Saya langsung saja mengiyakan, ketikan pesan
pendek panitia penyelenggara meminta kepada saya untuk berbicara pada Seminar
Nasional tentang gerakan literasi, yang
bertajuk: Membangun Etos Writership di Kalangan Pemuda, yang dilakasanakan
oleh Pemuda Muslim Indonesia Takalar,
pada hari Selasa, 19 Juni 2012, di Takalar. Salah satu kebiasaan baik saya
adalah mengiya terlebih dahulu, kalau kegiatan itu berdimensi literasi. Maklum
saja, saya lagi mendefenisikan diri sebagai pegiat literasi.
Tapi yang lebih menarik lagi bagi saya adalah,
karena pesan pendek itu disusul dengan pemberitahuan bahwa akan dipanel dengan
Khrisna Pabichara, yang penulis novel best seller saat ini, yang berjudul: Sepatu
Dahlan, terbitan Noura Books-Mizan Group. Saking lakunya novel ini, untuk
bulan mei 2012 saja, sudah dua kali naik
cetak. Saya hanya ingin katakan: Miracle, ajaib. Selain mengarang novel,
Khrisna juga menganggit cerpen yang terkompilasi dalam kumpulan cerpennya, Gadis
Pakarena. Dan juga menulis beberapa buku how to.
Sesungguhnya, kalau saja tahun lalu saya
mengiyakan ajakan seorang pegiat literasi, Kasman Mc Tutu untuk menjadi
pembicara, ketika mendeklarasikan
Komunitas Pena Hijau di Takalar, saat
itu pula saya sudah ketemu dengan Khrisna, karena ia pun hadir pada acara itu.
Namun, karena ada agenda lain, yang sama pentingnya di tempat lain, maka
pertemuan itu pun tertunda hingga setahun
kemudian.
Akhirnya, waktu yang direncanakan pun tiba.
Pada dini hari setelah menyaksikan Piala Eropa, antara Spanyol dan Kroasia
(1-0), lalu shalat Subuh, setelah itu buat tulisan atas topik yang diberikan
kepada saya untuk disajikan pada seminar itu. Sub tema yang diamanahkan kepada
saya adalah: Menumbuhkan Writerprenur, Membangun Masyarakat Literasi.
Alhamdulillah, tulisan itu selesai, jam 07.00 pagi, setengah jam kemudian
berangkat ke Takalar dengan “kuda besi”, diiringi hujan yang lumayan deras,
untuk pengendara motor seperti saya. Jam menunjukkan 8.30, saya sudah tiba di
lokasi, tapi sebelumnya saya
mampir dulu di Mesjid Agung Takalar untuk
bersih-bersih kaki yang belepotan.
Begitu sampai di Lokasi, Aula Bappeda Takalar, saya langsung mencari tahu apakah Khrisna Pabichara sudah datang, ternyata beliau sementara perjalanan dari Jeneponto. Rupanya beliau menginap di sana, karena memang orang tuanya masih mukim di Jeneponto. Dan, memang baru saya tahu bahwa Khrisna adalah orang Jeneponto, asli lagi. Ini berarti tetangga saya, sebagai orang Bantaeng. Bagi saya, sebagai pegiat literasi, nama Bantaeng, Jeneponto dan Takalar kali ini agak istimewa, khususnya dalam perspektif geo-literasi.
Seminar pun berlangsung, yang pesertanya didominasi
oleh pelajar, dihadiri paling tidak kisaran 50 orang. Sesuai dengan sub tema
yang diberikan kepada Khrisna, Menggali Potensi Writership Pemuda. Khrisna pun
mulai mendemonstrasikan kepampuannya sebagai seorang pembicara dan sekaligus
motivator menulis. Terus terang, saya
amat bahagia dan dapat menikmati presentasi itu. Saya amat larut dalam pusaran
bicaranya, yang menurutku keluar dari hatinya, didasarkan pada pengalaman
menulisnya, sehingga benar-benar saya kemudian menyimpaikan, beginilah orang
yang bicara dari hatinya, ternisbahkan dari pengalaman, maka yang mendengar pun
akan memakai hatinya untuk menangkap setiap pesan yang keluar dari tuturnya.
Sehingga, hampir sejam Khrisna bicara tidak terasa menjemukan.
Hati saya membatin, mahluk yang satu ini
benar-benar memukau, benar-benar pabicara (pembicara) sesuai dengan nama yang disandarkan padanya,
Pabichara (?). Amat sedikit orang, yang bisa menulis dengan baik, sekaligus
menjadi pembicara yang baik. Bagiku, Khrisna Pabichara: Benar-benar pabicara
(pembicara, pecerita). Adapun saya, lebih banyak mengambil posisi
sebagai pelengkap pembicaraan pada seminar itu, karena forumnya kemudian lebih
bergeser kepada semi-lokakarya kepenulisan, khususnya menulis novel.
Sementara saya bukanlah penulis novel,
melainkan pembaca dan penikmat, sekaligus penyebar novel.
Kurang lebih 3 jam acara itu berlangsung,
tidak terasa. Apalagi hujan pun terus menjadi pengiring sebagai penanda acara
itu penuh berkah. Dan di akhir acara, moderator meminta agar Khrisna membacakan
puisi. Permintaan itu pun ditunaikan, tetapi ia membacakan prolog dari
novelnya, Sepatu Dahlan. Tidak terasa ada bening kristal di sudut mataku
mengalir, namun tidak sampai ke pipi, karena keburu kutahan, agar masih bisa
kusisakan saat nanti membaca novelnya.
Baru kali ini saya agak jahil, karena menodong
Khrisna di muara acara agar memberikan satu eksamplar bukunya kepadaku sebagai
hadiah, sebagai tanda persuaan. Dan, Khrisna pun memberikan novelnya itu
padaku, yang disertai catatan singkat: “ Buat Bung Sulhan, tetap berbagi
semangat!, Khrisna Pabichara. Takalar, 19/06/2012.” Lalu kukatakan padanya,
suatu waktu ke Bantaeng agar spirit literasi tetap menyala apinya. Khrisna pun
menyanggupi.
Saya kemudian berpisah, tapi sebelumnya ia
menawarkan tumpangannya ke Makassar, karena beliau pakai mobil bersama
ponakannya dari Jeneponto. Tapi kukatakan terima kasih, saya naik “kuda besi”. Lalu
hujan pun kuterobos. Anehnya, dalam perjalanan pulang dikarenakan hujan agak
deras, maka saya pun mampir di sebuah warung untuk mengisi kampung tengah,
sambil menunggu hujan agak reda. Dil uar dugaan, Khrisna dan rombongannya
mampir di warung yang sama. Setelah itu,
kami pun pisah, dan saya belum tahu momentum apalagi yang akan mempertemukan
kelak.
Pada sisa perjalanan pulang, banyak hal yang
melintas dalam pikiranku, saya pun membatin bahwa obsesi menggerakkan komunitas
literasi menuju masyarakat literasi, adalah sebuah perjalanan panjang, yang
masih lebih panjang jaraknya dari
Makassar ke Takalar, dan balik lagi dari Takalar ke Makassar, karena gerakan
literasi akan senantiasa melintasi masa, dari generasi ke generasi.
Yang pasti
dalam benakku selama perjalanan pulang adalah saya akan menuliskan
catatan perjalanan, sebagai bagian dari tradisi menulis untuk kepentingan
gerakan literasi, dalam dua lema dengan judul,
KHRISNA PABICHARA: BENAR-BENAR PABICARA.
0 komentar:
Posting Komentar