Minggu, 10 Mei 2015

Herman Pabau

PEMBERONTAKAN ALA SULHAN YUSUF
Apresiasi Kumpulan Puisi “Air Mata Darah”
Komentator: Herman Pabau*
Sekitar dua bulan lalu saya di Lampung. Iseng berselancar di dunia maya, kudapatkan postingan menarik, foto cover buku “Air Mata Darah”. Penulisnya Sulhan Yusuf. Kutatap baik nama yang tertera di cover buku, ya benar Kanda Sulhan Yusuf. Teman, senior, sekaligus guru saya. Batinku menebak, ini pasti sejenis buku Panduan Revolusi atau setidaknya warming up untuk sebuah revolusi. Tebakan saya ini berasal dari fakta bahwa Kanda Sulhan Yusuf(selanjutnya saya singkat SY) sejak medio 80-an dan bersama saya awal 90-an sebagai aktivis, setahu saya beliau adalah pembelajar gigih yang merangkap pemberontak tangguh. Adalah Iswari Al-Farizi dan Isra’ Dg Magassing, pelopor pemantik demo real gerakan penjatuhan Soeharto 1998 di Makassar, disusul oleh yang lain, tidak luput dari hasil didikan SY. Dan masih banyak lagi “pemberontak” lain hasil provokasinya, menyebar dalam birokrasi maupun luar birokrasi. Ketidakpuasan terhadap status quo sangat kental dalam diri beliau. Anti kemapanan yang menindas kaum marginal. Diantara karakter SY inilah yang mengantarkan saya menebak bahwa buku Air Mata Darah(selanjutnya saya singkat AMD) merupakan Panduan Revolusi atau setidaknya sebagai pemanas awal untuk sebuah revolusi.
Tetapi tebakan saya itu serta-merta saya batalkan setelah tahu bahwa bukanlah buku serius semirip karya Karl Mark atau Ali Syariati. Ternyata AMD tidak lebih dari kumpulan puisi. Gumalan penyair tanpa realitas. Marahnya di sini, hanya di kata-kata. Menyumpahi banjir darah di bumi dengan cara duduk manis di langit mendung. Marahnya cuma di dada dan mulut tapi kaku-beku di tangan dan kaki. Kaki tak mampu bergerak, tangan tak mampu mengangkat senjata ke pundak untuk dipanggul. Sangat jauh dari impian memantik pelatuk memicu mesiu menohok jantung lawan. Memberontak dengan puisi semirip melempar kapas ke dalam badai melawan angin. Itulah gumam benakku setelah tahu AMD hanyalah kumpulan puisi atau mungkin dipaksakan jadi puisi dengan alasan kuat sejak zaman baheula: licentia poetica. Dengan dasar hukum tangan besi sastra ini, gambar batu keropospun bisa disebut puisi! Hehehe.
Minggu lalu saya ke Toko Buku Papirus. Salah satu tempat SY memprovokasi anak-anak muda untuk memberontak. Memberontak diri sendiri dan memberontak realitas. Juga memberontak status quo yang melanggengkan kemapanan zalim. Beruntung saat itu bertemu langsung dengan SY. Sang penulis AMD. Padahal setahu saya beliau sangat sibuk, sering ke Bantaeng mengasuh Komunitas Literasi Boetta Ilmoe dan memprovokasi anak-anak muda di sana. Serta, akhir-akhir ini rajin mengisi undangan kegiatan provokasi litarasi baik di Makassar maupun daerah. Di sudut meja segi empat kudapati tumpukan buku AMD. Kulirik sampulnya, warna gelap dan merah hitam. Hmmmm…. nuansa kemarahan pemberontak pikirku, tapi sayang cuma di sini, cuma di puisi! Hehehe.
Di pertemuan itu saya saya berbincang panjang-lebar dengan SY. Termasuk membahas tema-tema nostalgia saat intens aktif di HMI dulu. Juga hadir Alam Yin, yang juga sempat bersentuhan dengan SY, dipastikan juga pemberontak. Seingatku Alam Yin dan teman-temannya dulu punya komunitas pemberontak dengan nama “Komunitas Tanah Merah”. Ada juga sentuhan Ust. Zainal Abidin, pejuang kaum tertindas di Palopo. Alam Yin sekarang sudah jadi dosen di almamaternya. Semoga spirit “Komunitas Tanah Merah” tetap lekat dalam jiwa Alam Yin untuk membongkar kepongahan intelektual dalam dunia kampus yang hanya bersilat lincah di menara api dan angin tapi miskin ketawadhuan dan realitas menara air….. mirip-mirip dunia puisi, senangnya terbang ke langit sejuk, tidak betah di bumi realitas yang hingar-bingar. Hehehehe.
Sebagai mappatoto’E, sang penentu nasib, SY menetapkan saya untuk memiliki 3 eksemplar AMD dengan alasan logis berdasar jumlah…. Hehehe . Saya ikuti saja pentakdiran beliau. Setahu saya ada beberapa teman yang beruntung karena pentakdiran beliau. Ada yang jadi kepala desa, anggota dewan, guru, dan lain-lain. Siapa tahu dengan pentakdiran SY kepada saya untuk milki 3 AMD dapat keberuntungan tersendiri dari langit berkah. Kuikuti saja takdirku berdasarkan garis tangan SY. Hehehe.
Sesampai di rumah saya coba melembar-lembar halaman AMD. Teringat masa lalu. Saat 25 tahun lalu tulisan saya dimuat di Harian Pedoman Rakyat. Kolom kebudayan. Saat itu saya mengapresiasi puisi Jam Dua`Puluh Lima karya salah seorang penyair religius kesohor Mandar, Husni Djamaluddin, dengan arahan dosen saya di Sastra Unhas saat itu, Pak Fahmi Syariff. Terbitlah tulisan itu di Koran. Dengan sedikit modal pernah belajar ilmu sastra dan sedikit kedekatan dengan SY, saya mencoba sedikit seriusi telaah AMD. Dari ilmu sastra saya dekati AMD secara intrinsik dan dari kedekatan dengan SY dan realitas yang ada saya dekati AMD secara ekstrinsik. Sekedar untuk menguji kebenaran tebakan saya atas kandungan AMD karya SY ini. Untuk membuktikan apakah puisi-puisi SY ini termasuk benda-benda langit yang berkilau belaka atau makhluk hidup bumi yang memberontak membumikan idealisme. Hehehe.
(BERSAMBUNG)

0 komentar:

Posting Komentar