Dia terlahir dengan nama Damai Tampan, kurang lebih 45 tahun yang lalu, di
sebuah kampung pinggir laut, tepatnya di Tompong, Kelurahan Letta, Butta Toa -Bantaeng.
Tompong sendiri merupakan daerah yang sudah cukup tua bagi peradaban Bantaeng.
Di tempat inilah terdapat mesjid paling tua, Mesjid Towayya yang dibangun pada tahun 1887 atas prakarsa
Raja Bantaeng, Karaeng Panawang, di atas tanah wakab H. La Bandu, seorang
pedagang sukses asal Wajo. Hingga generasi ketiga dari keluarga ini, tetap
menjadi penanggungjawab. Saat ini, cucu pendiri mesjid ini, DR. Anis Anwar Makkatutu
menjadi ketua yayasan.
Di kampung Tompong ini pula terdapat Balla Bassia, sebuah rumah peninggalan
pendiri mesjid. Tidak jauh dari Masjid Toayya Tompong dan Balla Bassia,
terdapat pula dua buah bangunan tua, Balla Lompoa di Lantebung sebagai rumah
tinggal dan Balla Lompoa di Letta selaku Istana Raja Bantaeng.
Masa kecil Damai Tampan ditapaki di kampung ini. Suasana pantai yang indah,
baik di pagi maupun sore menjadi pembentuk jiwanya. Jiwanya menjadi luas,
seluas samudra. Bibir pantai kampung Tompong, senantiasa mengecup gelombang
ombak dari laut Flores. Ombak laut Flores akan segera teduh, damai tak beriak
lagi setelah mendapat kecupan lembut dari bibir pantai Tompong. Sebuah
penyatuan abadi, yang hingga kini berlangsung.
Meski pantai ini sudah tak berpasir lagi, sebab sudah dibangun tanggul
penahan ombak. Sekali waktu, Damai Tampan berbisik padaku; “masihkah pantai ini
layak disebut pantai ketika tak berpasir lagi? Pasir selaku bibir pantai,
begitu lembut mengecup gejolak ombak, telah berubah menjadi tanggul yang keras
kokoh. Mampukah tanggul itu mengecup, selembut pasir mengecup gelora ombak laut
Flores?”
Dari sekian banyak anak yang seusia dengan Damai Tampan, akulah yang paling
dekat dengannya. Di samping kawan main, aku masih kerabatnya, sepupu duakali
dari garis ibu. Bahkan saking dekatnya, aku pun sebenarnya saudara sesusuan
dengan Damai Tampan. Pasalnya, ketika kami masih menyusu, ibunya pergi a’buritta
(mengundang kerabat) karena tantenya akan kawin. Saat ditinggal itulah, Damai Tampan
menangis ingin menete, maka ibuku pun menyusuinya, hingga jadilah kami saudara
sesusuan. Cerita ini kuperoleh dari ibuku, saat usiaku menginjak belasan tahun.
Kala masih kanak-kanak, kami pun sering main ke sekitar Balla Lompoa.
Banyak misteri yang belum kupahami hingga kini. Maklumlah, kami bukanlah
keturunan keluarga Raja Bantaeng. Kami bukan bangsawan, hanyalah masyarakat
biasa yang tak punya akses ke tempat tersebut. Kami hanya sering memandangi
Balla Lompoa, atau sekadar lalu lalang di depannya.
Namun usiaku yang sudah kepala empat ini, disusul dengan
perubahan-perubahan tata cara bermasyarakat memungkinkan misteri-misteri itu
terkuak. Apatah lagi Damai Tampan, sangat mudah aksesnya saat ini untuk menguak
kisah-kisah misteri Balla Lompoa. Dan Damai Tampan telah berjanji untuk itu, “
suatu waktu engkau akan baca tulisanku tentang Balla Lompoa dan segala
misterinya. Demikian pula segala hal yang bisa kutuliskan tentang Butta Toa -
Bantaeng”
Kini, Damai Tampan memang adalah seorang pegiat literasi, seorang aktifis
yang mendedikasikan dirinya untuk mencerahkan masyarakat, lewat aktifitas
peningkatan minat baca-tulis. Terlibat serius dalam gerakan literasi, nyaris
hidupnya dihabiskan untuk gerakan literasi. Bahkan, aku dan kawan-kawanku
menjulukinya Pendekar Literasi. Adapula kawan yang lebih dahsyat lagi
menjulukinya sebagai Raja Literasi di Bantaeng. Apapun julukannya, sebagai
Pendekar Literasi atau Raja Literasi, yang jelas istilah literasi begitu dekat
dengan Damai Tampan.
Dari sinilah sesungguhnya, cerita Daeng Litere ini pun bermula. Damai
Tampan berubah namanya menjadi Daeng Litere. Aku sendiri sebagai karib, dan
juga kerabatnya akan banyak terlibat bersamanya. Senantiasa mendampinginya,
mengiringi pengembaraannya selaku Pendekar Literasi.
Aku lupa kapan persis kejadiannya. Yang pasti, sekali waktu aku menemaninya
bertandang ke sebuah kampung untuk meriset tentang budaya kampung itu.
Ketemulah kami dengan tetua kampung itu. Aku sebagai guidenya, mengenalkan
Damai Tampan pada tetua kampung. “Tabe Daeng, ini kawanku namanya Damai Tampan,
dia seorang pegiat literasi”, kataku mengenalkan pada tetua kampung. Sebab
tetua kampung ini sudah agak lanjut usia, perkataanku pun didengar secara
samar. “ Ooo...I Litere “, ucap tetua kampung. Aku hendak menjelaskan lebih
jauh kesalah dengaran itu, tapi kupendam saja. Toh, bukanlah yang penting saat
itu.
Sepulang dari tandangan itu, saya berseloroh di atas motor, sambil bercanda
pada Damai Tampan, “ I Litere ..., nama yang indah dan inspiratif ...
he...he..he... daeng toa... daeng toa.”
Damai Tampan agak kesal menimpali, “memangnya saya ini liter, bentukku
seperti liter?” Lalu kusambung, “sudahlah, malah menurutku ini nama yang tepat
untukmu selaku Pendekar Literasi, apatah lagi sudah jadi Raja Literasi. Antara
literasi dengan litere beda-beda tipislah. Dan bagiku julukanmu sebagai litere
cukup tepat. Bukankah engkau memang cukup sering menimbang-nimbang segala
persoalan, bahkan meliter-liter setiap pendapat yang ingin kau tuliskan, wahai
Daeng Litere?
Sejak saat itulah aku selalu memanggil Damai Tampan sebagai Daeng Litere.
Nama julukan ini lebih terasa lokal, setidaknya menyesuaikan dengan selera
lokal dalam berbahasa, bahasa Makassar. Literasi sendiri akar katanya adalah
literer, yang berarti berhubugan dengan tradisi tulis. “ Jika kata literer ini
diadaptasi ke dalam istilah bahasa Makassar, jadilah ia litere, meski dengan
pengertian yang berbeda. Bisalah
dicocok-cocokkan, semacam cocologi ( ilmu mencocok-cocokkan) he..he...”
Candaku pada Damai Tampan, dan ia pun dengan hati yang berbunga-bunga menyukainya.
Walhasil, julukan baru ini, Daeng Litere sebagai nama panggilan dari Damai
Tampan, sangat populer dan merakyat. Kemanapun Damai Tampan merayap,
orang-orang memanggilnya dengan Daeng Litere. Amat sangat populer panggilan ini
di Butta Toa – Bantaeng. Sehingga, pernahlah terlontar dalam benakku, agar
Daeng Litere mencalonkan diri sebagai Caleg DPRD. Dan dari rumor yang kudengar,
amat banyak partai yang melamarnya. Namun Daeng Litere bertutur: “ Cukuplah
bagiku untuk menjadi pegiat literasi saja, inilah caraku berkontribusi untuk
tanah airku. Dan biarlah penaku yang bicara, menuliskan kata, sebagai senjata
untuk menorehkan segala yang bisa kutulis, tentang tanah yang begitu kucintai
ini.”
Memang, kecintaan Daeng Litere pada tanah kelahirannya, sungguh teramat
dalam. Sekali waktu kutanyakan padanya, “ Daeng Litere, mengapa cintamu pada
tanah Bantaeng ini begitu dalam? “
Ia pun bersabda bak seorang bijak bestari, “ tanah ini, Bantaeng wajib
untuk kucintai. Laut, gunung, lembah, hamparan sawah, perkebunan semuanya ada.
Semua jenis tanaman ada di sini. Banyak ragam jenis hasil laut mudah kutemui.
Udara segar kuhirup dengan suntuk. Raga negeriku ini begitu molek untuk
disetubuhi.”
“ Orang-orangnya begitu ramah, multi etnik. Sejarahnya sudah amat tua,
masih lebih tua dari kota Makassar, maka julukan Butta Toa menjadi pantas
untuknya. Bantaeng adalah sepetak surga di bagian selatan pulau Sulawesi.
Bagiku, Butta Toa-Bantaeng adalah miniatur Nusantara, Indonesia. Bhineka
Tunggal Ika telah tersemaikan di tanah ini. Dengan begitu, wajarlah manakala
pelosok Nusantara yang lain bercermin ke Bantaeng.”
Sebegitu fanatikkah Daeng Litere pada tanah kelahirannya? Aku menohoknya
agar jangan terlalu membanggakannya. Namun Daeng Litere malah makin bergairah
meluapkan kecintaannya di hadapanku. Di raihnya handpone miliknya, lalu aku
disuruh misscall. Aku pun melakukannya, lalu bunyilah handpone itu,
memperdengarkan sebuah tembang lawas dari Koes Plus, Kolam Susu judulnya. Lalu
Daeng Litere menatapku sambil berkata :“ Kolam Susu yang dimaksud dalam lagu
itu adalah Bantaeng ini, tanah yang kita pijaki bersama.”
Tembang lawas
Koes Plus ini kunikmati bersama Daeng Litere, sambil meresapi bait-baitnya.
Kolam Susu
Bukan lautan
hanya kolam susu
Kail dan jala
cukup menghidupimu
Tiada badai tiada
topan kau temui
Ikan dan udang
menghampiri dirimu
Orang bilang
tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan
batu jadi tanaman
(Koes Plus)
Dari nada panggil
handpone Daeng Litere, yang memperdengarkan lagunya Koes Plus, barulah kutahu
pula, bahwa ia seorang penggemar Koes Plus. Sebuah kelompok band legendaris
tanah air. Dalam banyak kesempatan kemudian, kebersamaanku selalu diiringi dengan tembang-tembang lawas Koes Plus yang
ratusan jumlahnya. Bagiku, sosok Daeng Litere lumayan komplit. Simpulan sementaraku, “dia seorang pegiat
literasi sekaligus fans Koes Plus. Dahsyat orangnya, aku mengaguminya” ucapku
membatin.