Kamis, 14 Mei 2015

Nyatakan Saja dengan Buku



Nyatakan Saja dengan Buku
( Tempo, 15 Mei 2015 )

Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi

Kehadiran buku adalah bukti faktual keberadaan umat manusia sebagai makhluk terbaik di jagat. Rekaman keadaban manusia sebagai sosok yang lantip mewujudkan peradabannya. Sebab, melalui bukulah masa lalu bisa didaras ulang, era kiwari dapat di utak-atik, masa depan mampu diintip. Sejarah buku merupakan sari diri peradaban umat manusia selaku makhluk terbaik yang melata di atas bumi. Pun, teknologi industri perbukuan makin canggih dengan hadirnya  e-book (buku digital) yang cukup mengusik buku cetak.

Entah sudah berapa kali, saya belanja pada sebuah toko buku di salah satu pojok Universitas. Cukup lama baru saya sadari, setelah mengamati lembaran kwitansi pembayaran, selain jumlah harga buku, juga tertulis tagline dari toko buku tersebut: Nyatakan Saja dengan Buku.

Pada dinding belakang meja kasir pemiliknya termaktub penegasan akan keberadaan tokonya: Apapun Perofesi Anda, Bukunya Ada pada Kami. Dan, bulan yang lalu, toko buku itu sudah tutup, lalu pemiliknya beralih jualan. Konon, alasan tutupnya toko buku adalah lesu penjualan. Belum lama berselang, rupanya ada toko buku yang cukup besar di bagian utara kota ini, yang juga tutup. Singkatnya, awal tahun 2015 kota Makassar telah kehilangan dua toko buku.

Padahal, kita baru saja memperingati Hari Buku Sedunia ( World Book Day), yang jatuh setiap tanggal 23 April. Dunia memperingati hari buku, itu berarti mensupport peradaban, peradaban buku. Dan Ahad, 17 Mei besok, kita akan memperingati Hari Buku Nasional, hari peresmian Perpustakaan Nasional di Jakarta, 35 tahun lalu.

Ada pula kebiasaan saya, yang mungkin kurang populer saat ini. Paling tidak peristiwa ini sebagai rujukannya. Sekali waktu, saya menghadiri hajatan pernikahan seorang kawan. Kubawalah kado berisi buku sebagai tanda restu atas perkawinannya. Rupanya, di tempat resepsi tidak disiapkan tempat kado, yang tersedia cuma dua guci tempat memasukkan amplop berisi uang undangan. Keluarga pengantin tak begitu respek atas kadoku, maka diletakkannyalah persembahanku itu pada tempat yang kurang layak.

Banyak faktor yang bisa dituduhkan sebagai penyebab menurunnya minat terhadap buku. Dalil klasik tiada lain kurangnya minat baca, otomatis minat pada buku pun rendah. Bidikan paling mutakhir tertuju pada semakin majunya teknologi komunikasi, hadirnya internet yang memudahkan akses ilmu pengetahuan. Perangkat gadget yang menggila di pasaran, ikut dituding sebagai biang yang ikut menggilas keberadaan buku. Hadirnya e-book, semakin menguatkan premis itu. Apatah lagi, lahirnya generasi Z, sebagai penggelaran untuk generasi muda sekarang ini, yang gaya hidupnya tak bisa lagi lepas dari serbuan perangkat gadget yang perangkapnya tak terduga. Dan tak begitu bangga lagi menenteng buku.

Saya lalu teringat akan sebuah buku yang berjudul Elegi Gutenberg, ditulis oleh Putut Widjanarko sewaktu masih memimpin salah satu penerbit berpengaruh di tanah air.
Ulasan Putut menarik untuk diajukan, guna melihat posisi kehadiran e-book di tengah saudara tuanya, buku cetak. Menurutnya, saat ini, ada dua teritori.  Pertama, teritori yang dikembarai lewat buku tercetak, inilah teritori Gutenberg, sebagai era yang dinisbahkan untuk menggelari produk mesin cetak. Sebuah teritori yang memberi pengalaman estetis, untuk tidak menyebut pengalaman spiritual, yang karenanya bersifat personal. Serta, bagi sebagian orang, mungkin tak tergantikan oleh medium lain.

Kedua, teritori cyberspace -- mewakili ujung kemutakhiran tekhnologi—yang tidak bisa mempengaruhi, atau mudah mengubah dunia literer. Dan perubahan itu bisa menyeluruh: dari sekadar cara baru distribusi buku lewat toko buku online, penyebaran langsung isi buku tanpa harus dicetak sama sekali, hingga –kalau ada—pengalaman estetis baru yang sama sekali berbeda, atau malah bertentangan.

Tulisan Putut cukup menghibur para pecinta buku dan pebisnis buku. Menarik bila hasil riset diajukan sebagai penguat akan masih pentingnya berpegang teguh pada buku. Saya nukilkan publikasi hasil riset dari media Time Healthland, tahun 2012. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa membaca materi dari buku cetak lebih mudah diingat untuk jangka panjang dibanding membaca lewat layar.

  “Apa yang kami temukan adalah bahwa orang-orang yang membaca dari kertas lebih cepat merasa tahu atas informasi yang dibaca. Ketika membaca lewat komputer, dibutuhkan waktu yang lebih lama dan harus membaca berulang-ulang agar pembaca dapat menjadi tahu,” kata Kate Garland, dosen psikologi di University of Leicester Inggris.
Selayaknya kehadiran e-book menjadi mitra buku cetak. Tidak harus saling meniadakan, apalagi menggusur. Keduanya adalah produk peradaban, sebagai bukti akan keistimewaan umat manusia dalam hidup berkemajuan. E-book harus dipandang sebagai cara mudah mengakses ilmu pengetahuan, dengan segala resiko kekurangan yang mengiringinya, dan tanpa harus menampik keberadaan buku cetak. Bahkan di negara maju sekalipun, kehadiran buku cetak masih menempati penanda peradaban terdepan. Tak perlulah risau akan keberadaan buku cetak, dengan segala macam ancaman terhadapnya, sebab masih punya daya tarik yang tak mungkin digantikan oleh e-book.
Jadi, bila ada kepentingan untuk menyatakan hasrat, pada suatu momentum kehidupan yang sarat arti kehayatan, sodorkanlah buku sebagai penandanya, sebagai bukti akan keadaban, penghias peradaban, lantaran kita adalah makhluk yang beradab. Buku adalah produk sekaligus penjaga peradaban. Benderangkanlah dengan buku akan keberadaban, selaku makhluk beradab. Karlina Leksono bilang, memang buku hanyalah benda mati, tapi di dalamnya ada kehidupan. Maka tak ada salahnya menyatakan hidup dengan buku.

0 komentar:

Posting Komentar