“Apa yang kami temukan adalah bahwa
orang-orang yang membaca dari kertas lebih cepat merasa tahu atas informasi
yang dibaca. Ketika membaca lewat komputer, dibutuhkan waktu yang lebih lama
dan harus membaca berulang-ulang agar pembaca dapat menjadi tahu,” kata Kate
Garland, dosen psikologi di University of Leicester Inggris.
Selayaknya kehadiran
e-book menjadi mitra buku cetak. Tidak harus saling meniadakan, apalagi
menggusur. Keduanya adalah produk peradaban, sebagai bukti akan keistimewaan
umat manusia dalam hidup berkemajuan. E-book harus dipandang sebagai
cara mudah mengakses ilmu pengetahuan, dengan segala resiko kekurangan yang
mengiringinya, dan tanpa harus menampik keberadaan buku cetak. Bahkan di negara
maju sekalipun, kehadiran buku cetak masih menempati penanda peradaban
terdepan. Tak perlulah risau akan keberadaan buku cetak, dengan segala macam ancaman
terhadapnya, sebab masih punya daya tarik yang tak mungkin digantikan oleh e-book.
Jadi, bila ada
kepentingan untuk menyatakan hasrat, pada suatu momentum kehidupan yang sarat
arti kehayatan, sodorkanlah buku sebagai penandanya, sebagai bukti akan
keadaban, penghias peradaban, lantaran kita adalah makhluk yang beradab. Buku
adalah produk sekaligus penjaga peradaban. Benderangkanlah dengan buku akan
keberadaban, selaku makhluk beradab. Karlina Leksono bilang, memang buku
hanyalah benda mati, tapi di dalamnya ada kehidupan. Maka tak ada salahnya menyatakan
hidup dengan buku.
SERAGAM
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
23.41
Kaget bukan
kepalang, sahaya nyaris diseruduk oleh segerombolan pelajar sekolah menengah
atas yang baru saja merayakan kelulusannya. Suara motor yang meraung-raung,
baju putihnya sudah berwarna-warni karena telah mereka cet. Sahaya lalu menepi,
berteduh sejenak di keteduhan pohon, sambil menenangkan diri dari kaget. Di
detik itulah Guru Han menuturkan kalimat penenang: “ Mereka para pelajar itu
hanyalah korban dari penyeragaman. Sebab, mereka sejak sekolah dasar, menengah
hingga atas, selalu saja diseragamkan pakaiannya. Maka berontaklah mereka
dengan cara mewarna-warnikan bajunya, karena sesungguhnya mereka rindu pada
keragaman warna-warni, sebentuk fitrah kehidupan yang berwarna-warni. Coba
tengok yang sudah mahasiswa, kala mereka lulus jadi sarjana, masihkah ada yang
mewarnai bajunya? Tidak lagi, sebab selama mereka kuliah, sudah menikmati
warna-warni bajunya, sebagai manifestasi dari kebebasan menikmati warna-warni
kehidupan.”
Selasa, 12 Mei 2015
KHRISNA PABHICARA: BENAR-BENAR PABICARA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
20.26
Saya langsung saja mengiyakan, ketikan pesan
pendek panitia penyelenggara meminta kepada saya untuk berbicara pada Seminar
Nasional tentang gerakan literasi, yang
bertajuk: Membangun Etos Writership di Kalangan Pemuda, yang dilakasanakan
oleh Pemuda Muslim Indonesia Takalar,
pada hari Selasa, 19 Juni 2012, di Takalar. Salah satu kebiasaan baik saya
adalah mengiya terlebih dahulu, kalau kegiatan itu berdimensi literasi. Maklum
saja, saya lagi mendefenisikan diri sebagai pegiat literasi.
Tapi yang lebih menarik lagi bagi saya adalah,
karena pesan pendek itu disusul dengan pemberitahuan bahwa akan dipanel dengan
Khrisna Pabichara, yang penulis novel best seller saat ini, yang berjudul: Sepatu
Dahlan, terbitan Noura Books-Mizan Group. Saking lakunya novel ini, untuk
bulan mei 2012 saja, sudah dua kali naik
cetak. Saya hanya ingin katakan: Miracle, ajaib. Selain mengarang novel,
Khrisna juga menganggit cerpen yang terkompilasi dalam kumpulan cerpennya, Gadis
Pakarena. Dan juga menulis beberapa buku how to.
Sesungguhnya, kalau saja tahun lalu saya
mengiyakan ajakan seorang pegiat literasi, Kasman Mc Tutu untuk menjadi
pembicara, ketika mendeklarasikan
Komunitas Pena Hijau di Takalar, saat
itu pula saya sudah ketemu dengan Khrisna, karena ia pun hadir pada acara itu.
Namun, karena ada agenda lain, yang sama pentingnya di tempat lain, maka
pertemuan itu pun tertunda hingga setahun
kemudian.
Akhirnya, waktu yang direncanakan pun tiba.
Pada dini hari setelah menyaksikan Piala Eropa, antara Spanyol dan Kroasia
(1-0), lalu shalat Subuh, setelah itu buat tulisan atas topik yang diberikan
kepada saya untuk disajikan pada seminar itu. Sub tema yang diamanahkan kepada
saya adalah: Menumbuhkan Writerprenur, Membangun Masyarakat Literasi.
Alhamdulillah, tulisan itu selesai, jam 07.00 pagi, setengah jam kemudian
berangkat ke Takalar dengan “kuda besi”, diiringi hujan yang lumayan deras,
untuk pengendara motor seperti saya. Jam menunjukkan 8.30, saya sudah tiba di
lokasi, tapi sebelumnya saya
mampir dulu di Mesjid Agung Takalar untuk
bersih-bersih kaki yang belepotan.
Begitu sampai di Lokasi, Aula Bappeda Takalar, saya langsung mencari tahu apakah Khrisna Pabichara sudah datang, ternyata beliau sementara perjalanan dari Jeneponto. Rupanya beliau menginap di sana, karena memang orang tuanya masih mukim di Jeneponto. Dan, memang baru saya tahu bahwa Khrisna adalah orang Jeneponto, asli lagi. Ini berarti tetangga saya, sebagai orang Bantaeng. Bagi saya, sebagai pegiat literasi, nama Bantaeng, Jeneponto dan Takalar kali ini agak istimewa, khususnya dalam perspektif geo-literasi.
Seminar pun berlangsung, yang pesertanya didominasi
oleh pelajar, dihadiri paling tidak kisaran 50 orang. Sesuai dengan sub tema
yang diberikan kepada Khrisna, Menggali Potensi Writership Pemuda. Khrisna pun
mulai mendemonstrasikan kepampuannya sebagai seorang pembicara dan sekaligus
motivator menulis. Terus terang, saya
amat bahagia dan dapat menikmati presentasi itu. Saya amat larut dalam pusaran
bicaranya, yang menurutku keluar dari hatinya, didasarkan pada pengalaman
menulisnya, sehingga benar-benar saya kemudian menyimpaikan, beginilah orang
yang bicara dari hatinya, ternisbahkan dari pengalaman, maka yang mendengar pun
akan memakai hatinya untuk menangkap setiap pesan yang keluar dari tuturnya.
Sehingga, hampir sejam Khrisna bicara tidak terasa menjemukan.
Hati saya membatin, mahluk yang satu ini
benar-benar memukau, benar-benar pabicara (pembicara) sesuai dengan nama yang disandarkan padanya,
Pabichara (?). Amat sedikit orang, yang bisa menulis dengan baik, sekaligus
menjadi pembicara yang baik. Bagiku, Khrisna Pabichara: Benar-benar pabicara
(pembicara, pecerita). Adapun saya, lebih banyak mengambil posisi
sebagai pelengkap pembicaraan pada seminar itu, karena forumnya kemudian lebih
bergeser kepada semi-lokakarya kepenulisan, khususnya menulis novel.
Sementara saya bukanlah penulis novel,
melainkan pembaca dan penikmat, sekaligus penyebar novel.
Kurang lebih 3 jam acara itu berlangsung,
tidak terasa. Apalagi hujan pun terus menjadi pengiring sebagai penanda acara
itu penuh berkah. Dan di akhir acara, moderator meminta agar Khrisna membacakan
puisi. Permintaan itu pun ditunaikan, tetapi ia membacakan prolog dari
novelnya, Sepatu Dahlan. Tidak terasa ada bening kristal di sudut mataku
mengalir, namun tidak sampai ke pipi, karena keburu kutahan, agar masih bisa
kusisakan saat nanti membaca novelnya.
Baru kali ini saya agak jahil, karena menodong
Khrisna di muara acara agar memberikan satu eksamplar bukunya kepadaku sebagai
hadiah, sebagai tanda persuaan. Dan, Khrisna pun memberikan novelnya itu
padaku, yang disertai catatan singkat: “ Buat Bung Sulhan, tetap berbagi
semangat!, Khrisna Pabichara. Takalar, 19/06/2012.” Lalu kukatakan padanya,
suatu waktu ke Bantaeng agar spirit literasi tetap menyala apinya. Khrisna pun
menyanggupi.
Saya kemudian berpisah, tapi sebelumnya ia
menawarkan tumpangannya ke Makassar, karena beliau pakai mobil bersama
ponakannya dari Jeneponto. Tapi kukatakan terima kasih, saya naik “kuda besi”. Lalu
hujan pun kuterobos. Anehnya, dalam perjalanan pulang dikarenakan hujan agak
deras, maka saya pun mampir di sebuah warung untuk mengisi kampung tengah,
sambil menunggu hujan agak reda. Dil uar dugaan, Khrisna dan rombongannya
mampir di warung yang sama. Setelah itu,
kami pun pisah, dan saya belum tahu momentum apalagi yang akan mempertemukan
kelak.
Pada sisa perjalanan pulang, banyak hal yang
melintas dalam pikiranku, saya pun membatin bahwa obsesi menggerakkan komunitas
literasi menuju masyarakat literasi, adalah sebuah perjalanan panjang, yang
masih lebih panjang jaraknya dari
Makassar ke Takalar, dan balik lagi dari Takalar ke Makassar, karena gerakan
literasi akan senantiasa melintasi masa, dari generasi ke generasi.
Yang pasti
dalam benakku selama perjalanan pulang adalah saya akan menuliskan
catatan perjalanan, sebagai bagian dari tradisi menulis untuk kepentingan
gerakan literasi, dalam dua lema dengan judul,
KHRISNA PABICHARA: BENAR-BENAR PABICARA.
Tjokro, Islam dan Sosialisme
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
19.33
Tjokro, Islam dan Sosialisme
Sulhan Yusuf, Pegiat Literasi
Menghidangkan
sejarah, segera akan tersaji, para pencatat sejarah, sekumpulan pembaca sejarah
dan sosok pembuat sejarah. Para pembuat sejarah, adalah sosok yang memahat
pikirannya melampau eranya, karena memang sejarah barulah punya relevansi
kegunaan ketika berdimensi kemasadepanan. Sejarah berarti kemasadepanan.
Sebulan terakhir
ini, jagat perfilman tanah air digairahkan dengan pemutaran film berlatar
sejarah. Film tentang sosok guru bangsa, Haji Omar Said Tjokroaminoto ( H.O.S
Tjokroaminoto), yang lazim dipanggil Tjokro. Kehadiran film ini, salah satu
maksudnya mengingatkan kembali bagi bangsa ini, yang tingkat lupa akan
peristiwa cukup akut. Sedianya, film Tjokro ini adalah sejenis titian ingatan
akan pentingnya menggali kembali sosok-sosok yang membentuk jiwa bangsa kita.
Saya mendaras
kembali Tjokro, bermaksud menggali pikiran-pikiran yang dibuahkannya. Buah
pikirannyalah yang kemudian mempengaruhi orang-orang di sekelilingnya, termasuk
murid-muridnya sekaliber, Soekarno, Semaoen, Sekarmaji Kartosuwiryo, Agussalim.
Sari buah pikiran Tjokro yang cukup monumental terekam dalam bukunya yang
berjudul: Islam dan Sosialisme. Buku ini sebentuk tafsiran Tjokro atas
doktrin Islam yang dipersentuhkan dengan Sosialisme untuk menjawab permasalahan
sosial. Dan, sebagai sebuah gagasan yang membumi, jejaknya di masa depan pun
masih terpatri, karena Tjokro memang memahatnya dalam ingatan anak bangsa.
***
Pada tahun 80-an,
ketika anak-anak muda bangsa ini menggelar diskursus, tetntang pentingnya
melakukan revolusi atau reformasi, salah satu tema pemikiran yang cukup
menghiasi tawaran perubahan adalah pentingnya agama sebagai salah satu variable
perubahan. Sehingga, muncullah tema diskursus semisal agama dan perubahan
sosial. Apatah lagi, sejak berhasilnya Revolusi Islam di Iran (1979), semakin
menguatkan pengkajian akan pentingnya agama untuk diajukan sebagai faktor
perubahan sosial.
Muncullah
kemudian nama Ali Syariati, sebagai salah seorang ideolog Revolusi Islam Iran,
sebagai objek kajian. Garis utama pemikiran Syariati, melihat agama sebagai
pijakan transformasi sosial, sehingga agama, khususnya Islam, ditafsirkan
Syariati menjadi agama yang sangat revolusioner. Tafsiran agama yang
revolusioner, oleh banyak analis diasumsikan sebagai landasan
pemikiran-pemikiran yang tumbuh dalam tradisi kiri sebagai pijakannya, dan
salah satunya bermuara pada sosialisme.
Pasca Ali
Syariati, anak-anak muda kemudian dibanjiri oleh pemikiran-pemikiran Islam yang
terpaut dengan tradisi kiri – Sosialisme, Marxisme – semisal pemikiran Asghar
Ali Engineer lewat bukunya, Islam and
Liberation Theology ( Islam dan Teologi Pembebasan), Zia Ul-Haq dengan
bukunya Revelation and Revolution Islam ( Wahyu dan Revololusi, Hassan
Hanafi bersama gagasannya Al-Yassar al-Islami ( Kiri Islam) dan sederet nama lain, semisal: Farid Esack,
Majid Kadduri dll. Kesemua pertautan pemikiran itu kemudian biasa
disederhanakan dalam narasi wacana: Sosialisme Islam, Sosialisme religius,
Islam Kiri, Teologi Kiri, Islam Transformatif, dan beberapa istilah yang senada
dengan semangat Islam dan pembebasan..
***
Agama, khususnya
Islam, memang seharusnya ditafsirkan untuk menjawab problem sosial. Ketika
reformasi terjadi di tahun 1998, tidak bisa dipungkiri pemikiran-pemikiran
Islam yang bercorak pembebasan, berteologi transformatif ikut mendorong
reformasi. Setidaknya, hasil riset dari As’ad Said Ali, yang dibukukan,
berjudul Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi (2012), menunjukkan bahwa
sebelum dan pasca reformasi, gagasan transformisme Islam terlibat aktif dalam
mendorong reformasi.
Lebih jauh As’ad
membabarkan, mereka para pengusung tranformisme Islam, berorientasi politik
sekaligus kultural dalam gerakannya, tidak punya problem dengan entitas negara
nasional, sangat pluralis, inklusif, dan memperjuangkan demokrasi. Di
Indonesia, para eksponen varian transformisme Islam hanya sedikit yang aktif
dalam partai politik.
Mereka yang
berorientasi politik banyak membangun jaringan dengan gerakan-gerakan kelompok
sosialis dan kelompok kiri lainnya. Di kalangan ini pandangan politik varian
transformisme Islam dikenal sebagai sosialisme Islam dan umumnya menjadi motor
ideologis bagi kelompok-kelompok gerakan yang berbasis Islam. Demikian As’ad
menegaskan.
***
Seperti halnya di
waktu silam, ketika Tjokro menawarkan sintesis pemikiran antara Islam dan
Sosialisme, mengantar perubahan untuk sebuah revolusi kemerdekaan. Pun di era
reformasi, gagasan sosialisme Islam atau Islam tranformatif, berkontribusi
nyata dalam mendorong perubahan sosial. Dan, sebagai sebuah gagasan yang terus
berkembang, sudah barang tentu memerlukan interpretasi-interpretasi baru, agar
tetap aktuil untuk menjawab problem sosial bangsa ini.
Di masa kiwari,
ada sejenis kompilasi dari gagasan-gagasan sebelumnya, tetap bercorak Islam
yang sosialis, bernafas transformisme Islam, berwujud Islam Emansipatoris. Akar
utama dari gagasan ini tetaplah pada tradisi pembebasan dalam Islam. Bahkan,
pemikir-pemikir yang mendorong gagasan ini, seperti: Masdar F. Mas’udi dan
Muslim Abdurrahman, adalah nama-nama yang familiar di kalangan para pengusung
transformisme Islam.
Merujuk pada buku
yang ditulis Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris (2004), Masdar F.
Mas’udi mengungkapkan, titik tolak Islam Emansipatoris adalah problem
kemanusiaan. Teks-teks suci dipahami sebagai sinaran pembebasan. Karenanya,
Islam Emansipatoris tidak akan berhenti pada dekonstruksi dan pembongkaran teks
yang membuat kita linglung, tapi teks dijadikan sebagai wahana
pembebasan. Sebab realitas dominasi tidak hanya wacana, melainkan juga dominasi
yang bersifat riil dan materiil. Atau seperti yang ditandaskan Zuhairi Misrawi,
agama dalam tataran sosiologis-antropologis merupakan proses akultrasi agama
dengan problem kemanusiaan. Sejauh membawa visi kemanusiaan, di situlah agama
lebih bermakna.
Senin, 11 Mei 2015
IBRAH
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
20.43
Secara tak
sengaja, sahaya tertidur di sela-sela tumpukan buku. Mungkin karena lelah, akibat mendaras halaman-halamannya yang
memang cukup berat dicerna oleh pikiran. Setelah terbangun, beberapa ekor
nyamuk bertengger dilantai, tak kuasa lagi terbang akibat kekenyangan menghisap
darah. Matilah satu ekor, sebab sahaya menepuknya, tiba-tiba muncul rasa
bersalah sekaligus rasa puas atas balas dendam yang tunai. Namun Guru Han, yang
ikut tertidur punya perspektif lain, tuturnya pun melantun: “ Biarkanlah nyamuk
itu pergi dalam kekenyangan, biarpun dikau peras tubuhnya, untuk mengembalikan
darahmu, tak mungkinlah terwujud, biarlah cecak atau binatang lain yang
memakannya dalam keadaan segar bugar. Dengan begitu, darahmu yang tak cukup
setetes itu telah menghidupkan mata rantai kehidupan sesama makhluk.Dan,
syukurilah, sebab nyamuk masih menghisapmu, itu pertanda kehidupan, sebab kalau
nyamuk saja sudah emoh menggigitmu berarti kematian telah menyata. Bukankah
nyamuk hanya menghisap darah orang yang hidup? “
Minggu, 10 Mei 2015
Herman Pabau
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
20.17
PEMBERONTAKAN ALA SULHAN YUSUF
Apresiasi Kumpulan Puisi “Air Mata Darah”
Komentator: Herman Pabau*
Sekitar dua bulan lalu saya di Lampung. Iseng berselancar di dunia maya, kudapatkan postingan menarik, foto cover buku “Air Mata Darah”. Penulisnya Sulhan Yusuf. Kutatap baik nama yang tertera di cover buku, ya benar Kanda Sulhan Yusuf. Teman, senior, sekaligus guru saya. Batinku menebak, ini pasti sejenis buku Panduan Revolusi atau setidaknya warming up untuk sebuah revolusi. Tebakan saya ini berasal dari fakta bahwa Kanda Sulhan Yusuf(selanjutnya saya singkat SY) sejak medio 80-an dan bersama saya awal 90-an sebagai aktivis, setahu saya beliau adalah pembelajar gigih yang merangkap pemberontak tangguh. Adalah Iswari Al-Farizi dan Isra’ Dg Magassing, pelopor pemantik demo real gerakan penjatuhan Soeharto 1998 di Makassar, disusul oleh yang lain, tidak luput dari hasil didikan SY. Dan masih banyak lagi “pemberontak” lain hasil provokasinya, menyebar dalam birokrasi maupun luar birokrasi. Ketidakpuasan terhadap status quo sangat kental dalam diri beliau. Anti kemapanan yang menindas kaum marginal. Diantara karakter SY inilah yang mengantarkan saya menebak bahwa buku Air Mata Darah(selanjutnya saya singkat AMD) merupakan Panduan Revolusi atau setidaknya sebagai pemanas awal untuk sebuah revolusi.
Tetapi tebakan saya itu serta-merta saya batalkan setelah tahu bahwa bukanlah buku serius semirip karya Karl Mark atau Ali Syariati. Ternyata AMD tidak lebih dari kumpulan puisi. Gumalan penyair tanpa realitas. Marahnya di sini, hanya di kata-kata. Menyumpahi banjir darah di bumi dengan cara duduk manis di langit mendung. Marahnya cuma di dada dan mulut tapi kaku-beku di tangan dan kaki. Kaki tak mampu bergerak, tangan tak mampu mengangkat senjata ke pundak untuk dipanggul. Sangat jauh dari impian memantik pelatuk memicu mesiu menohok jantung lawan. Memberontak dengan puisi semirip melempar kapas ke dalam badai melawan angin. Itulah gumam benakku setelah tahu AMD hanyalah kumpulan puisi atau mungkin dipaksakan jadi puisi dengan alasan kuat sejak zaman baheula: licentia poetica. Dengan dasar hukum tangan besi sastra ini, gambar batu keropospun bisa disebut puisi! Hehehe.
Minggu lalu saya ke Toko Buku Papirus. Salah satu tempat SY memprovokasi anak-anak muda untuk memberontak. Memberontak diri sendiri dan memberontak realitas. Juga memberontak status quo yang melanggengkan kemapanan zalim. Beruntung saat itu bertemu langsung dengan SY. Sang penulis AMD. Padahal setahu saya beliau sangat sibuk, sering ke Bantaeng mengasuh Komunitas Literasi Boetta Ilmoe dan memprovokasi anak-anak muda di sana. Serta, akhir-akhir ini rajin mengisi undangan kegiatan provokasi litarasi baik di Makassar maupun daerah. Di sudut meja segi empat kudapati tumpukan buku AMD. Kulirik sampulnya, warna gelap dan merah hitam. Hmmmm…. nuansa kemarahan pemberontak pikirku, tapi sayang cuma di sini, cuma di puisi! Hehehe.
Di pertemuan itu saya saya berbincang panjang-lebar dengan SY. Termasuk membahas tema-tema nostalgia saat intens aktif di HMI dulu. Juga hadir Alam Yin, yang juga sempat bersentuhan dengan SY, dipastikan juga pemberontak. Seingatku Alam Yin dan teman-temannya dulu punya komunitas pemberontak dengan nama “Komunitas Tanah Merah”. Ada juga sentuhan Ust. Zainal Abidin, pejuang kaum tertindas di Palopo. Alam Yin sekarang sudah jadi dosen di almamaternya. Semoga spirit “Komunitas Tanah Merah” tetap lekat dalam jiwa Alam Yin untuk membongkar kepongahan intelektual dalam dunia kampus yang hanya bersilat lincah di menara api dan angin tapi miskin ketawadhuan dan realitas menara air….. mirip-mirip dunia puisi, senangnya terbang ke langit sejuk, tidak betah di bumi realitas yang hingar-bingar. Hehehehe.
Sebagai mappatoto’E, sang penentu nasib, SY menetapkan saya untuk memiliki 3 eksemplar AMD dengan alasan logis berdasar jumlah…. Hehehe . Saya ikuti saja pentakdiran beliau. Setahu saya ada beberapa teman yang beruntung karena pentakdiran beliau. Ada yang jadi kepala desa, anggota dewan, guru, dan lain-lain. Siapa tahu dengan pentakdiran SY kepada saya untuk milki 3 AMD dapat keberuntungan tersendiri dari langit berkah. Kuikuti saja takdirku berdasarkan garis tangan SY. Hehehe.
Sesampai di rumah saya coba melembar-lembar halaman AMD. Teringat masa lalu. Saat 25 tahun lalu tulisan saya dimuat di Harian Pedoman Rakyat. Kolom kebudayan. Saat itu saya mengapresiasi puisi Jam Dua`Puluh Lima karya salah seorang penyair religius kesohor Mandar, Husni Djamaluddin, dengan arahan dosen saya di Sastra Unhas saat itu, Pak Fahmi Syariff. Terbitlah tulisan itu di Koran. Dengan sedikit modal pernah belajar ilmu sastra dan sedikit kedekatan dengan SY, saya mencoba sedikit seriusi telaah AMD. Dari ilmu sastra saya dekati AMD secara intrinsik dan dari kedekatan dengan SY dan realitas yang ada saya dekati AMD secara ekstrinsik. Sekedar untuk menguji kebenaran tebakan saya atas kandungan AMD karya SY ini. Untuk membuktikan apakah puisi-puisi SY ini termasuk benda-benda langit yang berkilau belaka atau makhluk hidup bumi yang memberontak membumikan idealisme. Hehehe.
(BERSAMBUNG)
Apresiasi Kumpulan Puisi “Air Mata Darah”
Komentator: Herman Pabau*
Sekitar dua bulan lalu saya di Lampung. Iseng berselancar di dunia maya, kudapatkan postingan menarik, foto cover buku “Air Mata Darah”. Penulisnya Sulhan Yusuf. Kutatap baik nama yang tertera di cover buku, ya benar Kanda Sulhan Yusuf. Teman, senior, sekaligus guru saya. Batinku menebak, ini pasti sejenis buku Panduan Revolusi atau setidaknya warming up untuk sebuah revolusi. Tebakan saya ini berasal dari fakta bahwa Kanda Sulhan Yusuf(selanjutnya saya singkat SY) sejak medio 80-an dan bersama saya awal 90-an sebagai aktivis, setahu saya beliau adalah pembelajar gigih yang merangkap pemberontak tangguh. Adalah Iswari Al-Farizi dan Isra’ Dg Magassing, pelopor pemantik demo real gerakan penjatuhan Soeharto 1998 di Makassar, disusul oleh yang lain, tidak luput dari hasil didikan SY. Dan masih banyak lagi “pemberontak” lain hasil provokasinya, menyebar dalam birokrasi maupun luar birokrasi. Ketidakpuasan terhadap status quo sangat kental dalam diri beliau. Anti kemapanan yang menindas kaum marginal. Diantara karakter SY inilah yang mengantarkan saya menebak bahwa buku Air Mata Darah(selanjutnya saya singkat AMD) merupakan Panduan Revolusi atau setidaknya sebagai pemanas awal untuk sebuah revolusi.
Tetapi tebakan saya itu serta-merta saya batalkan setelah tahu bahwa bukanlah buku serius semirip karya Karl Mark atau Ali Syariati. Ternyata AMD tidak lebih dari kumpulan puisi. Gumalan penyair tanpa realitas. Marahnya di sini, hanya di kata-kata. Menyumpahi banjir darah di bumi dengan cara duduk manis di langit mendung. Marahnya cuma di dada dan mulut tapi kaku-beku di tangan dan kaki. Kaki tak mampu bergerak, tangan tak mampu mengangkat senjata ke pundak untuk dipanggul. Sangat jauh dari impian memantik pelatuk memicu mesiu menohok jantung lawan. Memberontak dengan puisi semirip melempar kapas ke dalam badai melawan angin. Itulah gumam benakku setelah tahu AMD hanyalah kumpulan puisi atau mungkin dipaksakan jadi puisi dengan alasan kuat sejak zaman baheula: licentia poetica. Dengan dasar hukum tangan besi sastra ini, gambar batu keropospun bisa disebut puisi! Hehehe.
Minggu lalu saya ke Toko Buku Papirus. Salah satu tempat SY memprovokasi anak-anak muda untuk memberontak. Memberontak diri sendiri dan memberontak realitas. Juga memberontak status quo yang melanggengkan kemapanan zalim. Beruntung saat itu bertemu langsung dengan SY. Sang penulis AMD. Padahal setahu saya beliau sangat sibuk, sering ke Bantaeng mengasuh Komunitas Literasi Boetta Ilmoe dan memprovokasi anak-anak muda di sana. Serta, akhir-akhir ini rajin mengisi undangan kegiatan provokasi litarasi baik di Makassar maupun daerah. Di sudut meja segi empat kudapati tumpukan buku AMD. Kulirik sampulnya, warna gelap dan merah hitam. Hmmmm…. nuansa kemarahan pemberontak pikirku, tapi sayang cuma di sini, cuma di puisi! Hehehe.
Di pertemuan itu saya saya berbincang panjang-lebar dengan SY. Termasuk membahas tema-tema nostalgia saat intens aktif di HMI dulu. Juga hadir Alam Yin, yang juga sempat bersentuhan dengan SY, dipastikan juga pemberontak. Seingatku Alam Yin dan teman-temannya dulu punya komunitas pemberontak dengan nama “Komunitas Tanah Merah”. Ada juga sentuhan Ust. Zainal Abidin, pejuang kaum tertindas di Palopo. Alam Yin sekarang sudah jadi dosen di almamaternya. Semoga spirit “Komunitas Tanah Merah” tetap lekat dalam jiwa Alam Yin untuk membongkar kepongahan intelektual dalam dunia kampus yang hanya bersilat lincah di menara api dan angin tapi miskin ketawadhuan dan realitas menara air….. mirip-mirip dunia puisi, senangnya terbang ke langit sejuk, tidak betah di bumi realitas yang hingar-bingar. Hehehehe.
Sebagai mappatoto’E, sang penentu nasib, SY menetapkan saya untuk memiliki 3 eksemplar AMD dengan alasan logis berdasar jumlah…. Hehehe . Saya ikuti saja pentakdiran beliau. Setahu saya ada beberapa teman yang beruntung karena pentakdiran beliau. Ada yang jadi kepala desa, anggota dewan, guru, dan lain-lain. Siapa tahu dengan pentakdiran SY kepada saya untuk milki 3 AMD dapat keberuntungan tersendiri dari langit berkah. Kuikuti saja takdirku berdasarkan garis tangan SY. Hehehe.
Sesampai di rumah saya coba melembar-lembar halaman AMD. Teringat masa lalu. Saat 25 tahun lalu tulisan saya dimuat di Harian Pedoman Rakyat. Kolom kebudayan. Saat itu saya mengapresiasi puisi Jam Dua`Puluh Lima karya salah seorang penyair religius kesohor Mandar, Husni Djamaluddin, dengan arahan dosen saya di Sastra Unhas saat itu, Pak Fahmi Syariff. Terbitlah tulisan itu di Koran. Dengan sedikit modal pernah belajar ilmu sastra dan sedikit kedekatan dengan SY, saya mencoba sedikit seriusi telaah AMD. Dari ilmu sastra saya dekati AMD secara intrinsik dan dari kedekatan dengan SY dan realitas yang ada saya dekati AMD secara ekstrinsik. Sekedar untuk menguji kebenaran tebakan saya atas kandungan AMD karya SY ini. Untuk membuktikan apakah puisi-puisi SY ini termasuk benda-benda langit yang berkilau belaka atau makhluk hidup bumi yang memberontak membumikan idealisme. Hehehe.
(BERSAMBUNG)
Rabu, 06 Mei 2015
MENTARI
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
19.30
Javid,
bangkitlah dari
tidurmu
senyum mentari
mencarimu
jemurlah dirimu
di senyumnya
mumpung baru
semenjana teriknya
hangatlah pikirmu
karenanya
Javid,
kalau dikau tak
bangun jua
mentari
membakarmu di tungkunya
bila mentari
marah
menjadilah ia
bola api liar
menghanguskan
yang terjilat
Javid,
tidur menerungkumu
kegelapan
menawanmu
mentari telah
lelah menerangkan
pulanglah ia
beriring senja
tersenyum damai
di kaki langit
Senin, 04 Mei 2015
MENANGIS
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
16.24
Sahaya duduk dalam kesendirian, menatap mega, rinai hujan merintik. Entah apa pasal, tiba-tiba saja, beberapa butir air mata tergelincir mengalir, tertumbuk di ujung bibir, tersapa ujung lidah, asin rasanya. Barulah meresapi asinnya air mata, Guru Han nampak menepuk dinding batin, lalu berujar: “ Sesekali bolehlah meneteskan air mata, agar kita tahu rasa sedih, haru dan bahagia. Menangis adalah sejenis ungkapan insaniah yang menunjukkan kenormalan hidup. Bukankah penanda paling awal dari kesiapan insan mengarungi kehidupan adalah tangisannya? Insan yang baru lahir dan tidak menangis, berarti menolak kehidupan. Dan, yang lebih dahsyat lagi, penanda utama dari kematian adalah tangisan dari para insan yang menangis. Manakala ada insan yang kematiannya tidak ditangisi, berarti telah tertolak dalam kehidupan.”
BAHAGIA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
00.06
Akhir pekan bagi insan yang bergiat kerja, biasanya menjadi waktu yang paling ditunggu untuk jeda dari kepenatan rutinitas kerja. Amat banyak yang dilakukan agar terwujud ingin itu, dan tidak sedikit dengan biaya yang cukup mahal, yang malah bisa berujung pada kepenatan baru. Sahaya bersama kerabat pun ikut mencoba melepas kepenatan itu, namun sebelumnya, minta tutur terlebih dahulu pada Guru Han, biar semuanya menjadi indah nan bahagia. Maka sabda singkat pun meluncur: " Bilamana ingin berbahagia dengan cara yang nyaris tak berongkos, kunjungilah orang yang berbahagia. Sebab, melihat orang berbahagia, itulah pintu bahagia, sejenis jalan tol menuju kebahagiaan."
Langganan:
Postingan (Atom)