Nyatakan Saja
dengan Buku
( Tempo, 15 Mei
2015 )
Sulhan Yusuf
Pegiat Literasi
Kehadiran buku
adalah bukti faktual keberadaan umat manusia sebagai makhluk terbaik di jagat. Rekaman
keadaban manusia sebagai sosok yang lantip mewujudkan peradabannya. Sebab, melalui
bukulah masa lalu bisa didaras ulang, era kiwari dapat di utak-atik, masa depan
mampu diintip. Sejarah buku merupakan sari diri peradaban umat manusia selaku
makhluk terbaik yang melata di atas bumi. Pun, teknologi industri perbukuan
makin canggih dengan hadirnya e-book
(buku digital) yang cukup mengusik buku cetak.
Entah sudah
berapa kali, saya belanja pada sebuah toko buku di salah satu pojok Universitas.
Cukup lama baru saya sadari, setelah mengamati lembaran kwitansi pembayaran, selain
jumlah harga buku, juga tertulis tagline dari toko buku tersebut:
Nyatakan Saja dengan Buku.
Pada dinding
belakang meja kasir pemiliknya termaktub penegasan akan keberadaan tokonya:
Apapun Perofesi Anda, Bukunya Ada pada Kami. Dan, bulan yang lalu, toko buku itu
sudah tutup, lalu pemiliknya beralih jualan. Konon, alasan tutupnya toko buku adalah
lesu penjualan. Belum lama berselang, rupanya ada toko buku yang cukup besar di
bagian utara kota ini, yang juga tutup. Singkatnya, awal tahun 2015 kota
Makassar telah kehilangan dua toko buku.
Padahal, kita
baru saja memperingati Hari Buku Sedunia ( World Book Day), yang jatuh setiap
tanggal 23 April. Dunia memperingati hari buku, itu berarti mensupport
peradaban, peradaban buku. Dan Ahad, 17 Mei besok, kita akan memperingati Hari
Buku Nasional, hari peresmian Perpustakaan Nasional di Jakarta, 35 tahun lalu.
Ada pula
kebiasaan saya, yang mungkin kurang populer saat ini. Paling tidak peristiwa
ini sebagai rujukannya. Sekali waktu, saya menghadiri hajatan pernikahan seorang
kawan. Kubawalah kado berisi buku sebagai tanda restu atas perkawinannya.
Rupanya, di tempat resepsi tidak disiapkan tempat kado, yang tersedia cuma dua
guci tempat memasukkan amplop berisi uang undangan. Keluarga pengantin tak
begitu respek atas kadoku, maka diletakkannyalah persembahanku itu pada tempat
yang kurang layak.
Banyak faktor
yang bisa dituduhkan sebagai penyebab menurunnya minat terhadap buku. Dalil
klasik tiada lain kurangnya minat baca, otomatis minat pada buku pun rendah. Bidikan
paling mutakhir tertuju pada semakin majunya teknologi komunikasi, hadirnya
internet yang memudahkan akses ilmu pengetahuan. Perangkat gadget yang
menggila di pasaran, ikut dituding sebagai biang yang ikut menggilas keberadaan
buku. Hadirnya e-book, semakin menguatkan premis itu. Apatah lagi,
lahirnya generasi Z, sebagai penggelaran untuk generasi muda sekarang ini, yang
gaya hidupnya tak bisa lagi lepas dari serbuan perangkat gadget yang
perangkapnya tak terduga. Dan tak begitu bangga lagi menenteng buku.
Saya lalu
teringat akan sebuah buku yang berjudul Elegi Gutenberg, ditulis oleh
Putut Widjanarko sewaktu masih memimpin salah satu penerbit berpengaruh di
tanah air.
Ulasan Putut
menarik untuk diajukan, guna melihat posisi kehadiran e-book di tengah
saudara tuanya, buku cetak. Menurutnya, saat ini, ada dua teritori. Pertama, teritori yang dikembarai lewat buku
tercetak, inilah teritori Gutenberg, sebagai era yang dinisbahkan untuk
menggelari produk mesin cetak. Sebuah teritori yang memberi pengalaman estetis,
untuk tidak menyebut pengalaman spiritual, yang karenanya bersifat personal.
Serta, bagi sebagian orang, mungkin tak tergantikan oleh medium lain.
Kedua, teritori cyberspace
-- mewakili ujung kemutakhiran tekhnologi—yang tidak bisa mempengaruhi, atau
mudah mengubah dunia literer. Dan perubahan itu bisa menyeluruh: dari sekadar
cara baru distribusi buku lewat toko buku online, penyebaran langsung
isi buku tanpa harus dicetak sama sekali, hingga –kalau ada—pengalaman estetis
baru yang sama sekali berbeda, atau malah bertentangan.
Tulisan Putut cukup
menghibur para pecinta buku dan pebisnis buku. Menarik bila hasil riset
diajukan sebagai penguat akan masih pentingnya berpegang teguh pada buku. Saya
nukilkan publikasi hasil riset dari media Time Healthland, tahun 2012. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa membaca materi dari buku cetak lebih mudah diingat untuk
jangka panjang dibanding membaca lewat layar.
“Apa yang kami temukan adalah bahwa
orang-orang yang membaca dari kertas lebih cepat merasa tahu atas informasi
yang dibaca. Ketika membaca lewat komputer, dibutuhkan waktu yang lebih lama
dan harus membaca berulang-ulang agar pembaca dapat menjadi tahu,” kata Kate
Garland, dosen psikologi di University of Leicester Inggris.
Selayaknya kehadiran
e-book menjadi mitra buku cetak. Tidak harus saling meniadakan, apalagi
menggusur. Keduanya adalah produk peradaban, sebagai bukti akan keistimewaan
umat manusia dalam hidup berkemajuan. E-book harus dipandang sebagai
cara mudah mengakses ilmu pengetahuan, dengan segala resiko kekurangan yang
mengiringinya, dan tanpa harus menampik keberadaan buku cetak. Bahkan di negara
maju sekalipun, kehadiran buku cetak masih menempati penanda peradaban
terdepan. Tak perlulah risau akan keberadaan buku cetak, dengan segala macam ancaman
terhadapnya, sebab masih punya daya tarik yang tak mungkin digantikan oleh e-book.
Jadi, bila ada
kepentingan untuk menyatakan hasrat, pada suatu momentum kehidupan yang sarat
arti kehayatan, sodorkanlah buku sebagai penandanya, sebagai bukti akan
keadaban, penghias peradaban, lantaran kita adalah makhluk yang beradab. Buku
adalah produk sekaligus penjaga peradaban. Benderangkanlah dengan buku akan
keberadaban, selaku makhluk beradab. Karlina Leksono bilang, memang buku
hanyalah benda mati, tapi di dalamnya ada kehidupan. Maka tak ada salahnya menyatakan
hidup dengan buku.
0 komentar:
Posting Komentar