Selasa, 12 Mei 2015

Tjokro, Islam dan Sosialisme



Tjokro, Islam dan Sosialisme

Sulhan Yusuf, Pegiat Literasi

Menghidangkan sejarah, segera akan tersaji, para pencatat sejarah, sekumpulan pembaca sejarah dan sosok pembuat sejarah. Para pembuat sejarah, adalah sosok yang memahat pikirannya melampau eranya, karena memang sejarah barulah punya relevansi kegunaan ketika berdimensi kemasadepanan. Sejarah berarti kemasadepanan.

Sebulan terakhir ini, jagat perfilman tanah air digairahkan dengan pemutaran film berlatar sejarah. Film tentang sosok guru bangsa, Haji Omar Said Tjokroaminoto ( H.O.S Tjokroaminoto), yang lazim dipanggil Tjokro. Kehadiran film ini, salah satu maksudnya mengingatkan kembali bagi bangsa ini, yang tingkat lupa akan peristiwa cukup akut. Sedianya, film Tjokro ini adalah sejenis titian ingatan akan pentingnya menggali kembali sosok-sosok yang membentuk jiwa bangsa kita.

Saya mendaras kembali Tjokro, bermaksud menggali pikiran-pikiran yang dibuahkannya. Buah pikirannyalah yang kemudian mempengaruhi orang-orang di sekelilingnya, termasuk murid-muridnya sekaliber, Soekarno, Semaoen, Sekarmaji Kartosuwiryo, Agussalim. Sari buah pikiran Tjokro yang cukup monumental terekam dalam bukunya yang berjudul: Islam dan Sosialisme. Buku ini sebentuk tafsiran Tjokro atas doktrin Islam yang dipersentuhkan dengan Sosialisme untuk menjawab permasalahan sosial. Dan, sebagai sebuah gagasan yang membumi, jejaknya di masa depan pun masih terpatri, karena Tjokro memang memahatnya dalam ingatan anak bangsa.

***

Pada tahun 80-an, ketika anak-anak muda bangsa ini menggelar diskursus, tetntang pentingnya melakukan revolusi atau reformasi, salah satu tema pemikiran yang cukup menghiasi tawaran perubahan adalah pentingnya agama sebagai salah satu variable perubahan. Sehingga, muncullah tema diskursus semisal agama dan perubahan sosial. Apatah lagi, sejak berhasilnya Revolusi Islam di Iran (1979), semakin menguatkan pengkajian akan pentingnya agama untuk diajukan sebagai faktor perubahan sosial.

Muncullah kemudian nama Ali Syariati, sebagai salah seorang ideolog Revolusi Islam Iran, sebagai objek kajian. Garis utama pemikiran Syariati, melihat agama sebagai pijakan transformasi sosial, sehingga agama, khususnya Islam, ditafsirkan Syariati menjadi agama yang sangat revolusioner. Tafsiran agama yang revolusioner, oleh banyak analis diasumsikan sebagai landasan pemikiran-pemikiran yang tumbuh dalam tradisi kiri sebagai pijakannya, dan salah satunya bermuara pada sosialisme.

Pasca Ali Syariati, anak-anak muda kemudian dibanjiri oleh pemikiran-pemikiran Islam yang terpaut dengan tradisi kiri – Sosialisme, Marxisme – semisal pemikiran Asghar Ali Engineer lewat bukunya,  Islam and Liberation Theology ( Islam dan Teologi Pembebasan), Zia Ul-Haq dengan bukunya Revelation and Revolution Islam ( Wahyu dan Revololusi, Hassan Hanafi bersama gagasannya Al-Yassar al-Islami ( Kiri Islam)  dan sederet nama lain, semisal: Farid Esack, Majid Kadduri dll. Kesemua pertautan pemikiran itu kemudian biasa disederhanakan dalam narasi wacana: Sosialisme Islam, Sosialisme religius, Islam Kiri, Teologi Kiri, Islam Transformatif, dan beberapa istilah yang senada dengan semangat Islam dan pembebasan..

***

Agama, khususnya Islam, memang seharusnya ditafsirkan untuk menjawab problem sosial. Ketika reformasi terjadi di tahun 1998, tidak bisa dipungkiri pemikiran-pemikiran Islam yang bercorak pembebasan, berteologi transformatif ikut mendorong reformasi. Setidaknya, hasil riset dari As’ad Said Ali, yang dibukukan, berjudul Ideologi Gerakan Pasca-Reformasi (2012), menunjukkan bahwa sebelum dan pasca reformasi, gagasan transformisme Islam terlibat aktif dalam mendorong reformasi.

Lebih jauh As’ad membabarkan, mereka para pengusung tranformisme Islam, berorientasi politik sekaligus kultural dalam gerakannya, tidak punya problem dengan entitas negara nasional, sangat pluralis, inklusif, dan memperjuangkan demokrasi. Di Indonesia, para eksponen varian transformisme Islam hanya sedikit yang aktif dalam partai politik.

Mereka yang berorientasi politik banyak membangun jaringan dengan gerakan-gerakan kelompok sosialis dan kelompok kiri lainnya. Di kalangan ini pandangan politik varian transformisme Islam dikenal sebagai sosialisme Islam dan umumnya menjadi motor ideologis bagi kelompok-kelompok gerakan yang berbasis Islam. Demikian As’ad menegaskan.

***

Seperti halnya di waktu silam, ketika Tjokro menawarkan sintesis pemikiran antara Islam dan Sosialisme, mengantar perubahan untuk sebuah revolusi kemerdekaan. Pun di era reformasi, gagasan sosialisme Islam atau Islam tranformatif, berkontribusi nyata dalam mendorong perubahan sosial. Dan, sebagai sebuah gagasan yang terus berkembang, sudah barang tentu memerlukan interpretasi-interpretasi baru, agar tetap aktuil untuk menjawab problem sosial bangsa ini.

Di masa kiwari, ada sejenis kompilasi dari gagasan-gagasan sebelumnya, tetap bercorak Islam yang sosialis, bernafas transformisme Islam, berwujud Islam Emansipatoris. Akar utama dari gagasan ini tetaplah pada tradisi pembebasan dalam Islam. Bahkan, pemikir-pemikir yang mendorong gagasan ini, seperti: Masdar F. Mas’udi dan Muslim Abdurrahman, adalah nama-nama yang familiar di kalangan para pengusung transformisme Islam.

Merujuk pada buku yang ditulis Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris (2004), Masdar F. Mas’udi mengungkapkan, titik tolak Islam Emansipatoris adalah problem kemanusiaan. Teks-teks suci dipahami sebagai sinaran pembebasan. Karenanya, Islam Emansipatoris tidak akan berhenti pada dekonstruksi dan pembongkaran teks yang membuat kita linglung, tapi teks dijadikan sebagai wahana pembebasan. Sebab realitas dominasi tidak hanya wacana, melainkan juga dominasi yang bersifat riil dan materiil. Atau seperti yang ditandaskan Zuhairi Misrawi, agama dalam tataran sosiologis-antropologis merupakan proses akultrasi agama dengan problem kemanusiaan. Sejauh membawa visi kemanusiaan, di situlah agama lebih bermakna.

0 komentar:

Posting Komentar