Tjokro, Islam dan Sosialisme
Sulhan Yusuf, Pegiat Literasi
Menghidangkan
sejarah, segera akan tersaji, para pencatat sejarah, sekumpulan pembaca sejarah
dan sosok pembuat sejarah. Para pembuat sejarah, adalah sosok yang memahat
pikirannya melampau eranya, karena memang sejarah barulah punya relevansi
kegunaan ketika berdimensi kemasadepanan. Sejarah berarti kemasadepanan.
Sebulan terakhir
ini, jagat perfilman tanah air digairahkan dengan pemutaran film berlatar
sejarah. Film tentang sosok guru bangsa, Haji Omar Said Tjokroaminoto ( H.O.S
Tjokroaminoto), yang lazim dipanggil Tjokro. Kehadiran film ini, salah satu
maksudnya mengingatkan kembali bagi bangsa ini, yang tingkat lupa akan
peristiwa cukup akut. Sedianya, film Tjokro ini adalah sejenis titian ingatan
akan pentingnya menggali kembali sosok-sosok yang membentuk jiwa bangsa kita.
Saya mendaras
kembali Tjokro, bermaksud menggali pikiran-pikiran yang dibuahkannya. Buah
pikirannyalah yang kemudian mempengaruhi orang-orang di sekelilingnya, termasuk
murid-muridnya sekaliber, Soekarno, Semaoen, Sekarmaji Kartosuwiryo, Agussalim.
Sari buah pikiran Tjokro yang cukup monumental terekam dalam bukunya yang
berjudul: Islam dan Sosialisme. Buku ini sebentuk tafsiran Tjokro atas
doktrin Islam yang dipersentuhkan dengan Sosialisme untuk menjawab permasalahan
sosial. Dan, sebagai sebuah gagasan yang membumi, jejaknya di masa depan pun
masih terpatri, karena Tjokro memang memahatnya dalam ingatan anak bangsa.
***
Pada tahun 80-an,
ketika anak-anak muda bangsa ini menggelar diskursus, tetntang pentingnya
melakukan revolusi atau reformasi, salah satu tema pemikiran yang cukup
menghiasi tawaran perubahan adalah pentingnya agama sebagai salah satu variable
perubahan. Sehingga, muncullah tema diskursus semisal agama dan perubahan
sosial. Apatah lagi, sejak berhasilnya Revolusi Islam di Iran (1979), semakin
menguatkan pengkajian akan pentingnya agama untuk diajukan sebagai faktor
perubahan sosial.
Muncullah
kemudian nama Ali Syariati, sebagai salah seorang ideolog Revolusi Islam Iran,
sebagai objek kajian. Garis utama pemikiran Syariati, melihat agama sebagai
pijakan transformasi sosial, sehingga agama, khususnya Islam, ditafsirkan
Syariati menjadi agama yang sangat revolusioner. Tafsiran agama yang
revolusioner, oleh banyak analis diasumsikan sebagai landasan
pemikiran-pemikiran yang tumbuh dalam tradisi kiri sebagai pijakannya, dan
salah satunya bermuara pada sosialisme.
Pasca Ali
Syariati, anak-anak muda kemudian dibanjiri oleh pemikiran-pemikiran Islam yang
terpaut dengan tradisi kiri – Sosialisme, Marxisme – semisal pemikiran Asghar
Ali Engineer lewat bukunya, Islam and
Liberation Theology ( Islam dan Teologi Pembebasan), Zia Ul-Haq dengan
bukunya Revelation and Revolution Islam ( Wahyu dan Revololusi, Hassan
Hanafi bersama gagasannya Al-Yassar al-Islami ( Kiri Islam) dan sederet nama lain, semisal: Farid Esack,
Majid Kadduri dll. Kesemua pertautan pemikiran itu kemudian biasa
disederhanakan dalam narasi wacana: Sosialisme Islam, Sosialisme religius,
Islam Kiri, Teologi Kiri, Islam Transformatif, dan beberapa istilah yang senada
dengan semangat Islam dan pembebasan..
***
Agama, khususnya
Islam, memang seharusnya ditafsirkan untuk menjawab problem sosial. Ketika
reformasi terjadi di tahun 1998, tidak bisa dipungkiri pemikiran-pemikiran
Islam yang bercorak pembebasan, berteologi transformatif ikut mendorong
reformasi. Setidaknya, hasil riset dari As’ad Said Ali, yang dibukukan,
berjudul Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi (2012), menunjukkan bahwa
sebelum dan pasca reformasi, gagasan transformisme Islam terlibat aktif dalam
mendorong reformasi.
Lebih jauh As’ad
membabarkan, mereka para pengusung tranformisme Islam, berorientasi politik
sekaligus kultural dalam gerakannya, tidak punya problem dengan entitas negara
nasional, sangat pluralis, inklusif, dan memperjuangkan demokrasi. Di
Indonesia, para eksponen varian transformisme Islam hanya sedikit yang aktif
dalam partai politik.
Mereka yang
berorientasi politik banyak membangun jaringan dengan gerakan-gerakan kelompok
sosialis dan kelompok kiri lainnya. Di kalangan ini pandangan politik varian
transformisme Islam dikenal sebagai sosialisme Islam dan umumnya menjadi motor
ideologis bagi kelompok-kelompok gerakan yang berbasis Islam. Demikian As’ad
menegaskan.
***
Seperti halnya di
waktu silam, ketika Tjokro menawarkan sintesis pemikiran antara Islam dan
Sosialisme, mengantar perubahan untuk sebuah revolusi kemerdekaan. Pun di era
reformasi, gagasan sosialisme Islam atau Islam tranformatif, berkontribusi
nyata dalam mendorong perubahan sosial. Dan, sebagai sebuah gagasan yang terus
berkembang, sudah barang tentu memerlukan interpretasi-interpretasi baru, agar
tetap aktuil untuk menjawab problem sosial bangsa ini.
Di masa kiwari,
ada sejenis kompilasi dari gagasan-gagasan sebelumnya, tetap bercorak Islam
yang sosialis, bernafas transformisme Islam, berwujud Islam Emansipatoris. Akar
utama dari gagasan ini tetaplah pada tradisi pembebasan dalam Islam. Bahkan,
pemikir-pemikir yang mendorong gagasan ini, seperti: Masdar F. Mas’udi dan
Muslim Abdurrahman, adalah nama-nama yang familiar di kalangan para pengusung
transformisme Islam.
Merujuk pada buku
yang ditulis Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris (2004), Masdar F.
Mas’udi mengungkapkan, titik tolak Islam Emansipatoris adalah problem
kemanusiaan. Teks-teks suci dipahami sebagai sinaran pembebasan. Karenanya,
Islam Emansipatoris tidak akan berhenti pada dekonstruksi dan pembongkaran teks
yang membuat kita linglung, tapi teks dijadikan sebagai wahana
pembebasan. Sebab realitas dominasi tidak hanya wacana, melainkan juga dominasi
yang bersifat riil dan materiil. Atau seperti yang ditandaskan Zuhairi Misrawi,
agama dalam tataran sosiologis-antropologis merupakan proses akultrasi agama
dengan problem kemanusiaan. Sejauh membawa visi kemanusiaan, di situlah agama
lebih bermakna.
0 komentar:
Posting Komentar