Kamis, 14 Mei 2015

Bahagia Itu Mudah



Bahagia Itu Mudah
( Tempo, Jumat 17 April 2015 )
Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi

Bahagia sumbernya dari dalam diri, yang di luar diri hanya sekadar pemantik agar api kebahagiaan menjilati diri. Bagi diri yang berbahagia, apapun medium di sekitarnya bisa menjadi sarana untuk membahagiakan diri. Keharuan bersetubuh kegembiraan itulah kebahagiaan. Tersenyum sumringah adalah puncak bahagia.

Sekali waktu, tepatnya  9 April 2015 bertempat di gedung IPTEKS Lt.2 UNHAS, saya menghadiri acara Seminar Internasional tentang Perempuan, Masyarakat dan Politik Internasional. Seminar menobatkan tiga pembicara, Alwy Rachman (Budayawan), Fariba Alasvand (Aktivis perempuan Iran) dan Dina Y. Sulaeman (Pengamat Timur Tengah). Oleh penyelenggara, yang diwakili oleh Fitrinela Patonangi dari Human Imparsial Institut, peserta diajak untuk mengikuti acara seminar itu dengan penuh rasa bahagia. Menjadikan persilatan pengetahuan itu sebagai arena kebahagiaan, kendatipun seminar itu bukanlah bertema kebahagiaan. Dan benar saja adanya, setidaknya menurut saya, acara itu membahagiakan semua pihak, baik saat seminar berlangsung maupun ketika perhelatan itu selesai, para peserta dililiti senyum sumringah.

Beberapa waktu sebelumnya, pada 15 Maret 2015, saya menyambangi perhajatan acara bertajuk Hutan Bernyanyi. Even ini memilih hutan Campaga di Kab. Bantaeng sebagai lokasinya. Kolaborasi apik antara Kedai Buku Jeni (KBJ), Titik Bias, Balang Institute dan Komplen Bantaeng, menyajikan menu acara musik, teater, baca puisi, sudut baca, tehnik menyablon dan kreatifitas lainnya. Tentu hajatan utama dari acara ini adalah mengkampanyekan pelestarian hutan. Bagi pegiat literasi semisal saya, acara yang dibuka oleh Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah adalah sejenis gerakan literasi paling mutakhir, sebab gerakan literasi digandengkan dengan berbagai macam icon budaya pop.  Dan dari perhelatan ini pula, saya mendapati sebuah banner yang dipasang dekat tiang pengeras suara, sejumput penegasan: Bahagia Itu Mudah.

Bilakah bahagia itu mudah? Berondongan momen-momen di atas jelas mengantarkan pada rasa bahagia. Dengan begitu, amatlah memang mudah untuk berbahagia, cukuplah terlibat menghadiri acara-acara yang mungkin memang ditujukan untuk membahagiakan diri. Tetapi kebahagiaan sejenis itu, hanyalah kebahagiaan sesaat, hanya dirasakan sewaktu terlibat dalam perhelatan. Singkatnya, barulah letupan-letupan bahagia, bahagia yang bersifat temporer, karena bahagia tercipta kala diri terlibat dalam sebuah momentum saja. Lalu, adakah cara berbahagia yang lebih permanen?

Adalah Matthew B. Crawford, sesosok doktor ilmu politik dan pemilik bengkel motor, yang menawarkan cara berbahagia yang lebih bersifat permanen, yakni berbahagia lewat pekerjaan, melalui profesi yang kita geluti. Dalam bukunya, Shop Class As Soulcraft, Matthew menabalkan sebuah filosofi kerja, menemukan makna pekerjaan agar hidup lebih menyenangkan. Walakin, penegasannya ini berbasis pada pengalaman pribadinya yang tetap bersikukuh pada pekerjaan manual berbasis pikiran dan keterampilan tangan.

Tidaklah berlebihan pula manakala saya mengajukan perspektif yang berdasar pada pendekatan psikologi positif  tentang berbahagia melalui pekerjaan. Seorang Martin E.P. Seligman, pendiri Psikologi Positif  dalam bukunya yang sangat fenomenal, Authentic Happiness, telah melakukan banyak riset tentang hubung kait antara pekerjaan seseorang dengan kebahagiaan yang diraihnya. Hingga tibalah pada simpaian ujar bahwa Anda perlu mengeluarkan kekuatan-kekuatan khas Anda untuk menggumuli pekerjaan. Memoles ulang pekerjaan Anda untuk mengeluarkan kekuatan dan kebajikan setiap hari bukan saja membuat pekerjaan lebih menyenangkan, tetapi juga mengubah pekerjaan membosankan atau karier yang mandek menjadi suatu panggilan hati.

“ Panggilan hati merupakan bentuk pekerjaan yang paling memuaskan, karena sebagai suatu gratifikasi, ia dilakukan demi pekerjaan itu sendiri bukan demi keuntungan materi yang diberikannya. Saya memprediksikan, sebentar lagi kondisi flow dalam pekerjaan akan menjadi alasan utama bekerja, mengalahkan imbalan material. Perusahaan yang meningkatkan kondisi ini bagi karyawannya akan mengalahkan perusahaan yang hanya mengandalkan penghargaan berupa uang. Yang lebih penting lagi, dengan terpenuhinya kini kebutuhan hidup dan kebebasan secara minimal cukup baik, kita akan menyaksikan politik yang tidak sekadar memperhatikan garis kecukupan, tetapi juga menangani pencarian kebahagiaan dengan serius.” Tulis Martin.

Sebagai alternatif pemikiran penguat atas Matthew dan Martin, saya ajukan pula  gagasan, sebagai langkah awal dalam memilih pekerjaan. Tentu tiada lain maksudnya, agar setiap diri bisa berbahagia dengan pekerjaannya. Sedapat mungkin kita memilih pekerjaan bertolak pada kesukaan atau hobi atas bakal pekerjaan yang dipilih. Selayaknya pula menjatuhkan pilihan pekerjaan agar idealisme diri bisa tegak di dalamnya. Dan, yang tak kalah pentingnya, pekerjaan itu berdampak pula pada adanya imbalan nafkah yang pantas.

Memang sumber kebahagian itu datangnya dari dalam diri, namun pemantiknya berasal dari luar diri. Momen-momen perhelatan yang memancing rasa bahagia perlu untuk selalu disambangi agar api kebahagiaan terus membara membakar diri. Namun yang lebih fantastis tentunya, sedapat-dapatnya pekerjaanlah yang membuat diri bahagia. Sebab berjebah diri menderita, dikarenakan pekerjaan yang tidak mengantarkan pada kebahagiaan.

Padahal jauh di masa silam, Imam Ali bin Abi Thalib telah bersabda: “ Rekreasi terbaik adalah dengan bekerja.”  Bukankah segala sesuatu yang bersifat rekreatif pasti menyenangkan? Bersenang-senang merupakan salah satu pintu masuk pada rumah kebahagiaan. Dan ternyata, bahagia itu mudah, cukup dengan bekerja dalam suasana keharuan akan hasil, larut di dalam kegembiraan pada capaian. Bekerjalah agar berbahagia.



0 komentar:

Posting Komentar