Bahagia Itu Mudah
( Tempo, Jumat 17 April 2015 )
Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi
Bahagia sumbernya
dari dalam diri, yang di luar diri hanya sekadar pemantik agar api kebahagiaan
menjilati diri. Bagi diri yang berbahagia, apapun medium di sekitarnya bisa
menjadi sarana untuk membahagiakan diri. Keharuan bersetubuh kegembiraan itulah
kebahagiaan. Tersenyum sumringah adalah puncak bahagia.
Sekali waktu,
tepatnya 9 April 2015 bertempat di
gedung IPTEKS Lt.2 UNHAS, saya menghadiri acara Seminar Internasional tentang
Perempuan, Masyarakat dan Politik Internasional. Seminar menobatkan tiga
pembicara, Alwy Rachman (Budayawan), Fariba Alasvand (Aktivis perempuan Iran)
dan Dina Y. Sulaeman (Pengamat Timur Tengah). Oleh penyelenggara, yang diwakili
oleh Fitrinela Patonangi dari Human Imparsial Institut, peserta diajak untuk
mengikuti acara seminar itu dengan penuh rasa bahagia. Menjadikan persilatan
pengetahuan itu sebagai arena kebahagiaan, kendatipun seminar itu bukanlah
bertema kebahagiaan. Dan benar saja adanya, setidaknya menurut saya, acara itu
membahagiakan semua pihak, baik saat seminar berlangsung maupun ketika
perhelatan itu selesai, para peserta dililiti senyum sumringah.
Beberapa waktu
sebelumnya, pada 15 Maret 2015, saya menyambangi perhajatan acara bertajuk
Hutan Bernyanyi. Even ini memilih hutan Campaga di Kab. Bantaeng sebagai
lokasinya. Kolaborasi apik antara Kedai Buku Jeni (KBJ), Titik Bias, Balang
Institute dan Komplen Bantaeng, menyajikan menu acara musik, teater, baca
puisi, sudut baca, tehnik menyablon dan kreatifitas lainnya. Tentu hajatan
utama dari acara ini adalah mengkampanyekan pelestarian hutan. Bagi pegiat
literasi semisal saya, acara yang dibuka oleh Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah
adalah sejenis gerakan literasi paling mutakhir, sebab gerakan literasi
digandengkan dengan berbagai macam icon budaya pop. Dan dari perhelatan ini pula, saya mendapati
sebuah banner yang dipasang dekat tiang pengeras suara, sejumput
penegasan: Bahagia Itu Mudah.
Bilakah bahagia
itu mudah? Berondongan momen-momen di atas jelas mengantarkan pada rasa
bahagia. Dengan begitu, amatlah memang mudah untuk berbahagia, cukuplah
terlibat menghadiri acara-acara yang mungkin memang ditujukan untuk
membahagiakan diri. Tetapi kebahagiaan sejenis itu, hanyalah kebahagiaan
sesaat, hanya dirasakan sewaktu terlibat dalam perhelatan. Singkatnya, barulah
letupan-letupan bahagia, bahagia yang bersifat temporer, karena bahagia
tercipta kala diri terlibat dalam sebuah momentum saja. Lalu, adakah cara
berbahagia yang lebih permanen?
Adalah Matthew B.
Crawford, sesosok doktor ilmu politik dan pemilik bengkel motor, yang
menawarkan cara berbahagia yang lebih bersifat permanen, yakni berbahagia lewat
pekerjaan, melalui profesi yang kita geluti. Dalam bukunya, Shop Class As
Soulcraft, Matthew menabalkan sebuah filosofi kerja, menemukan makna
pekerjaan agar hidup lebih menyenangkan. Walakin, penegasannya ini berbasis
pada pengalaman pribadinya yang tetap bersikukuh pada pekerjaan manual berbasis
pikiran dan keterampilan tangan.
Tidaklah
berlebihan pula manakala saya mengajukan perspektif yang berdasar pada
pendekatan psikologi positif tentang
berbahagia melalui pekerjaan. Seorang Martin E.P. Seligman, pendiri Psikologi
Positif dalam bukunya yang sangat
fenomenal, Authentic Happiness, telah melakukan banyak riset tentang
hubung kait antara pekerjaan seseorang dengan kebahagiaan yang diraihnya.
Hingga tibalah pada simpaian ujar bahwa Anda perlu mengeluarkan
kekuatan-kekuatan khas Anda untuk menggumuli pekerjaan. Memoles ulang pekerjaan
Anda untuk mengeluarkan kekuatan dan kebajikan setiap hari bukan saja membuat
pekerjaan lebih menyenangkan, tetapi juga mengubah pekerjaan membosankan atau
karier yang mandek menjadi suatu panggilan hati.
“ Panggilan hati
merupakan bentuk pekerjaan yang paling memuaskan, karena sebagai suatu
gratifikasi, ia dilakukan demi pekerjaan itu sendiri bukan demi keuntungan
materi yang diberikannya. Saya memprediksikan, sebentar lagi kondisi flow
dalam pekerjaan akan menjadi alasan utama bekerja, mengalahkan imbalan
material. Perusahaan yang meningkatkan kondisi ini bagi karyawannya akan
mengalahkan perusahaan yang hanya mengandalkan penghargaan berupa uang. Yang
lebih penting lagi, dengan terpenuhinya kini kebutuhan hidup dan kebebasan
secara minimal cukup baik, kita akan menyaksikan politik yang tidak sekadar
memperhatikan garis kecukupan, tetapi juga menangani pencarian kebahagiaan
dengan serius.” Tulis Martin.
Sebagai
alternatif pemikiran penguat atas Matthew dan Martin, saya ajukan pula gagasan, sebagai langkah awal dalam memilih
pekerjaan. Tentu tiada lain maksudnya, agar setiap diri bisa berbahagia dengan
pekerjaannya. Sedapat mungkin kita memilih pekerjaan bertolak pada kesukaan
atau hobi atas bakal pekerjaan yang dipilih. Selayaknya pula menjatuhkan
pilihan pekerjaan agar idealisme diri bisa tegak di dalamnya. Dan, yang tak
kalah pentingnya, pekerjaan itu berdampak pula pada adanya imbalan nafkah yang
pantas.
Memang sumber
kebahagian itu datangnya dari dalam diri, namun pemantiknya berasal dari luar
diri. Momen-momen perhelatan yang memancing rasa bahagia perlu untuk selalu
disambangi agar api kebahagiaan terus membara membakar diri. Namun yang lebih
fantastis tentunya, sedapat-dapatnya pekerjaanlah yang membuat diri bahagia.
Sebab berjebah diri menderita, dikarenakan pekerjaan yang tidak mengantarkan
pada kebahagiaan.
Padahal jauh di masa
silam, Imam Ali bin Abi Thalib telah bersabda: “ Rekreasi terbaik adalah dengan
bekerja.” Bukankah segala sesuatu yang
bersifat rekreatif pasti menyenangkan? Bersenang-senang merupakan salah satu
pintu masuk pada rumah kebahagiaan. Dan ternyata, bahagia itu mudah, cukup
dengan bekerja dalam suasana keharuan akan hasil, larut di dalam kegembiraan
pada capaian. Bekerjalah agar berbahagia.
0 komentar:
Posting Komentar