Minggu, 15 Desember 2013
TITISAN-CINTA-LELUHUR
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.16
hari itu,
aku menyksikan karibku
tersenyum simpul memburai
terisak lepas mendesah
siang itu,
karibku berbinar matanya
kelopaknya basah
butiran kristal melompat
dipandangnya buah pikirnya
dirabanya gejolak batinnya
dipeluknya bunga-bunga ruhaninya
yang kini telah mewujud
saat itu,
anak ruhaninya telah lahir
didekapnya dengan sahdu
bahagia menderu-deru
diberinya nama: Titisan
berayahkan: Cinta
bermarga: Leluhur
Titisan Cinta Leluhur
kerabat beriang
para dayang sibuk mengusung
sebuah rencana perhelatan
untuk aqiqah sang anak ruhani
mari mendaras sang anak
mendupai di kedalaman jiwa
bersejajar di perhelatan pikir
berbahagia dalam rapatan duduksila
Sabtu, 14 Desember 2013
BAHAGIA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
16.06
Sang Guru menggandeng tanganku, untuk mengunjungi seorang karib yang harta-bendanya ludes dilalap si jago merah. Ia berbisik : " Han..., pada karibmu inilah dikau bisa bercermin, ketika ia disapa oleh musibah, masihkah ia tersenyum? Jikalau ia tersenyum, itulah alamat yang paling nyata dari sosok yang berbahagia." Dan karibku ini tetap tersenyum, seperti sediakala di kala jumpa dengannya.
Kamis, 12 Desember 2013
KAIL
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
14.30
Pada Jum'at barakah nan gerimis menyertai, Sang Guru mengendap-ngendap dalam pikiranku, lalu daku membatin ketika ia menyabdakan narasi: " Han..., wariskanlah pada anak turunanmu dan juga negerimu, tentang bagaimana cara hidup. Sebab dengan begitu, ibaratnya dikau telah memberikan bekal berupa kail, yang bisa digunakan untuk memancing apa saja, di mana saja dan kapan saja. Kail kehidupan itu jauh lebih penting dari segala yang bisa dikail."
Rabu, 11 Desember 2013
KRITIK (2)
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
05.18
Seorang kawan menyampaikan kegundahannya padaku, akan seorang pemimpinnya yang sudah mulai dilanda penyakit anti kritik, pengiritik selalu dianggap sebagai musuhnya. Sang Guru yang ikut menyimak gundah gulana itu, ia pun bergumam lalu menoleh kepadaku sembari bergetar suaranya ia bertutur: "Han..., beritahulah pemimpinmu itu, bahwa anti kritik sama dengan menggali kuburan keterhampasan pada ketidakharmonisan hidup. Kritik adalah sejenis jembatan akan harmonisnya hidup bermasyarakat."
KRITIK (1)
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.59
Kali ini Sang Guru membelaku, ketika di sebuah perhelatan pikiran saya melayangkan kritik dan orang sekitar cukup abai akan lakonku itu, maka ia pun menepuk pundakku sambil berbisik: "Han..., nyatakan kesetianmu dengan cara mengeritiknya, bukan dengan cara menjilatnya. Dengan mengeritik, sama halnya dikau telah menunjukkan adanya ia sebagai manusia yang memang pada ghalibnya bersemayam kealfaan akan dirinya sendiri."
Jumat, 06 Desember 2013
BANTAENG
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
16.51
Butta Toa julukanmu
di masa silam
adamu sudah 759 tahun
tapi kemanakah
kami melacak ketuaanmu?
sebagai alamat kematangan jiwa?
The New Bantaeng jargonmu
Bantaeng baru sloganmu
di waktu kiwari
banyak yang baru
tapi apa guna kemasan baru
jikalau insan kerdil yang melata di atasnya?
Kamis, 28 November 2013
SEADANYA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
18.41
Oh...duhai Sang Guru, indah nian sabdamu sore ini, seiring senja yang damai, dikau menyatakannya: " Han..., mencintalah dengan apa adanya, tanpa embel-embel. Ibarat minum kopi, teguiklah ia tanpa gula atau susu, biar pahitnya berasa, aga rasa pahitnya menyata apa adanya. seadanya. Kopi adanya pada pahitnya. Cintailah sesuatu dengan seadanya saja. Cinta adanya pada seadanya."
Jumat, 15 November 2013
DEGIL
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
17.37
handai toulan menyusup ke mukimku
ia lalu berujar
"pagi ini terasa terasa tenang
angin malas berhembus
burung enggan berkicau
awan cuma memendung
butiran embun masih nampak
pertanda apakah ini?"
batinku dililiti rasa tenang
terkenang akan sabda
jiwa yang tenang
mulai menggoda
semua menahan diri
angin burung awan embun
tenang damai
cakrawala tersenyum
namun ada segelintir insan
yang tak kuasa menahan diri
mereka marah
menyakiti kaum yang beda darinya
menghina perempuanya lebih rendah dari pelacur
menjambak jilbabnya
mementung kepala kaum lakinya
membusur badan kaum mudanya
mereka perampok di jalan Tuhan
perompak di perhelatan ruhani
pencuri ayat suci
pembajak kebenaran
lebih mulialah angin burung awan embun
sebab mampu menahan diri
menjamukan ketenangan
wujud ilahi di alam semesta
mereka adalah kaum degil
keras kepala
kepala batu
batu mati
mereka memiuh sabda ilahi
sesempit alam pikirnya
segersang ruhaninya
sedangkal jiwanya
mereka penyamun tradisi
mereka pengacau peradaban
Kamis, 14 November 2013
RAMAH-SENYUM
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
23.37
para pemburu cinta
menyambangi negeriku
para pencari kearifan
singgah di mukimku
hanya sebongkah keramahan yang bisa kuberi
cuma seutas senyum yang kupersembahkan
keramahan bak seuntai kembang
senyuman ibarat senandung tembang
kembang bunga mekar di taman hati
tembang senandung rindu menggelora di sudut jiwa
Rabu, 06 November 2013
PERGI-PULANG
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
14.06
Cukup lama Sang Guru jedah memberikan pencerahannya, lalu kali ini ia hadir dengan sabda: "Han..., jikalau engkau pergi mencari tujuanmu, dan dikau tersesat karenanya, itu tidaklah mengkhawatirkan. Sebab, resiko dari mencari salah satunya adalah tersesat. Tidak ada yang lebih mencemaskan, ketika tidak menemukan jalan pulang, benar-benar itulah kenistaan. Carilah jalan pulangmu."
Selasa, 05 November 2013
HIJRAH
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
16.17
Tahun baru 1435 H menyapa
dengan dentuman gejolak diri
mengajak berkemas
mempersiapkan diri untuk pulang kampung
kampung halaman yang dulu ditinggal pergi
perlahan merindu padanya
lamat-lamat melambai memanggil
jalan pulang terbentang
hijrah dulu bermaksud meninggalkan kampung
hijrah kini bermakna pulang kampung
gejolak purba menantang kembali
perjanjian primordial menagih tunainya
Wahai diri yang azali
bingkisan nomena
bebaskan diri dari bungkusan fenomena
yang azalilah dapat berpulang ke yang abadi
hijrah menuju keabadian
berbekal tingkah
yang mewujud pada amal
amallah yang abadi
merintis jalan pulang
keharusan bagi setiap diri
itulah hakekat jihad
dalam hijrah terwujud jihad
Rabu, 09 Oktober 2013
KEJAR
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
01.41
Siang tadi saya bercakap dengan seorang kawan, lalu Sang Guru menyela
di antara percakapan dengan selorohnya: " Han..., sudahkah dikau mampu
membedakan antara bisnis spiritual fan spiritual bisnis? Bukankah sudah
lama pula dikau mengejar uang dan ternyata yang dikau peroleh belumlah
seperti harapanmu. Berhentilah dikau mengejar uang, biarlah uang yang
akan mengejarmu."
Senin, 07 Oktober 2013
KEABADIAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.20
Ini hanyalah
amsal
sebuah permisalan
tentang seekor burung
yang menempuh
suluknya
Pada dinihari
dirinya terlahir
di ujung malam
subuh
menjemputnya dengan tetesan embun
Pada pagihari
dirinya mulai
terbang tanpa lelah menaklukkan cakrawala
ujung pagi
melepasnya dengan terik yang membakar
Pada sianghari
dirinya mulai
berkemas untuk pulang
singgah sejenak
di kelelahan surya
Pada sorehari
dirinya
bertengger di senja yang ramah
menanti magrib
yang datang menyongsong
Pada malamhari
dirinya menemukan
istirahatnya
berdamai dengan
gulita malam
Jelang dinihari
dirinya harus
lahir kembali
namun rasa enggan
menahannya
gulita malam
telah menawannya
damainya malam
telah menerungkunya
keabadian telah
bertemu dengannya
MASA-SENJA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
02.55
Senja memang selalu menarik
bagi para pelantun cinta
penyair, penembang dan pesuluk
semenarik usia yang makin bijak
bajik dalam kebijakan
matang di rahim kehidupan
menanti di persimpangan
pergantian siang malam
abadi di masa berikut
pada keabadian yang pasti
siang malam bukan lagi masa
kekekalanlah masanya
Jumat, 04 Oktober 2013
RUSUH
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.48
Melihat di sekeliling dalam sebuah ruang perjamuan jiwa, daku begitu banyak menyaksikan kegelisahan menyeruak ke permukaan, lalu Sang Guru menenangkanku, dengan kalimat santun: " Han..., hati yang rusuh menuai kegelapan. Rusuh hati akan berbunga marah dan berbuah amuk. Jikalau rusuh hatimu, tundalah sejenak. Agar bunganya tidak mekar dan buahnya pun jadi hampa."
Rabu, 02 Oktober 2013
TERGESA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
01.41
Kali ini Sang Guru membilangkan satu perkara yang amat menyentak
kesadaranku, sabdanya: " Han..., sebab usiamu telah dijatah, maka
perlambatlah laju hidupmu, agar kemelataanmu di atas bumi lebih lama
adanya. Usahlah tergesa-gesa, sebab ketergesahan sedungguhnya
mempercepat habisnya jatah usiamu."
Senin, 23 September 2013
MANUSIA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
02.24
Merasa prihatin akan kegamanganku pada cakrawala kehidupan, Sang Guru
berempati dengan ujar-ujarnya: " Han..., di masa kiwari ini, kemanusiaan
dan kebinatangan amat samar perbedaannya pada dirimu. Kamu itu manusia,
maka hiduplah layaknya sebagai manusia dan matilah dengan
kemanusiaanmu. Dan janganlah hidup layaknya binatang, apalagi mati
seperti binatang, mati dalam kebinatangan."
Minggu, 22 September 2013
PERADABAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
05.51
Sang Guru mengingatkan satu hal akan pentingnya masa depan ditilik, sabdanya padaku: " Han..., bekerjalah demi tegaknya peradaban. Kerja-kerja peradaban tidaklah selalu menuntut kemegahan. Kerja sederhana sekalipun, yang penting berdimensi peradaban. Mendorong semangat literasi adalah pintu masuk dari kerja-kerja peradaban. Amat janggal bicara peradaban bila tanpa tradisi literasi di dalamnya. Kerja-kerja peradaban adalah kerja-kerja kenabian."
Kamis, 19 September 2013
SASAU
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
16.28
Pada Jum'at mubarakah seperti hari ini, biasanya Sang Guru
menyambangiku dan tak henti-hentinya menohok dengan wejangan-wejangan,
dan beginilah tuturannya: " Han..., di hadapan orang yang menyasau, para
penyasau sering berucap tentang hal yang meninabobokkan pikiranmu,
menggalaukan hatimu. Tapi, cobalah dengar apa yang tak terucap
darinya. Hal itu akan mencegahmu dari tipu daya sasauannya.
Selasa, 17 September 2013
BUKU
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
02.48
Untuk kesekian kalinya Sang Guru bersamaku menyambangi toko buku, Ia
pun menggumamkan tutur: " Han..., apapun kepentinganmu kala melata di
atas bumi ini, nyatakan saja dengan buku. Kehidupan dengan segala
pernak-perniknya akan damai bersama buku. Rindukanlah damainya kehidupan
lewat buku-bukumu."
TEMBANG
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
02.27
Anak-anak Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan menembang tentang diri-alam-hidup-Tuhan
Pada siang jelang senja di rumah pengetahuan
anak-anak masa depan
menembangkan nyanyi
tentang membaca diri
Pada garasi yang sederhana di rumah pengetahuan
anak-anak muda belia
menyanyikan tembang
tentang membaca alam
Membaca diri menulis lewat laku
membaca alam menulis lewat ibadah
Merekalah anak kandung peradaban
yang mereka rintis sendiri
sebab mereka mulai tidak percaya
pada pijakan kekiniannya
Bagi mereka
hidup adalah membaca
hidup adalah menulis
diri-alam-laku-ibadah
Dalam laku kaku bisu
mereka membaca
dalam ruang waktu cinta
mereka menulis
Mereka membaca
mereka menulis
membaca-menulis
agar layak menuju-Nya
Senin, 16 September 2013
TENANG-SENANG
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
16.51
Sang Guru menggandengku ke sebuah pusara yang pusaran mistikalnya
begitu menyedot jiwaku, lalu Ia berbisik pada kedirianku: " Han...,
tuntunlah ketenangan di dalam hatimu, tuntutlah keriangan di luar
kisaran dirimu. Ketenangan bermakna kedalaman, kesenangan berarti
keriakan. Pada dasar laut yang dalam begitu tenang, namun di permukaan
gelora ombak tetap menggulung."
Kamis, 12 September 2013
KRISTAL
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
17.06
Aku memang keliru
telah menitipkan harapan
pada embun yang ketika pagi menjelang
menguap disapu mentari
Aku masih punya pelipur lara
pada daun talas yang setia
menampung embun
di hamparan liukannya
Daun talas merahimi embun
memaksa mentari mengeraskannya
menjadi butiran berkilau
mewujud biji kristal
Biji kristal kaukah itu
yang mewujud menjadi "kulau laninring"?
yang diburu para pecinta kebeningan?
di keheningan?
Senin, 09 September 2013
JABATAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
05.24
Seorang kawan berkeluh kesah padaku, tentang perubahan prilaku kawannya
yang baru saja mendapatkan jabatan, lalu Sang Guru menuntunku pada
suatu renungan :" Han..., pahamilah bahwa jabatan itu sesungguhnya
adalah amanah, maklumilah jikalau ada yang berubah karena jabatan baru
itu. Sebab, pada dasarnya setiap yang baru pada diri seseorang selalu
dipertunjukkannya, karena ia butuh pengakuan akan kepemilikan jabatan.
Bukankah anak kecil saat punya mainan baru, selalu pula
mempertunjukkannya?"
Selasa, 03 September 2013
KOTAKU
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
06.48
Pohon-pohon kotaku berdarah
menjerit meneteskan airmata
terbata-bata menghalau terik
buat pejalan yang dirampok trotoarnya
kali ini daku ingin bertanya
gerangan apa di otakmu
wahai para calon walikota
pohon kotaku dikau pakui?
kuingatkan pada dirimu
batang pohon kotaku
masih lebih gagah dari postermu
kali lain ingin pula ku gugat
gerangan apa di benakmu
wahai para pengendara
trotoarku dikau rampok?
kunyatakan padamu
kakiku butuh jalan
bukan kendaraan
Minggu, 01 September 2013
MASA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
19.44
Dalam perjalanan pulang ke tempat mukim, di atas kendaraan umum, Sang Guru sayup-sayup menerangkan secuil khotbahnya: " Han..., Tuhanmu bersumpah pada masa tentang diri yang beruntung dan yang merugi. Lalu dikau diberinya jatah masa, maka berlombalah dengan masa untuk menyempurnakan diri. Sebab hanya kesempurnaan dirilah yang mampu beradaptasi di masa berikut, saat kehidupan berlanjut di keabadian."
Rabu, 28 Agustus 2013
KEMATIAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
02.46
Ikut mengantar jenazah seorang sahabat, teringat nasehat Sang Guru: "
Han..., sesungguhnya kematian seseorang adalah puncak kesempurnaan
perjalanannya. Dan itulah pintu kepastian yang mesti dilewati menuju
keabadian. Keabadian merupakan cita fitrawi yang melekat pada setiap
diri."
Senin, 26 Agustus 2013
Kamis, 22 Agustus 2013
UMUR
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
16.44
Termenung seorang diri, membatin perjalanan hidup, tiba-tiba saja Sang
Guru menyingkapkan rahasia umur, tuturnya: " Han..., kala jatah umurmu
makin berkurang, organ ragamu satu persatu memohon istirahat, maka
penuhilah rengekannya. Dan seharusnya, jiwamu makin bergiat mencari
labuhan ruhani, makin merindu pada keabadian. Sebab, demikianlah ujung
perjalanan sang jiwa."
Rabu, 21 Agustus 2013
BERKAH
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
01.09
Dalam suatu bincang-bincang ringan tentang kalutnya kehidupan, Sang Guru menggurui : "Han..., tidaklah perlu takut akan ketiadaan reski. Tuhanmu tidak akan pernah mencabut rezki buat setiap hambanya, karena memang itulah janjinya. Namun berkah dari reski itu sewaktu-waktu Ia bisa ambil, amat bergantung pada perlakuanmu terhadap reski itu."
Kamis, 15 Agustus 2013
BENDERA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
22.33
Sehari menjelang 17 Agustus 2013 ini, daku belum juga menaikkan
bendera, laiknya khalayak yang telah menunaikannya, lalu Sang Guru pun
menghibur dengan sabdanya: "Han..., bendera itu bukan untuk dikibarkan,
tapi untuk dipeluk. Dekaplah benderamu itu, agar bisa menyelimutimu dari
sesaunya anak negeri, yang telah merompak negerinya sendiri."
Rabu, 14 Agustus 2013
Senin, 12 Agustus 2013
Jumat, 02 Agustus 2013
DIRI
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
02.03
Entah mengapa, Sang Guru tau bahwa daku gundah memikirkan nasib diri,
yang ditelikung oleh hasrat duniawi, Ia menohokku dengan sabda: "
Han..., lebih mudah menaklukkan yang di luar diri, meski sulit
mengenalinya. Dan amat sulit menundukkan yang di dalam diri, meski mudah
menemukannya. Yang di luar hasilnya menguatkan, sementara yang di dalam
melemahkan diri. Dan itulah sungguh-sungguh wujud kekalahan."
Rabu, 31 Juli 2013
BUAH (2)
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
00.01
Saat duduk-duduk bercengkrama dengan Sang Guru di rerumputan taman, bersabdalah Ia padaku: " Han..., tanamlah biji buah kehidupan itu, rawat dan pupuklah, agar kelak menjadi pohon yang lebat, bakal menghasilkan buah yang matang. Berikutnya, bersiaplah sebab kematangan hidup akan menyungkupimu."
Minggu, 28 Juli 2013
BUAH
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
16.36
Dalam sebuah percakapan dengan Sang Guru, Ia menunjuk pada sebatang pohon, lalu berkata: " Han..., biarkanlah buah-buah itu matang di pohonnya, sebab dengan cara itulah, biji kehidupan akan ada pada dirinya. Tugasmu hanyalah menunggu kematangannya, lalu selanjutnya tanamlah biji itu, agar kehidupan menjalani takdirnya."
Sabtu, 20 Juli 2013
Rabu, 17 Juli 2013
KATA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
18.26
Untuk sobat-sobatku
yang bersahut-sahutan lewat kata-kata puitis
yang amat cemas dengan kota mungilnya
yang dicintainya, sepenuh jiwa
daku teringat kembali
akan sebuah penegasan: "Kata adalah senjata"
Kata memang bisa jadi awal perjuangan
dan sekaligus sebagai akhir pertumpahan.
Bukankah yang akan tersingkir itu
adalah mereka yang terbuai kata-kata?
Mereka akan terbunuh oleh kata
sebab kata bisa membunuh
Maka sobat-sobatku
terjunlah ke ranah mereka
ejakan huruf demi huruf
dalam bingkai kata
Mereka butuh kata-kata
kata yang menghidupkan
yang mempertahankan harkat
yang memakai cangkul, rumput laut, biji jagung
untuk menyatakan hidupnya
di depan dozer
setia pada biji jagung
tidak dengan biji nikel
yang bersahut-sahutan lewat kata-kata puitis
yang amat cemas dengan kota mungilnya
yang dicintainya, sepenuh jiwa
daku teringat kembali
akan sebuah penegasan: "Kata adalah senjata"
Kata memang bisa jadi awal perjuangan
dan sekaligus sebagai akhir pertumpahan.
Bukankah yang akan tersingkir itu
adalah mereka yang terbuai kata-kata?
Mereka akan terbunuh oleh kata
sebab kata bisa membunuh
Maka sobat-sobatku
terjunlah ke ranah mereka
ejakan huruf demi huruf
dalam bingkai kata
Mereka butuh kata-kata
kata yang menghidupkan
yang mempertahankan harkat
yang memakai cangkul, rumput laut, biji jagung
untuk menyatakan hidupnya
di depan dozer
setia pada biji jagung
tidak dengan biji nikel
KOPI
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
17.50
Sekali waktu daku berada di kebun kopi milik keluarga, tiba-tiba saja Sang Guru membisikku: " Han..., minumlah kopi yang disuguhkan untukmu. Kopi memang pahit selakon takdirnya. Usahlah minum kopi tapi berharap rasa manis, karena banyak yang minum kopi lalu menunggu rasa manis. Memperalat kopi untuk menggapai rasa manis."
Jumat, 12 Juli 2013
Kamis, 11 Juli 2013
CERMIN (3)
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
18.24
Bercermin di cermin buram
daku begitu gagah
Bercermin di cermin bening
daku begitu kusam
Cermin buram menerungku daku
begitu lama
setiap ada yang keliru di wajah daku
selalu saja cermin jadi biangnya
Beningnya cermin menawan sesaat
ibarat cahaya melesat
jejak tapaknya amat bertuah
telah menunjukkah wajah bopeng daku
daku begitu gagah
Bercermin di cermin bening
daku begitu kusam
Cermin buram menerungku daku
begitu lama
setiap ada yang keliru di wajah daku
selalu saja cermin jadi biangnya
Beningnya cermin menawan sesaat
ibarat cahaya melesat
jejak tapaknya amat bertuah
telah menunjukkah wajah bopeng daku
LACUR-LAYAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
17.37
Di hari yang suci, bulan suci ini, Sang Guru mendedahkan wejangannya: " Han..., buatlah kesepakatan-kesepakatan dengan siapa saja, namun janganlah menunggu rasa puasnya atas dirimu. Tapi bersedialah menanti ketidakpuasannya. Memenuhi rasa puasnya semata, itulah pekerjaan melacur. Memerhatikan ketidakpuasannya adalah melayani."
Rabu, 10 Juli 2013
HUJAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
20.04
Seperti biasanya, hujan jatuh dari langit, tapi Sang Guru memintaku: "
Han..., keluarlah dari rumah, agar nyanyian irama hujan yang jatuh ke
bumi, sebagai persembahan semesta dapat dikau resapi suaranya. Bukankah
atap rumah telah mengacau nyanyi-irama hujan?"
KEDAI (2)
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
19.28
Bermodalkan rasa mabuk akan pikiran-pikiran besar
Mengenakan baju berwarna-warni
Pengembaraan hidup di jalan musafir, daku mulai susuri
Berharap dapat singgah di kedai-kedai berikutnya. Agar mabuk lagi!
Daku singgah di kedai-kedai kehidupan
Cicipi semua menu sajiannya
Tidaklah terlena untuk mukim karena godaannya
Kedai kehidupan bisa menerungku daku
Perjalanan selanjutnya penuh pengharapan
Jikalaulah daku mampir di sebuah kedai
Nikmati semua tawarannya
Mampir menjadi penanda akan jejak tapak daku
Maka berpaling darinya sekalipun
Tidaklah mengapa
Sesungguhnya yang tersisa dari musafir daku
Jejak tapaknya saja
Mengenakan baju berwarna-warni
Pengembaraan hidup di jalan musafir, daku mulai susuri
Berharap dapat singgah di kedai-kedai berikutnya. Agar mabuk lagi!
Daku singgah di kedai-kedai kehidupan
Cicipi semua menu sajiannya
Tidaklah terlena untuk mukim karena godaannya
Kedai kehidupan bisa menerungku daku
Perjalanan selanjutnya penuh pengharapan
Jikalaulah daku mampir di sebuah kedai
Nikmati semua tawarannya
Mampir menjadi penanda akan jejak tapak daku
Maka berpaling darinya sekalipun
Tidaklah mengapa
Sesungguhnya yang tersisa dari musafir daku
Jejak tapaknya saja
KEDAI (1)
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
18.45
Kala kanak-kanak, daku hanya bisa memandang para insan bersenragurau di kedai kehidupan.
Ada yang makan, minum, buang air dan juga mabuk.
Sepertinya sebuah etape hidup yang menggoda hasrat ingin tahu.
Masa remaja pun tiba. Daku mulai sesekali menyambangi para insan di kedai. Makan, minum, buang air, bahkan mabuk pun sudah daku jamah.
Laiknya para penenggak tuak pemula, semua tuak kehidupan pun ingin daku cicipi. Hingga nyaris setiap saat daku mabuk. Mabuk dengan pikiran-pikiran besar tentang kehidupan di jagad dan kemelataan di persada.
Daku larut di pusaran kedai itu, memakan semua jenis santapan, menenggak berjenis-jenis tuak yang tersaji.
Dalam suasana mabuk, daku menemukan pikiran-pikiran besar menari, meliuk, mencumbu agar diperkenankan menjadi baju kehidupan.
Baju-baju kehidupan pun silih berganti daku kenakan, bergantung perhelatan apa yang akan kusambangi.
Tak terkecuali, ketika mau mabuk di kedai-kedai kehidupan.
DIAM (3)
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.18
Oh... Sang Guru, dikau sungguh menentramkan jiwaku dengan tuturmu: " Han..., biarkan saja orang mengambil kesimpulannya sendiri atas dirimu, sebab sesungguhnya itulah cermin diri buatmu. Dan tak usalah berambisi memberi penjelasan, sebab kalimat-kalimat penjelasmu tidak akan pernah benar-benar mewakili kedirianmu. Kesimpulannya dan penjelasanmu tidak lebih dari kalimat berbatas yang menerungku dirimu. Diamlah, perbantahan kalimat-kalimat itu akan mendudukkan soalnya tentang dirimu"
Senin, 08 Juli 2013
RAMADHAN (3)
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
16.30
Kali ini permintaan Sang Guru amat berat kutunaikan, ketika mendapukku dengan kalimat: " Han..., bertahun-tahun sudah lewat, dikau yang selalu memasuki bulan Ramadhan. Bisakah bulan ini, bulan Ramadhan yang memasukimu?"
DIAM (2)
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.24
Kala kegundahan akan banyaknya ketidakpastian warta, Sang Guru berbaik hati membisikkan anjurannya: " Han..., belajarlah pada air dalam menyelesaikan masalah. Saat keruh suasananya ia memilih mendiamkan diri, hingga jernihnya menampak. Demikian juga, ketika kekeruhan sekeliling menyelimutimu, pilihlah diam, biar kejernihan datang berbicara tentang apa adanya."
Rabu, 03 Juli 2013
WARTA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
14.53
Pada dini hari, kala jelang subuh, Sang Guru mengurapi lewat babaran sabdanya: " Han..., bila ada warta baik-buruk yang datang menyapamu, maka pasanglah kedua telingamu untuk mendengarnya. Sebab, memang demikianlah tugasnya. Lalu kedepankan akalmu untuk menimbangnya. Dan janganlah abai pada kekuatan hatimu, tempat bertenggernya nurani, karena ia adalah palang pintu terakhir kebenaran."
Rabu, 26 Juni 2013
PENYAIR
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
20.43
Menyantap kata demi kata dari para penyair
tunai sudah rasa ingin tahuku
di mimbarnya para penyair daku mabuk
menenggak minuman ruhani
Dari cawan kata yang mereka sodorkan
anggur kehidupan menari di atasnya
lalu daku termangu
di bawah langit malam butiran embun menggelinding
Daku ajak buah hatiku sebagai penyaksi
bagaimana para penyair bersaksi
tentang kehidupan yang nircinta
butiran air mata dan butiran embun lebur
Buah hatiku...
tataplah para penyair itu
dengar dan simak kata-kata mereka
kata yang menerangkan masa
Selasa, 25 Juni 2013
Minggu, 23 Juni 2013
PILIHAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.18
Makin banyaknya alternatif dalam kehidupan, mengundang Sang Guru bernasehat: " Han..., terkadang orang yang tak punya pilihan, jauh lebih beruntung tinimbang orang yang terlalu banyak pilihan. Sebab, memilih di antara banyak pilihan butuh ilmu-keahlian, sementara bila tak punya pilihan cukup berpasrah saja,"
Rabu, 19 Juni 2013
Jumat, 14 Juni 2013
SEMPURNA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
05.33
Selalu saja daku mengejar kelebihan, tetapi selalu saja ada kekurangan yang mengiringi, lalu Sang Guru membujuk: "Han..., ketika karyamu penuh dengan kekurangan, namun saat yang sama ada kelebihannya, maka sesungguhnya di situlah letak kesempurnaannya sebagai buatanmu."
Kamis, 13 Juni 2013
TANGAN II
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
02.40
Kala daku mengelus-elus tanganku yang sudah mulai membaik, Sang Guru hadir menggurui: "Han..., tanganmu yang sudah mulai pulih itu, berkat doa dan harap dari banyak orang, sebagai salah satu sebabnya. Maka selayaknyalah dikau menggunakannya untuk mereka. Itulah kesempatan kedua yang diberikan kepadamu, sebab kesempatan pertama lebih banyak dikau gunakan untuk melayani dirimu sendiri."
Minggu, 09 Juni 2013
CERMIN II
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
18.58
Lagi-lagi Sang
Guru menohokku kala berdepan dengan cermin, sabdanya: “Han..., jangan memilih
cermin buram hanya karena dikau takut pada bopengmu yang akan terkuak.
Bersihkan dulu cermin buram itu baru bercermin, moga beningnya menyapa
kebeninganmu di keheningan.”
Sabtu, 08 Juni 2013
Kamis, 06 Juni 2013
Makan-Makam
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
15.08
Di subuh jelang pagi, Sang Guru datang menghangatkan pikiranku: "Han..., makanmu boleh sama, tapi tidak dengan makammu."
Mi'raj
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
01.12
Di hari Isra’ Mi’raj
kali ini, Sang Guru menantangku dengan pilihan: “Han..., kala mi’raj, Nabi
Muhammad menemui Tuhan guna memenuhi undangan-Nya. Silahkan memilih, lakon
hidup yang dijalaninya sehingga Ia diundang, atau sekadar melakoni apa yang diperoleh
dari pertemuan itu. Yang pertama berbicara tentang bekal perjalanan, yang kedua
bertutur tentang cendramata kehidupan.”
Kamis, 09 Mei 2013
DOKTER-TUHAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
16.28
Pasca pembedahan tanganku yang bergeser dari sikunya, Sang Guru kembali bertutur lewat mulut seorang dokter: "Han..., tugas dokter dalam pembedahan hanyalah mengembalikan tulang yang bergeser ke tempatnya semula, selanjutnya Tuhanlah yang akan menyambungkan syaraf-syarafnya, menyembuhkannya."
TANGAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
16.22
Setelah daku terjatuh, dan tangan kananku bergeser dari sikunya, Sang Guru segera membisikku dengan lembut: "Han..., sudah amat lama tangan kananmu mendikte, mendominasi dan menghegemoni tangan kiri, saatnya ia istirahat. Diistirahatkan untuk masa tertentu, agar tangan kiri mengaktualkan jatidirinya. Meski awalnya gagap, percayalah padanya."
Rabu, 24 April 2013
TANGKAI-RANTING
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
18.04
Saat surya mulai nampak, hangat menyapa, Sang Guru pun membilang kepadaku: " Han..., bersikaplah laiknya tangkai yang masih hidup. Tangkai yang hidup masih lentur, agar kelenturan hidup menawanmu. Dan, janganlah menjadi ranting yang mati. Ranting yang mati, kering kerontang mudah patah. Supaya kepatahan hidup tak menerungkumu."
BULUH-SULUH
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
17.29
Lama nian Sang Guru tak membabarkan sabda, hingga masa itu datang jua, lalu berbisik lembut: " Han..., tak mengapa engkau memotong sebatang buluh, memisahkan dari rumpun mereka, agar menjadi suluh bagi mahluk lainnya."
Senin, 22 April 2013
BUMI
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.53
Daku, selayaknya sangat malu pada bumi.
Tinjaku pun ditelannya.
Air kencingku juga diminumnya.
Bahkan, ragaku ketika jadi bangkai, kelak akan dimakannya.
Lalu mengapa masih saja berpongah, tatkala melata di hamparannya?
Daku, seharusnya memohon maaf pada bumi.
Bukannya memperkosa dengan tiang pancang beton.
Menimbun rawa untuk real estate.
Menggunduli hutan, menyiangi puncak bukit guna bangun villa.
Lalu mengapa masih saja mendaku manusia, sebagai pewarisnya?
Rabu, 17 April 2013
SIA-SIA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
06.53
Aku amat miris telah menjadi penyaksi, akan orang-orang yang sibuk menggantang asap, mengkarungkan angin, untuk sebuah kepuasan hasrat berkuasa.
Orang banyak sudah tahu, bahwa tak ada guna asap digantang, sebab akan menguap, raib terbang tak bertujuan.
Apalagi mengkarungkan angin, sebuah kesia-siaan. Karung tidak akan pernah mampu menampung kehendak angin.
Lalu mengapa masih saja berpesta, merasa menang terpuaskan, padahal tidak lebih dari kehampaan dan ketakbermaknaan?
Haruskah kita mengundang makhluk suci, untuk mengajari kita yang masih kurang ajarnya? Memintari diri yang masih saja kurang pintar?
Manalah mungkin aku tega mengucapkan selamat atas hasil gantanganmu dan karunganmu, sebab sama saja kurestui sesuatu yang tak bermakna.
Asap yang telah terbang tak bertujuan itu, akan bersetubuh dengan angin yang tak terkarungkan itu, suatu waktu akan datang menyapa dalam wujud badai.
Bila badai mewujud, gantang dan karung takkan ada lagi gunanya, sebab memang sejak mula tak berguna, cuma jadi guna-guna.
Selasa, 02 April 2013
KESEWENANGAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
19.45
Hasrat untuk berkuasa yang ada pada diri, sesungguhnya amat purba keberadaannya dalam setiap jiwa. Kuasa berbiak, mengikuti jalan-jalan naluri yang tersaji.
Sedianya kuasa, ibarat air mensucikan daki pada tubuh, itu jika kuasa diberi jalan kelapangan dada di kedalaman ruhani.
Meraih hasrat berkuasa, memperolehnya banyak corak tempuhannya. Ada yang menggapainya lewat lambang-lambang pengetahuan, pun ada pula melalui kepimilikan harta, menumpuk kekayaan. Jalur lainnya, bisa dengan simbol-simbol keimanan, sikap religius. Dan, boleh pula dengan titian latar keturunan, trah kebangsawanan.
Lambang-lambang pengetahuan, kebertumpukan harta, simbol-simbol religiositas, dan trah kebangsawanan, kesemuanya merupakan jalan-jalan menuju pada kuasa, kekuasaan dalam genggaman.
Dari genggaman kekuasaanlah lahir kewenangan. Setiap diri berlomba untuk berkuasa, sebab padanya ada kewenangan. Dengan memiliki kewenangan maka menjadilah diri berwenang. Berwenang berarti jari telunjuk amat sangat menentukan nasib yang ditunjuk.
Saat lewenangan yang ada pada diri tak terbatas, wujud kehidupan hanya dinasibkan oleh liukan telunjuk, dan disahkan oleh goyangan lidah, lewat mantra-mantra kedigdayaan. Maka keberadaan berikutnya hanyalah kesewenangan.
Ketika kesewenangan ada pada diri, berarti hasrat kuasa dan kekuasaan tak lagi berbatas. Maka keinginanpun melampaui kebutuhan. Lalu kesewenangan merajalela; membakar, membunuh, menelan, melumat, membasmi dan membongkar, merampok, merompak, mengkorup apa saja yang tampak, bila tak sejurus dengan selera.
Rumitlah tata kehidupan di jagat, jikalau mengolahnya berdasar keinginan yang tak terbatas. Selayaknya, bertumpulah pada kebutuhan, sebab ia akan membatasi yang tak terbatas.
Kewenangan laiknya berbatas, dan memang harus terbatas serta dibatasi, agar tidak mewujud menjadi kesewenangan. Kewenangan lebih dekat pada pemenuhan kebutuhan, sedangkan keinginan bila ambisius, akan menyaru pada kesewenangan.
Sedianya kuasa, ibarat air mensucikan daki pada tubuh, itu jika kuasa diberi jalan kelapangan dada di kedalaman ruhani.
Meraih hasrat berkuasa, memperolehnya banyak corak tempuhannya. Ada yang menggapainya lewat lambang-lambang pengetahuan, pun ada pula melalui kepimilikan harta, menumpuk kekayaan. Jalur lainnya, bisa dengan simbol-simbol keimanan, sikap religius. Dan, boleh pula dengan titian latar keturunan, trah kebangsawanan.
Lambang-lambang pengetahuan, kebertumpukan harta, simbol-simbol religiositas, dan trah kebangsawanan, kesemuanya merupakan jalan-jalan menuju pada kuasa, kekuasaan dalam genggaman.
Dari genggaman kekuasaanlah lahir kewenangan. Setiap diri berlomba untuk berkuasa, sebab padanya ada kewenangan. Dengan memiliki kewenangan maka menjadilah diri berwenang. Berwenang berarti jari telunjuk amat sangat menentukan nasib yang ditunjuk.
Saat lewenangan yang ada pada diri tak terbatas, wujud kehidupan hanya dinasibkan oleh liukan telunjuk, dan disahkan oleh goyangan lidah, lewat mantra-mantra kedigdayaan. Maka keberadaan berikutnya hanyalah kesewenangan.
Ketika kesewenangan ada pada diri, berarti hasrat kuasa dan kekuasaan tak lagi berbatas. Maka keinginanpun melampaui kebutuhan. Lalu kesewenangan merajalela; membakar, membunuh, menelan, melumat, membasmi dan membongkar, merampok, merompak, mengkorup apa saja yang tampak, bila tak sejurus dengan selera.
Rumitlah tata kehidupan di jagat, jikalau mengolahnya berdasar keinginan yang tak terbatas. Selayaknya, bertumpulah pada kebutuhan, sebab ia akan membatasi yang tak terbatas.
Kewenangan laiknya berbatas, dan memang harus terbatas serta dibatasi, agar tidak mewujud menjadi kesewenangan. Kewenangan lebih dekat pada pemenuhan kebutuhan, sedangkan keinginan bila ambisius, akan menyaru pada kesewenangan.
BUNGLON
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
19.43
Sekali waktu dikau menjadi benalu, mematikan dahan yang dililit, ranting pun mengering, kerontang rapuh, patah.
Kali lain dikau mewujud serupa burung. Bersiul dengan kicau yang memukau, melenakan penghuni semesta.
Terbangmu mengangkasa di langitbiru, dikau lupa pada benalumu itu. Dan, dikaupun bertengger pada dahan yang kering kerontang, patah pun ranting.
Sayap yang dikau pakai buat terbang melangit, terlanjur dikau buang, sebab rasa butuh akannya tak perlu lagi. Habislah manis, sepah pun dibuang.
Nasib apa yang bakal dikau jumpai, saat tak punya sayap tapi terlanjur bertengger di ranting yang rapuh, dan dalam sekejap akan patah?.
Kalut pikiran membacamu, risau hati menyukmamu, tapi apa daya, dikau menjadi benalu, meski saat lain mewujud burung, tidaklah memengaruhi lagi. Sebab benalu dan burung sama saja pada dikaumu.
Kali lain dikau mewujud serupa burung. Bersiul dengan kicau yang memukau, melenakan penghuni semesta.
Terbangmu mengangkasa di langitbiru, dikau lupa pada benalumu itu. Dan, dikaupun bertengger pada dahan yang kering kerontang, patah pun ranting.
Sayap yang dikau pakai buat terbang melangit, terlanjur dikau buang, sebab rasa butuh akannya tak perlu lagi. Habislah manis, sepah pun dibuang.
Nasib apa yang bakal dikau jumpai, saat tak punya sayap tapi terlanjur bertengger di ranting yang rapuh, dan dalam sekejap akan patah?.
Kalut pikiran membacamu, risau hati menyukmamu, tapi apa daya, dikau menjadi benalu, meski saat lain mewujud burung, tidaklah memengaruhi lagi. Sebab benalu dan burung sama saja pada dikaumu.
Senin, 11 Maret 2013
HENING
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
19.18
Bolamataku makin menua, hingga mudahnya mengenali perbedaan padimuda dan rumputhijau, menjadi samar. Bahkan, bijimataku sendiri makin sulit kuraba, sisa liukan tariannya yang liar.
Diri bersyukur, sebab padimuda melambaikan anggukannya pada hatiku. Rumputhijau menggelengkan pucuknya pada batinku. Dan, bijimataku masih memeluk kelopaknya.
Diri hanya perlu bersaat dalam diam, biarkan alam sekitar yang menunjukkan jatidirinya. Itu akan lebih selaras dengan kehendak semesta.
Jangan paksakan diri agar diterima alam sekitar, sebab akan mengusik harmoni buana. Semesta akan geger, menghamburkan puing-puing kekacauan hidup.
Keelokan hidup akan datang menyapa, jika berpasrah menjadi alas berjalan, kalau berikhlas mendiami asas bertindak.
Di dalam kediaman berpasrah dan berikhlas, akan berlaku alas dan asas tingkahlaku akhlaki, sebagai keutamaan hidup.
Diri bersyukur, sebab padimuda melambaikan anggukannya pada hatiku. Rumputhijau menggelengkan pucuknya pada batinku. Dan, bijimataku masih memeluk kelopaknya.
Diri hanya perlu bersaat dalam diam, biarkan alam sekitar yang menunjukkan jatidirinya. Itu akan lebih selaras dengan kehendak semesta.
Jangan paksakan diri agar diterima alam sekitar, sebab akan mengusik harmoni buana. Semesta akan geger, menghamburkan puing-puing kekacauan hidup.
Keelokan hidup akan datang menyapa, jika berpasrah menjadi alas berjalan, kalau berikhlas mendiami asas bertindak.
Di dalam kediaman berpasrah dan berikhlas, akan berlaku alas dan asas tingkahlaku akhlaki, sebagai keutamaan hidup.
Minggu, 10 Maret 2013
BUKU
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
20.54
Daku menemukanmu lewat kalimat-kalimat di lembaran buku
Mengenalimu, lalu mencintaimu karena buku
Maka kunyatakan rasa cinta ini dengan buku
Saat engkau berani hadir di atas bumi juga disertai buku
Waktu kelahiranmu, namamu kunamai dari sederet buku
Ketika rambutmu digunting, dirimu disangga buku
Sebagai penanda keabsahan namamu, pun tak lupa kudupai dengan buku
Siang malam tidurmu, kuletakkan kepalamu di bantal buku
Menjelang lelapmu, kudongengkan berwarna cerita bijak dari berbagai buku
Pada setiap hari jadimu diperingati, selalu kubuatkan buku
Pesta pernikahanmu, kuhadir bersama buku
Putra-putrimu lahir, tak lupa kuingatkan padamu akan pentingnya buku
Perjalanan hidupmu, selalu kuharap engkau mencatatnya dalam buku
Dan, ketika keabadianmu tiba, aku menuliskanmu pada sebuah buku.
Sabtu, 09 Maret 2013
HARAPAN
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
17.30
Angin meminta awan untuk menggeser duduknya, biar sang surya tetap menghangatkan persada. Namun awan lebih memilih menurunkan titik airnya, hingga hujan pun merintik. Awan menangis.
Angin mendesak awan agar meraib dari cakrawala, biar langit biru melapang. Namun awan menunjukkan gesekan percik apinya, maka kilat pun menyambar. Awan membakar.
Angin memohon pada awan, kalaulah bisa mengatur bongkahan dirinya. Hingga lebih nampak seperti barisan sisik ikan di batas pandang kaki langit. Tapi awan justeru berteriak, mengeluarkan gelegar aumannya, guntur pun bertalu-talu. Awan menggertak.
Sesungguhnya awan hanya berharap pada angin, agar diberi waktu sejenak untuk bertengger di cakrawala, guna menghias langit biru. Agar para penyair bergegas menulis bait, para penembang menoreh lirik, tentang harmoni kehidupan.
Rabu, 27 Februari 2013
THE LAST KHONGHUCU IN BUTTA TOA-BANTAENG
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
16.46
THE LAST KHONGHUCU IN BUTTA TOA-BANTAENG
Oleh Sulhan Yusuf
Gong Xi Fa Chae, selamat tahun baru Imlek, buat
saudara-saudaraku etnik Tionghoa, khususnya yang berdomisili di Butta Toa-
Bantaeng, sebuah daerah yang hingga kini dapat dikatakan sebagai daerah yang amat
toleran dan pluralistik. Saya amat tertarik untuk menulis catatan di hari Imlek
ini, karena bagi saya, pertama etnik Tionghoa yang ada di Butta toa-Bantaeng,
adalah sekelompok etnik yang cukup eksis secara sosial, budaya, agama dan
ekonomi dalam kehidupan bermasyarakat.
Kedua, di lingkungan keluarga saya, ada kakak yang
beristerikan etnik Tionghoa kelahiran Surabaya, dan ponakanku sudah dua orang,
dan mereka sudah menjadi muslim semua, yang sekarang lagi domisili di
Banjarmasin karena tuntutan pekerjaan, dan suatu waktu akan balik ke Bantaeng.
Dengan begitu, tulisan ini saya dedikasikan buat mereka, kakak ipar dan
ponakanku.
Sejak kecil, saya sudah
merasakan hubungan yang harmonis dengan kawan-kawan etnik Tionghoa – teringat
akan teman-teman sekolah di SMP Neg. 1 Bantaeng dan waktu di SMA Neg. 1
Bantaeng-- , meski terkadang juga ada stigma-stigma dalam ungkapan peyoratif,
meski hal tersebut tidaklah menyebabkan hubungan itu menjadi retak, mungkin
sudah demikianlah dinamika kemasyarakatannya.
Lalu kemudian, saya teringat dengan beberapa bulan
yang lalu, ketika menemani seorang kawan, Sabbara Nuruddin seorang peneliti
dari Litbang Depag Makassar, yang meneliti tentang keberadaan penganut agama
Khonghucu di Bantaeng. Maka menjadi penting bagi saya untuk berbagi hasil
penelitian, yang hasil penelitian tersebut di beri judul : KHONGHUCU DI BUTTA
TOWA (Pandar Lampion Yang tinggal Setitik), sudah dibukukan dalam buku Spirit
Khonghucu Modal Sosial Dalam Merenda Kebangsaan, Jakarta 2011, Orbit, hal.
183-203, yang berikut ini saya coba ringkaskan.
Sekilas Cerita tentang Etnis Tionghoa di Bantaeng
Bantaeng, dapat dikatakan sebagai satu-satunya
kabupaten yang memiliki kawasan Pecinaan di Sulsel. Populasi etnik Tionghoa di
kabupaten ini pun cukup signifikan jika dibandingkan dengan populasi etnik
Tionghoa di kabupaten lain yang ada di Sulsel. Terkhusus untuk etnik Tionghoa,
hampir semuanya bermukim di kecamatan Bantaeng, khususnya di sekitar jalan
Mangga, jalan Manggis, dan jalan Nenas yang merupakan kawasan perdagangan
sekaligus daerah pecinaan (China town) yang dimiliki oleh kabupaten
Bantaeng. Menurut Bapak Effendi Sinyo (Baba’ Cangkeng, pemilik Rumah Makan
Sederhana-pen), seorang sesepuh masyarakat Tionghoa yang ada di
Bantaeng, bahwa kedatangan warga etnik Tionghoa di Banteng sudah sejak lima
sampai enam generasi yang lalu atau sekitar akhir abad 18 dan awal abad 17.
bahkan menurut berbagai sumber, Bantaeng yang kerap disebut sebagai Butta
Toa ini telah menjalin hubungan dengan orang-orang China sejak abad 12 atau
sejak zaman dinasti Sung, bahkan ada suatu daerah yang terletak di pegunungan
Bantaeng yang disebut “Cinayya”, diyakini memiliki kaitan dengan hubungan
antara kerajaan Bantaeng waktu itu dan para pendatang atau pelancong dari
negeri China.
Berdasarkan penelusuran peneliti pada beberapa
informan, peneliti mengkategorisasi kedatangan etnik Tionghoa di Bantaeng
terdiri atas tiga tahapan. Tahap pertama, diidentifikasi sekitar abad 12
masehi, yaitu terjalinnya kerjssama perdagangan antara kerajaan Bantaeng pada
waktu itu dengan dinasti Ming yang saat itu berkuasa di Tiongkok. Asumsi ini
dibuktikan pada sekitar tahun 1967 dilakukan penggalian dan ditemukan banyak
sekali guci dan barang keramik Tiongkok masa dinasti Ming di Bantaeng. Tahap
kedua adalah masa penjajahan Belanda sekitar abad 18 dan 19 hingga awal abad ke
20, terlebih lagi ketika Bantaeng menjadi ibukota afdeling Bonthain yang
meliputi beberapa kabupaten di wilayah selatan Sulawesi Selatan kala itu. Bukti
bahwa migrasi etnik Tionghoa di daerah ini pada masa itu adalah keberadaan
kuburan China yang telah ada semenjak abad 18. Tahap ketiga adalah pasca
kemerdekaan, banyak orang-orang dari tanah Tiongkok datang ke Bantaeng dengan
tujuan membuka usaha.
Awalnya pemukiman kaum Tionghoa terletak di
sekitar pesisir pantai, namun sejak dekade 1950-an berangsur-angsur mereka
pindah dan membentuk pemukiman di sekitar kawasan 3 jalan yang telah
disebutkan, yaitu jalan Mangga, jalan Manggis, dan jalan Nenas, dan membangun
tempat tersebut sebagai daerah perdagangan. Tidak ada data yang pasti mengenai
jumlah populasi etnik Tionghoa yanga ada di Bantaeng, namun menurut Notaris
Eddy Tunggeleng, SH yang merupakan ketua Bakom PKB –sebuah organisasi yang
berorientasi pada pembauran etnik Tionghoa, populasi etnik Tionghoa di Bantaeng
berjumlah lebih dari 100 KK. Umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang, dan
sebagian diantaranya berprofesi sebagai tenaga profesional seperti dokter,
dokter gigi, notaris, dan lainnya. Warga etnik Tionghoa di Bantaeng umumnya
telah berbaur dengan warga setempat bahkan tak jarang yang melakukan
kawin-mawin dengan penduduk asli. Dalam rangka pembauran tersebut, maka
komunitas Tionghoa di Bantaeng mengrganisasikan diri dalam sebuah wadah yang
bernama Bakom PKB (Badan Komunikasi Persatuan dan Kesatuan Bangsa) yang
diketuai oleh notaris Edy Tunggeleng, SH.
Sepanjang sejarah sosial di Bantaeng Hanya satu
kali terjadi ketegangan dalam interaksi antara penduduk etnik Tionghoa dengan
warga pribumi Bantaeng, itu pun karena bias perpolitikan nasional. Yaitu, pasca
peristiwa G-30 S/PKI, di mana sentimen anti China cukup menguat. Namun, setelah
itu interaksi antara etnik Tionghoa dengan penduduk setempat pun berlangsung
kembali harmonis. Bahkan pemerintah Kabupaten Bantaeng pun memberikan perhatian
dan apresiasi yang baik kepada warga etnik Tionghoa, yaitu dengan mengadakan
peringatan Imlek dan acara kesenian Barongsai yang telah dilakukan dua tahun
berturut-turut. Bahkan bupati Prof. Dr. Nurdin Abdullah, M. Agr, hendak
menjadikan kawasan jalan Mangga, Jalan, Nenas, dan Jalan Manggis sebagai
kawasan pecinaan dan menjadi program pemerintah kabupaten Bantaeng, namun hal
ini ditolak oleh mereka dengan alasan jangan sampai timbul kesenjangan dan
kecemburuan sosial warga pribumi.
Umat Khonghuchu di Bantaeng:
Jejak yang Nyaris Hilang
Secara statistik, peneliti tidak menemukan
penganut agama Khonghucu baik yang tercatat di BPS Kabupaten Bantaeng maupun di
data yang terdapat pada Kantor Kementerian Agama Kabuoaten Bantaeng. Warga
etnik Tionghoa yang selama ini dikenal sebagai penganut agama Khonghuchu
ternyata umumnya beragama Kristen, Katolik, Buddha, dan ada sebagian yang telah
menganut Islam. Namun berdasarkan penelusuran peneliti menemui beberapa warga
etnik Tionghoa serta melakukan wawancara mendalam dengan mereka terkuak
informasi bahwa banyak warga etnik Tionghoa yang ada di Bantaeng, meskipun
secara formal menganut agama Kristen, Katolik, atau Buddha, pada praktek
keseharian masih sering melaksanakan ritus sembahyang ala agama Khonghuchu
meskipun menurut umunya mereka hal tersebut adalah tradisi leluhur mereka dan
tidak ada sangkut pautnya dengan agama.
Dari beberapa orang yang peneliti temui tidak
menampik jika mereka dikatakan sebagai penganut Khonghuchu, meskipun secara
formal mereka mencatumkan Buddha atau Kristen dan Katolik sebagai agama resmi
mereka. Bapak Effendi Sinyo, pemilik warung makan Sederhana di Jalan Manggis
mengatakan bahwa secara pribadi dia dan keluarganya adalah penganut agama
Khonghuchu sejak nenek moyang mereka, namun di KTP dan kartu identitas mereka
mencantumkan Buddha, Kristen, dan katolik di kolom agama lebih didasarkan pada
peraturan yang mereka ketahui bahwa tidak boleh mencantumkan Khonghuchu sebagai
agama di kartu identitas. Setelah peneliti tanya, “apakah akan mengganti agama
mereka di kartu identitas (KTP) karena mencantumkan Khonghuchu di kartu
identiats sebagai agama telah diperbolehkan?”. Pak Effendi hanya menjawab;
“boleh, jika memang itu diizinkan.”. Hal senada juga diungkapkan oleh Ci Heng
(pemilik toko 33 di kawasan Pasar Baru Bantaeng), yang sekeluarga merupakan
penganut Khonghuchu namun mencantumkan Buddha sebagai agama resminya di kartu
identitas.
Jumlah pasti populasi penganut Khonghuchu di
Bantaeng tidak diketahui secara pasti dikarenakan tidak adanya organisasi yang
mengorganisir penganut Khonghuchu di Bantaeng serta mereka secara formal tidak
mengaku sebagai Khonghuchu melainkan mengaku sebagai Buddha atau Kristen dan
Katolik. Selain itu, mereka kebanyakan cenderung tertutup jika ditanya
persoalan agama, sehingga banyak penduduk etnik Tionghoa yang peneliti datangi
lebih memilih bungkam dan menyatakan tidak tahu-menahu soal Khonghuchu,
meskipun dari rekomendasi informan yang lain menyatakan bahwa mereka secara
praktek keseharian masih melaksanakan ritus-ritus Khonghuchu, namun, apakah
sebagai tradisi atau memang dijalankan sebagai agama ini yang tidak diketahui
dan mereka juga tertutup untuk mengutarakannya.
Berdasarkan penelusuran peneliti, setidaknya
penganut Khonghuchu di Bantaeng, terkategori atas 2 kelompok. Yang pertama,
adalah mereka yang secara total menjadikan Khonghuchu sebagai agama dan anutan
hidup dalam pemahaman maupun praktek ritual keagamaan, meskipun secara formal
mereka mencantumkan buddha sebagai agama resmi mereka di kartu identitas. Dan
ketika mereka ditanya; “apakah menurut anda, Khonghuchu adalah agama?”, mereka
menjawab; “ya, menurut saya Khonghuchu adalah agama”. Yang kedua, adalah mereka
yang tetap menjalankan ritus Khonghuchu dan menerima ajaran Khonghuchu sebagai
filosofi hidup, namun secara praksis mereka juga menganut dan menjalankan agama
resmi yang lain, seperti buddha, Kristen, atau Katolik. Menurut mereka
Khonghuchu adalah tradisi nenek moyang mereka dari Tiongkok yang tidak bisa
ditinggalkan begitu saja, bahkan menurut mereka harus dilestarikan dan mereka
mempercayainya, dan meyakini bahwa mereka akan mendapatkan reward jika
melaksanakan dan akan mendapatkan punishment (bala) jika mereka
meninggalkan.
Untuk kategori pertama, yakni yang menjadikan
Khonghuchu sebagai agama dan anutan hidup, dalam pengamatan peneliti secara
populasi sangatlah kecil, meskipun tidak diketahui secara pasti jumlahnya.
Karena Bapak Effendi Sinyo dan Ci Heng selaku sesepuh masyarakat Tionghoa yang
mengaku amsih beragama Khonghuchu tidak bisa menjelaskan secara pasti,
siapa-siapa saja diantara komunitas Tionghoa di Bantaeng yang masuk kategori
ini. Namun, menurut Effendi Sinyo, hal ini hanya ditemui di kalangan
orang-orang tua atau sesepuh saja, dan biasanya di kalangan generasi di bawah
mereka sudah tidak terlalu ketat lagi menjalankan khonghuchu sebagai agama, dan
umumnya sudah memeluk agama lain, yakni Buddha, Kristen, dan Katolik, bahkan
Islam, meski secara praktek keseharian, mereka masih menjalankan ritus Khonghuchu
sebagai tradisi saja.
Untuk kategori yang kedua, dalam pemahaman mereka,
Khonghuchu adalah tradisi nenek moyang dari Tiongkok dan bukan agama. Secara
praksis, mereka mensinkretikkan pelaksanaan agama formal yang mereka anut,
apakah Buddha, Kristen, atau Katolik dan ajaran serta ritual Khonghuchu yang
mereka jalankan sebagai tradisi. Untuk kategori ini, menurut notaris Eddy
Tunggeleng, SH bahwa hampir semua warga etnik Tionghoa, terlebih yang
mencantumkan Buddha sebagai agama resmi mereka dalam praktek keseharian masih
sering melaksanakan ritus sembahyang ala Khonghuchu. Bahkan beberapa orang yang
peneliti temui dan secara formal menganut agama Buddha, bagi mereka Buddha dan
khonghuchu tidak ada bedanya, sehingga mereka menjalankan keduanya, meskipun ketika
ditanya sebenarnya agama apa mereka, mereka menjawab bahwa mereka beragama
Buddha. Menurut Effendi Sinyo, anak-anak dan keponakan beliau yang telah
menganut agama Kristen, dan Katolik, bahkan ada diantara keponakannya yang
menganut Islam, kerap ikut di belakang dia ketika melaksanakan sembahyang ala
Khonghuchu.
Dengan demikian, berdasarkan penelusuran peneliti,
eksistensi Khonghuchu di Bantaeng menuai enam problem besar, yaitu lost
generation, liminal identity, problema traumatik, apatisme, dan
ketiadaan rohaniawan Khonghuchu. Serta ketiadaan komunikasi intensif antar
sesama penganut Khonghuchu. Eksistensi umat Khonghuchu di Bantaeng mengalami lost
generation dikarenakan yang masih menganut Khonghuchu sebagai agama dan
anutan hidup secara ketat adalah kalangan orang tua yang sudah sepuh. Hal ini
merupakan sebuah ancaman bagi eksistensi penganut Khonghuchu ke depannya,
karena selang satu generasi lagi, penganut Khonghuchu di Bantaeng tak akan ada
lagi.
Problem kedua adalah liminal identity,
yaitu kekaburan atau “keremangan” identitas sebagai Khonghuchu, karena secara
prasis identitas sebagai Khonghuchu sudah kabur disebabkan pencantuman agama
formal yang berbeda dan sinkretisme pelaksanaan ritus antara Khonghuchu dan
agama formal yang lain, terlebih sebagian besar hanya menganggap bahwa
Khonghuchu tak lebih dari sekedar tradisi saja. Problem ketiga adalah masih
tersisa trauma sejarah pelarangan Khonghuchu sebagai agama yang secara
konstitusional di tetapkan lewat Inpres yang terkait UU No 14 tahun 1967 dan SE
Mendagri No 477/74054 tahun 1978 yang poin pokoknya tidak mencantumkan
Khonghuchu sebagai agama resmi. Ditambah lagi pasca peristiwa G-30S/PKI yang
berefek pada timbulnya sikap antipati dan kecurigaan terhadap segala hal yang
berbau Tionghoa dan hal ini pun pernah memicu gejolak sosial yang luar biasa di
Bantaeng pada kisaran tahun 1966-1967 membuat masyarakat Tionghoa di Bantaeng
yang nota bene adalah keturunan Khonghuchu menjadi trauma untuk
memunculkan kembali Khonghuchu sebagai identiats keagamaannya. Meskipun telah
ada Kepres No 6 tahun 2000 tentang pengakuan Khonghuchu sebagai agama resmi,
hal itu belum menghapus trauma mereka, karena jangan sampai ke depannya muncul
masalah yang sama lagi. Trauma sejarah ini masih berbias pada ketakutan mereka
jika ditanya persoalan agama, dan hal ini yang peneliti temui di lapangan.
Menurut Effendi Sinyo, sebenarnya ada beberapa orang yang menurutnya adalah
penganut Khonghuchu, namun, beliau sendiri tak berani memastikan apakah yang
bersangkutan adalah Khonghuchu atau bukan, karena yang bersangkutan lebih
cenderung tertutup pada persoalan agama.
Problem berikutnya adalah sikap apatisme yang
banyak menjangkiti masyarakat Tionghoa dikarenakan kesibukan pada aktivitas
bisnis sehingga persoalan identitas keagamaan cenderung kurang diperhatikan,
“mau beragama apa, atau mengaku agama apa, itu tidak penting, karena yang
terpenting bagi kami adalah mengurus usaha”, demikian papar seorang informan
kami. Yang kelima adalah ketiadaan rohaniawan Khonghuchu, atau setidaknya orang
yang cukup memahami tentang ajaran dan praktek agama Khonghuchu secara mendalam
yang dapat menjelaskan tentang Khonghuchu atau menjadi pendakwah agama
Khonghuchu. Akibatnya, informasi tentang Khonghuchu tak dapat diakses oleh
mereka secara langsung di Bantaeng dan penganut Khonghuchu yang meskipun
menganut dan melaksanakan ajaran agama Khonghuchu tapi secara pemahaman mereka
adalah awam dan tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan mendakwahkan
agama Khonghuchu kepada komunitas Tionghoa yang ada di Bantaeng. Dan yang
terakhir adalah ketiadaan komunikasi antar sesama penganut Khonghuchu di
Bantaeng. Ketiadaan komunikasi ini membuat Khonghuchu sebagai anutan hidup
lebih menjadi keyakinan personal dan tidak terorganisir secara komunal.
Meskipun keberadaan
komunitas Tionghoa di Bantaeng telah berlangsung lama, sejak ratusan tahun yang
lalu mereka menetap dan berinteraksi dengan penduduk pribumi Bantaeng, namun
eksistensi keyakinan Khonghuchu sebagai anutan agama masyarakat Tionghoa kurang
dikenal oleh masyarakat Bantaeng. Umumnya, mereka hanya mengenal bahwa
komunitas Tionghoa yang ada di bantaeng umumnya masih melaksanakan tradisi
mereka meski secara personal, mengenai apakah tradisi tersebut terkait dengan
ajaran agama Khonghuchu, masyarakat Bantaeng yang peneliti temui umumnya
menjawab tidak tahu. Bahkan sebagian masyarakat Bantaeng yang peneliti temui,
dan mereka adalah tokoh-tokoh masyarakat mengatakan bahwa Khonghuchu di
Bantaeng dapat dikatakan sudah tidak ada lagi. Hal yang senada juga diungkapkan
oleh beberapa warga etnik Tionghoa yang peneliti temui dan telah menganut agama
Kristen dan Katolik menyatakan bahwa di Bantaeng sudah tidak ada lagi penganut
agama Khonghuchu.
Posisi agama Khonghuchu
sebagai minoritas di Bantaeng benar-benar tak dikenal sebagai agama yang masih
punya pengikut. Bahkan pihak pemerintah termasuk pihak Kementerian Agama
Kabupaten Bantaeng pun berpandangan bahwa untuk komunitas Tionghoa yang
ada di Bantaeng sudah tidak ada lagi yang menganut Khonghuchu meskipun sebagian
besar dari mereka masih melaksanakan tradisi Tionghoa yang identik dengan
ajaran khonghuchu, namun sebagai agama mereka tidak lagi menganut Khonghuchu,
karena mereka telah menganut Kristen, Katolik, Buddha, bahkan Islam.
Tidak dikenalnya
Khonghuchu sebagai sebuah agama yang masih memiliki pengikut di Bantaeng
menurut pengamatan peneliti disebabkan, komunitas Tionghoa yang ada di Bantaeng
telah melakukan konversi agama, setidaknya secara formal mereka tidak ada yang
mencantumkan Khonghuchu sebagai agama mereka. Sehingga dalam pendekatan
struktural atau statistik, Khonghuchu di Bantaeng dianggap tidak ada. Tidak
adanya jumlah penganut Khonghuchu di Bantaeng secara statistik, sebenarnya
tidak bisa dijadikan acuan untuk menyatakan bahwa di kabupaten Khonghuchu sudah
tidak ada lagi. Karena hal tersebut lebih dikarenakan pelarangan Khonghuchu
sebagai agama resmi, sehingga tidak bisa dicantumkan di kartu dientitas serta
ketidaktahuan mereka akan pencabutan larangan tersebut. Di samping itu
ketakutan yang tersisa akibat bias trauma sejarah pelarangan Khonghuchu membuat
persoalan agama menjadi hal yang sensitif bagi mereka, sehingga mereka tidak
menyatakan secara jelas bahwa mereka adalah penganut Khonghuchu dan akhirnya
mereka tidak dikenal dan tidak teridentifikasi sebagai penganut Khonghuchu.
Semisal bapak Effendi Sinyo pemilik rumah Makan Sederhana di Jalan Manggis
Bantaeng, kebanyakan orang yang mengenal beliau adalah sebagai penganut Buddha,
sangat jarang yang mengetahui beliau sebagai penganut Khonghuchu taat, hal ini
disebabkan yang bersangkutan tidak mempublikasikan dirinya sebagai penganut
Khonghuchu ditambah secara formal beliau ber KTP kan Buddha.
Selain tidak adanya
angka statistik mengenai penganut Khonghuchu, keberadaan Khonghuchu di Bantaeng
yang dianggap tidak ada di Bantaeng baik oleh masyarakat maupun pemerintah juga
disebabkan persepsi mereka umumnya tentang Khonghuchu bukan sebagai agama
formal lainnya seperti Islam, Kristen, maupun Buddha. Umumnya mereka
berpandangan bahwa Khonghuchu tak lebih dari tradisi China dan bukan agama.
Selain itu, tidak adanya aktiviats kegiatan keagamaan penganut Khonghuchu di
Bantaeng juga semakin memperkuat anggapan bahwa di Bantaeng tidak ada penganut
agama Khonghuchu.
Meskipun dari nenek moyang mereka yang datang adalah umumnya penganut
Khonghuchu, namun pada perkembangannya, perkembangan penganut Khonghuchu di
Bantaeng, baik secara kuantitas dan kualitas mengalami gerak regresif yang
cukup tajam, khususnya pasca pelarangan Khonghuchu sebagai agama resmi dan
sentimen anti China yang cukup menguat semenjak paruh kedua dekade 1960-an.
Secara kuantitas, eksistensi umat Khonghuchu mengalami penurunan secara
drastis, bahkan dalam angka statistik berada pada angka nol. Yang tersisa dari
penganut Khonghuchu adalah beberapa orang tua atau sesepuh masyarakat Tionghoa
yang telah berusia lanjut dan tidak mengalami regenerasi di kalangan generasi
di bawahnya.
Secara pemahaman mengenai agama Khonghuchu pun
mereka masih sangat awam, hal ini dikarenakan tidak adanya lagi aktivitas
dakwah dan pelaksanaan ritual kolektif yang dilakukan. Praktis, aktivitas
keagamaan Khonghuchu dapat dikatakan tidak ada, setidaknya secara kolektif,
kalau pun masih ada yang melaksanakan aktivitas keagamaan Khonghuchu, hal
tersebut tak lebih sekedar aktivitas yang dilaksanakan secara personal.
Sebelumnya, menurut penuturan bapak Effendi Sinyo yang merupakan informan kunci
kami, bahwa dulu di era sebelum tahun 1960-an pertemuan rutin mereka kerap
dilakukan, khususnya untuk melaksanakan ibadah bersama atau peringatan keagamaan
yang dilaksanakan secara kolektif. Namun, hal ini mengalami penurunan hingga
tidak ada sama sekali semenjak pelarangan khonghuchu sebagai agama resmi dan
banyak diantara mereka yang menganut Khonghuchu telah meninggal dunia dan
pindah ke daerah lain. Dengan demikian, praktis dapat dikatakan, kegiatan
keagamaan Khonghuchu berupa dakwah, pertemuan, maupun ibadah bersama tak pernah
dilaksanakan lagi di Bantaeng.
Pengorganisasian umat Khonghuchu di Bantaeng,
meskipun secara nasional telah ada Majelis Tinggi Agama Khonghuchu Indonesia
(MATAKIN) yang berdiri secara resmi pada tahun 1955 di Solo, belum pernah
terbentuk. Upaya pengorganisasian ini pernah hampir dilakukan, menurut Eddy
Tunggeleng, bahwa dr. Ferdy Sutono (yang kini ketua Majelis Khonghuchu [MAKIN]
Kota Makasssar) pernah meminta beliau untuk mendirikan organisasi MAKIN di
Bantaeng, namun hingga hari ini belum mendapatkan orang yang bisa ditunjuk
untuk mengurus MAKIN di Bantaeng dan hingga hari ini organisasi MAKIN belum
terbentuk di Bantaeng, dan menurut Eddy Tunggeleng dia akan siap membantu
terbentuknya MAKIN di Bantaeng meskipun dia secara formal akan tetap menganut
Buddha sebagai agamanya walau dia juga tidak menampik jika dia juga disebut
sebagai penganut Khonghuchu, meski tidak secara formal. Ketiadaan organisasi
Khonghuchu ini menjadi problem bagi perkembangan agama Khonghuchu di Bantaeng.
Agama Khonghuchu di Bantaeng kalaupun memiliki pengikut, akhirnya hanya
bersifat keyakinan personal yang tak memiliki perwujudan sosial dan sangat
sulit diharapkan untuk dapat memberikan kontribusi sosial bagi masyarakat
sekitar, terlebih untuk mewujudkan kehidupan keagamaan yang harmonis dan
komunikasi antar umat beragama.
Mengenai pelaksanaan tata peribadatan Khonghuchu,
peneliti melakukan kategorisasi berdasarkan fakta yang peneliti dapatkan di
lapangan, bahwa pola pelaksanaan ajaran khonghuchu yang dilakukan oleh warga
etnik Tionghoa di Bantaeng terdiri atas dua kategori, yaitu mereka yang meski
secara formal tidak mencantumkan agama Khonghuchu dalam kartu identitas mereka
tapi dalam praktek keseharian mereka adalah seorang Khonghuchu Tulen. Untuk
kategori ini peneliti hanya menemukan beberapa orang dari kalangan sesepuh
masyarakat Tionghoa di Bantaeng, diantaranya Bapak Effendi Sinyo beserta
istrinya di Jalan Manggis Bantaeng dan Bapak Ci Heng di kawasan Pasar Baru
Bantaeng.
Kategori kedua adalah mereka yang secara formal
tidak menganut Khonghuchu sebagai agama tapi dalam praktek kesehariannya masih
aktif menjalankan ritus dan tata sembahyang ala agama Khonghuchu. Umumnya
mereka yang peneliti temui masuk dalam kategori kedua ini. Dalam praktek
peribadatan mereka melakukan sinkretisasi antara ajaran Khonghuchu dan agama
resmi mereka (khususnya yang beragama Buddha), seperti dalam altar sembahyang
mereka selain terdapat patung dan gambar Dewi Kwan Im dan Dewa Kwan Khong,
serta simbol-simbol agama Khonghuchu lainnya (seperti foto-foto leluhur) namun
di altar tersebut juga mereka memasang patung Budddha. Mereka yang secara
formal beragama Buddha melaksanakan sembahyang ala agama Khonghuchu tersebut
secara rutin setiap hari, sedangkan untuk mereka yang beragama Kristen dan
katolik umumnya menjalankan acara sembahyang tersebut hanya sekali-sekali saja
ketika ada acara-acara tertentu seperti Imlek atau momen-momen tertentu saja
dan tidak menjadi laku keseharian mereka sebagaimana mereka yang secara formal
menganut agama Buddha.
Di Bantaeng tidak ada Klenteng atau Liteng yang
merupakan tempat ibadah penganut agama Khonghuchu. Mereka melaksanakan ibadah
di rumah-rumah atau di tempat usaha/kerja mereka, di mana mereka memasang altar
sembahyang. Pada momen tertentu mereka melaksanakan ibadah di Klenteng yang ada
di Jalan Sulawesi Makassar. Namun, menurut Bapak Effendi Sinyo, mereka kerap
kumpul jika ada rohaniawan Khonghuchu dari Makassar di rumah Bapak Ci Heng,
yaitu di toko 33 di kawasan Pasar Baru Bantaeng. Namun setelah peneliti
mengkonfirmasi kepada bapak Ci Heng, kegiatan kumpul-kumpul tersebut sudah lama
tak dilaksanakan lagi, dan ketika acara tersebut dilaksanakan yang datang pun
tidak semuanya adalah penganut Khonghuchu tulen.
Kutipan hasil penelitian tersebut, bagi saya
itulah realitasnya, apalagi saya terlibat langsung dalam proses penelitian
tersebut. Ada pikiran yang berkecamuk, sekaligus saya membatin, bahwa betapa
sebuah pergolakan politik, bisa saja menghilangkan sesuatu yang paling hakiki,
paling asasi pada diri seseorang. Betapa tidak, sebuah anutan hidup, petunjuk
hidup yang begitu sakral, luhur dan mulia dari seorang ‘nabi’ Khonghucu,
tercerabut begitu saja sebagai akibat dari keserakahan kekuasaan politik. Bapak
Efendi Sinyo (Baba’ Cangkeng) dan Ci Heng, adakah mereka sebagai The Last
Khonghucu di Bantaeng? Wallahu a’lam bissawab. Lalu saya teringat dengan sebuah
filem yang cukup dramatis, yang berjudul The Last Mochikhan, yang sudah beredar
beberapa waktu yang lalu.***
Kamis, 21 Februari 2013
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
06.13
46
Wejangan Miladku, surat buat diri, 20 Februari 1967-2013
Empat Puluh Enam tahun sudah terlewati, makin dekat pada keabadian.
Ke depan baru itu yang pasti, di tengah ketidakpastian hidup
Karena raga makin lemah, maka kebutuhannya pun makin berkurang. Tubuh mulai memilih butuhnya.
Justeru jiwalah yang makin bergolak menuntut butuhnya yang menggila. Kelaparan jiwa mengancam diri, jika tidak disahuti.
Empat Puluh Enam tahun perjalanan, telah menjadi kepastian, sebab sudah terjalani, itulah kemestian hidup.
Tak perlu ada ratap, sebab itu miliknya masa silam. Yang paling mungkin, hanyalah mengambil yang perlu untuk perjalanan berikutnya.
Empat Puluh Enam tahun perjalanan, menjadi pupuk kehidupan bagi diri, jikalau ada hasrat baik untuk menerimanya, berkompromi dengan masa lewat.
Baik-buruk, di mata seorang pejalan, sama saja adanya, sebagai pemandu jalan agar tidak tersesat.
Diri hanya perlu dibujuk, agar makin mengerti bahwa di sisa usia adalah mencari kepastian hidup, meski yang dijumpai barulah penandanya. Alamat pastinya belum terasa, apalagi teraba.
Yang pasti, hanyalah janji pastinya keabadian pada masa dan alam berikutnya.
Empat Puluh Enam tahun sudah tunai dijalani, cukup memadai untuk menapaki jalan keruhanian, yang telah didedahkan oleh-Nya.
Wejangan Miladku, surat buat diri, 20 Februari 1967-2013
Empat Puluh Enam tahun sudah terlewati, makin dekat pada keabadian.
Ke depan baru itu yang pasti, di tengah ketidakpastian hidup
Karena raga makin lemah, maka kebutuhannya pun makin berkurang. Tubuh mulai memilih butuhnya.
Justeru jiwalah yang makin bergolak menuntut butuhnya yang menggila. Kelaparan jiwa mengancam diri, jika tidak disahuti.
Empat Puluh Enam tahun perjalanan, telah menjadi kepastian, sebab sudah terjalani, itulah kemestian hidup.
Tak perlu ada ratap, sebab itu miliknya masa silam. Yang paling mungkin, hanyalah mengambil yang perlu untuk perjalanan berikutnya.
Empat Puluh Enam tahun perjalanan, menjadi pupuk kehidupan bagi diri, jikalau ada hasrat baik untuk menerimanya, berkompromi dengan masa lewat.
Baik-buruk, di mata seorang pejalan, sama saja adanya, sebagai pemandu jalan agar tidak tersesat.
Diri hanya perlu dibujuk, agar makin mengerti bahwa di sisa usia adalah mencari kepastian hidup, meski yang dijumpai barulah penandanya. Alamat pastinya belum terasa, apalagi teraba.
Yang pasti, hanyalah janji pastinya keabadian pada masa dan alam berikutnya.
Empat Puluh Enam tahun sudah tunai dijalani, cukup memadai untuk menapaki jalan keruhanian, yang telah didedahkan oleh-Nya.
Senin, 28 Januari 2013
DUPA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
01.56
Merindu pada harum wangi dupa, saat perhelatan maulid Baginda Nabi, di
rumah kaum yang merayakannya. Makin hari makin jarang kutemui.
Selagi masih kanak-kanak, salah satu bulan yang kutunggu hadirnya adalah bulan Maulid, di samping bulan Ramadhan.
Apa pasal sehingga kedua bulan itu menjadi amat penting bagi masa
kanakku? Sebab, pada kedua bulan itu, selalu kuhirup bau dupa yang harum
mewangi.
Pada bulan Maulid, setiap acara barazanji dibacakan,
kepulan asap dupa mengiringi lantunan para pembacanya. Sedangkan pada
bulan Ramadhan, tepatnya saat menyongsong kedatangannya, ritus atas
bulan agung itu, didupakan pula dengan segenap khusyuk dalam lautan
wewangian asap dupa.
Bulan Maulid kali ini, belumlah ada rumah
yang kusambangi untuk mengekstasi harumnya bau dupa. Atau karena memang
kebiasaan ini sudah ketinggalan zaman? Menjadi milik masa silam, ketika
masih kanak-kanak?
Jika demikian adanya, maka aku akan
membakar dupa atas dukaku ini. Sambil mengkomat-kamitkan mantra: "Pada
asap dupa yang terbakar, meliuklah ke masa silam, ke alam kanak-kanakku,
saat wangi dupa masih menyelimuti diri."
Kamis, 24 Januari 2013
WACANA FUNDAMENTALISME DAN HMI MPO
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.50
WACANA FUNDAMENTALISME DAN HMI MPO
Oleh Sulhan Yusuf
Gerakan-pemikiran
fundamentalisme bisa dijinakkan secara intelektual, dan intelektualisme yang
liberal bias menemukan basis normatifnya oleh pemahaman yang fundamentalis.
Wacana
Fundamentalisme-Neo Fundamentalisme (Pra-Modern dan Kontemporer) sebagai suatu
istilah, dalam banyak hal dan sudut pandang, sering juga diberikan padanan
istilah lain, yaitu Revivalisme (Paham Kebangkitan). Sehingga, ketika kita
berbicara tentang Revivalisme Islam,
maka sesungguhnya yang dimaksud adalah bangkitnya kaum Fundamentalisme Islam[1].
Memasuki abad
ke-15 H, sering dinyatakan sebagai abad kebangkitan umat Islam, tepatnya ketika
sejumlah Negara Islam dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam I pada tahun
1969 di Rabbat, Maroko, dimana KTT tersebut memutuskan sebagai abad kebangkitan
Islam. Mengapa KTT itu dijadikan momentum?[2]
Setidaknya,
menurut Asep Syamsul, bahwa ada dua yang melatarinya. Pertama, ada semacam
keyakinan di kalangan umat Islam bahwa kejayaan suatu umat atau bangsa akan terjadi
bergiliran selama kurun waktu tujuh abad. Umat Islam telah berjaya selama tujuh
abad pertama hijriah, yang kemudian jatuh dan digantikan umat lain (Barat).
Setelah tujuh abad kejayaan Barat (VII-XV), maka mulai abad XV merupakan
”giliran” umat Islam berjaya kembali. Keyakinan boleh merupakan “tafsiran” atas
QS.3:140, “Demikianlah hari-hari (kebangkitan dan kejatuhan) kami
pergilirkan di antara umat manusia…”.
Dengan demikian, pergiliran “bangkit dan jatuh” suatu kaum merupakam sunnatullah.
Kedua,
memasuki abad ke XV ada peristiwa besar yang mengguncang dunia Islam, yakni
dibakarnya mesjid al-Aqsa di Yerussalem oleh kaum Yahudi pada 21 Agustus 1967.
Peristiwa tersebut menggemparkan sekaligus membuat marah, dan peristiwa itulah
yang melahirkan suatu perasaan yang mendalam di kalangan umat Islam sedunia.
Giliran issu
dan gagasan kebangkitan inipun menjalar masuk ke Indonesia, sehingga seorang
Fazlur Rahman[3] – sosok
intelektual Muslim kaliber internasional asal Pakistan— pun mengatakan bahwa
kebangkitan Islam telah dimulai di
Indonesia. Dan cendekiawan Muslim Indonesiapun dalam hal ini Muhammad Natsir
segera menegaskan bahwa kebangkitan umat Islam di Indonesia akan dimulai dari
tiga tempat, yaitu; pesantren, masjid dan kampus [4]
Selanjutnya,
rasa percaya diri umat Islam pun semakin nampak – termasuk pengaruhnya terhadap
umat Islam yang ada di Indonesia —setelah
peritiwa spketakuler terjadi pada tahun 1979, di belahan bumi Timur Tengah,
yaitu suksesnya Revolusi Islam Iran
di bawah komando Imam Khomaeni.[5]
Bagi kaum muda
Muslim di Indonesia, nafas kebangkitan Islam ini pun terasa sangat berpengaruh. Sehingga kaum muda Muslim pun
ambil bagian dalam proses-proses kebangkitan ini. Maka tidaklah mengherankan
jikalau pada paruh tahun 1980-an lahirlah fenomena baru berupa hadirnya sejenis
gerakan yang cukup fenomenal, yang dalam peristilahannya saya sebut sebagai Gerakan
Religi.[6]
Sebagai bahan
pemikiran, saya kutipkan sebagai berikut:
“Bagi kaum muda mahasiswa , telah lahir pula fenomena
baru sejak dekade 80-an hingga 90-an, dalam wujud Gerakan Religi, dengan
konotasi pada terjadinya pencerahan pemikiran di kalangan kaum muda mahasiswa.
Tema dasar dari gerakan ini adalah upaya untuk senantiasa menegentalkan kembali
semangat religiusitas (keberagamaan) yang hampir lepas, dikarenakan oleh
gencarnya injeksi dari proses sekularisasi terhadap kaum terpelajar sejak
pertama kali mengecap pendidikan dasar, hingga ke pendidikan tinggi. Fenomena
ini terjadi hampir secara umum berlaku di kalangan semua pengikut agama.
Indikasi-indikasinya dapat dilihat pada adanya keinginan untuk mempelajari
persoalan-persoalan keagamaan di kampus yang nota bene pendidikan umum
(non-agama). Difungsikannya tempat-tempat kuliah di beberapa ruangan kampus
misalnya tempat kebaktian bagi kaum muda mahasiawa Kristiani, atau
pengoptimalan fungsi masjid-mushallah kampus sebagai tempat pengkajian aneka
ragam persoalan agama Islam, yang diikuti oleh kaum muda Muslim secara serius,
adalah hal yang tak boleh dinapikan sebagai salah satu sisi gerakan yang sementara
berlangsung di kalangan kaum muda
mahasiswa.”[7]
Latarbelakang apa yang menyebabkan bangkitnya semangat
religiusitas di kalangan kaum muda mahasiswa itu, khususnya di kalangan kaum
muda-mahasiswa Muslim. Apa semangat itu datang begitu saja secara tiba-tiba?
Kita ikuti paparan lebih lanjut seperti berikut ini:
”Sesungguhnya, apa yang terjadi pada saat ini di
kalangan kaum muda mahasiswa Muslim itu, tidak bisa dilepaskan dari adanya
pengaruh gerakan Islam secara mondial. Gerakan yang dimotori oleh
aktvis-aktivis Jamiat Islami di Pakistan, Ikhwanul Muslimin di Mesir, maupun
kesuksesan Revolusi Islam di Iran, telah memberikan kontribusi yang cukup
banyak terhadap terjadinya proses kontinutas gerakan religi, yang bersifat
pencerahan pemikiran sekaligus pencerahan spiriutual. Olehnya, tidaklah
mengherankan jikalau kaum muda mahasiswa Muslim terpelajar, disamping menekuni
buku-buku pelajarannya, juga menjadikan tulisan-tulisan dan buku-buku semisal
Abu ‘Ala al-Maududi, Syed Ahmad Khan, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad
Qutb, Yusuf Qardhawi, Murtdha Mutahhari, Muhammad Husaini Bahesti, Javad
Bahonar, Imam Khomaeni dan Ali Syariati, sebagai rujukan pergolakan-pergolakan
pemikirannya dan juga keresahan-keresahan spiritualnya, dalam merakit rintisan
langkah awal menuju ke suatu proses pencerahan pemikiran-spiritual.”[8]
Konteks HMI
Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), sebagai salah satu dari gerakan kaum muda Muslim
terbesar dan paling berpengaruh, pun tidak luput dari pengaruh gagasan akan
kebangkitan Islam ini. Sehingga pada kepengurusan Abdullah Hahemahua, sebagai
Ketua Umum Pengurus Besar HMI (l979-1981), gagasan kebangkitan Islam ini
menjadi topik yang akatual di HMI. Sehingga, di HMI sendiri terjadi proses
Islamisasi, tepatnya adalah ideologisasi Islam.
Nilai Dasar
Perjuangan (NDP) sebagai paradigma gerakan HMI, pun tidak bisa luput dari pengaruh
gagasan kebangkitan Islam ini. Sehingga menurut Hasanauddin M.Saleh, perlakuan
terhadap NDP terjadi perbedaan antara sejak diputuskannnya pada Kongres ke-9,
1969 di Malang – sebagai tafsir asas
HMI—hingga 1980-an dan sesudah tahun 1980-an. Saya kutipkan hasil
risetnya:
“NDP menjadi pedoman dasar gerakan Islamisasi di HMi
sampai dengan tahun 1980-an. Akan tetapi, terdapat perbedaan perlakuan terhadap
NDP antara HMI tahun 1960-an dan 1970-an dengan HMI tahun 1980-an. HMI sebelum
tahun 1980-an memperlakukan NDP sebagai satu pokok bahasan dalam latihan
kepemimpinan HMI. Itupun masih dilihat secara filosofis, belum ada upaya
merumuskan dalam tindakan operasional, sehingga Islamisasi pada masa ini masih
dalamn strata keinginan yang belum terwujud. Perlakuan terhadap NDP itu berbeda
dengan HMI tahun 1980-an. Pada masa ini semangat mengintergrasikan nilai-nilai
yang terumus dalam NDP ke dalam seluruh aktivitas HMI secasra organisatorios
maupun terhadap prilaku anggota-anggota HMI secara individual cukup besar.
Hampir semua materi latihan di HMI merupakan bagian penjabaran NDP. Akan
tetapi, sebenarnya bukan kajian terhadap NDP itu sendiri yang sangat
berpengaruh terhadap gairah keislaman yang sangat tinggi pada komunitas HMI,
melainkan sentuhan mereka secara langsung dengan semangat keislaman yang tengah
berkembang di Indonesia ,
bahkan di dunias Islam.”[9]
Akibat lebih
jauh dari proses ini adalah munculnya kritikan terhadap NDP.Tulisan Syafinuddin
al-Mandari telah merekam dan memaparkan bagaimana dinamika intelektual itu
terjadi. Yang pada dasarnya, kritikan itu berkisar pada pembahasan yang
menyeluruh terhadap pokok-pokok pikiran yang ada dalam NDP, seperti; pembahasan
tentang Dasar-Dasar Kepercayaan, Konsepsi Ilmu Pengetahuan, sistem sosial.[10]
Gelombang
studi kritis terhadap NDP tersebut, pada akhirnya melahirkan rekomendasi untuk
melakukan penyempurnaan di bidang perkaderan. Walhasil, pada tahun 1983
dilaksanakanlah lokarya perkaderan di Surabaya, dan pada tahun 1984 diformalkan
secara nasional, yang menghasilkan pola perkaderan dengan muatan Islamisasi
yang cukup dominan, baik pada tataran landasan maupun materi-materi
trainingnya.[11]
Sesungguhnya
usulan perubahan dalam artian penyempurnaan terhadap NDP, bukanlah suatu aksi
sepihak dari tuntutan kader-kader HMI yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan
kebangkitan Islam, yang menginginkan adanya Islamisasi ideologisasi Islam di
HMI. Seorang Nurcholis Madjid yang
dianggap sebagai tokoh yang sangat berperan dalam merumuskan NDP, juga telah
menganjurkan agar supaya NDP itu diubah dalam pengertian dikembangkan.
Nurcholis Madjid menuturkan:
“Saya disebut-sebut sebagai orang yang merumuskan NDP
(sekarang NIK), meskipun diformalkan oleh Kongres Malang. Itu terjadi 17 tahun
lalu. Jadi artinya sebagai dokumen organisasi, apalagi organisasi mahasiswa,
maka NDP itu cukup tua. Oleh Karena itu, ada teman yang berbicara tentang NDP
dan kemudian mengajukan gagasan misalnya untuk tidak mengatakan mengubah—mengembangkan
dan sebagainya, maka saya selalu menjawab, dengan sendirinyamemang mungkin
untuk diubah, dalam arti dikembangkan. Values (nilai-nilai) tentu saja tidak
berubah-ubah. Kalau di situ misalnya ada nilai Tauhid, tentu saja tidak
berubah. Akan tetapi pengungkapan dan tekanan pada implikasi itu bias diubah.
Sebab sepanjang sejarah, Tauhid pun tetap wujudnya sama, yitu paham pada
Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi tekanan implikasinya itu berubah-ubah…Jadi
artinya implikasi dari Tauhid itu bias berubah-ubah mengikuti perkembangan
zaman. Sebab itu, juga menyangkut masalah interpretasi. Pengungkapan nilai itu
sendirimemang tidak mungkin berubah, tetapi harus dipertahankan apalagi nilai
seperti Tauhid. Akan tetapi karena ada kemungkinan mengubah tekanan,
implikasinya, maka ada ruang dan kesempatan dengan sendirinya untuk suatu
dokumen semacam NDP. Tidak hanya namanya saja diubah NDP ke NIK. Dan itu adalah
tugas/pikiran yang sah dari adik-adik disini. Maka dari itu saya persilahkan
kalau misalnya memang ada yang ingin menggarap bidang ini.” [12]
Bersamaan
dengan menguatnya tuntutan akan Islamisasi atau ideologisasi Islam di HMI,
hadirlah lima
paket UU yang dikeluarkan oleh rejim despotik ORBA. Keharusan HMI untuk merubah
dan me3nerima asas Pancasila berakibat fatal, karena menyebabkan HMI terpecah
menjadi dua kubu, yaitu HMI DIPO (Diponegoro, inisial karena bersekretariat di
jalan Diponegoro Jakarta
dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). Yang pada akhirnya, HMI DIPO
menerima asas Pancasila – meski setelah reformasi asasnya kembali ke Islam,
sedangkan HMI MPO tetap mempertahankan asas Islamnya.
Sebagai
konsekuensi dari perpecahan itu adalah HMI DIPO merubah NDP menjadi Nilai
Identitas Kader (NIK), meski kandungannya tidak berubah, tetapi memberi memori
penjelas tentang sejalannya, dalam artian tidak adanya pertentangan antara Islam dan Pancasila.[13]
Tetapi pada konteks ini, satu pertanyaan krutis sering dan amat perlu diajukan,
jikalau memang tidak ada masalah dengan asas antara Pancasila dan Islam,
mengapa setelah reformasi terjadi, --dan asas tunggal pancasila dianggap
menjadi salah satu biang kerok kerusakan di negeri ini – HMI DIPO harus memilih
dan menetapkan kembali ke asas Islam ?
Akan halnya
dengan HMI MPO, dengan mempertahankan asas Islam, maka konsekuensi yang
dihadapi adalah harus berhadapan dengan kekuasaan rejim ORBA. Dan pada saat
yang sama gagasan-gagasan kebangkitan Islam mendapat tempat dan lahan yang
subur di HMI MPO. Akibatnya adalah NDP pun yang memang sudah banyak dikritik,
semakin menemukan kristalisasinya dengan lahirnya Khittah Perjuangan HMI
sebagai pengganti NDP.
Pada konteks
ini, menjadi jelaslah kerumitan yang dihadapi oleh HMI ketika ada keinginan
untuk melakukan rekonsiliasi. Sebab, awalnya memang hanya peristiwa politik yang
menyebabkan perpecahan, tetapi kemudian berkembang menjadi perpecahan
kelembagaan, yang kemudian masing-masing berjalan dengan sistem penjelas yang
dirumuskan, agar tetap survive. HMI DIPO merumuskan dan melakukan
penyesuan-penyesuan terhadap pola-pola yang dikembangkan oleh penguasa,
sedangkan HMI MPO, harus mengeluarkan energi ekstra untuk merumuskan
konsep-konsep, pola-pola dan sistem penjelas organisasi.
Khittah Perjuangan
Bagi HMI MPO,
Khittah Perjuangan merupakan sumber inspirasi, motivasi dan aspirasi bagi
segala aktivitas yang dilakukan oleh organisasi, serta merupakan tafsir
integral dari Asas, tujuan dan Independensi. Dan untuk melakukan studi yang
memadai, maka kita dapat membagi ke dalam dua tahapan perjalanannya sebagai
sebuah konsep. Pertama, sejak terjadinya perpecahan hingga kepengerusan PB HMI,
H.Masyhudi Muqarrabin, Periode 1990-1992. Kedua, setelah penyempurnaan hingga
saat ini.
Karateristik
dari KHittah Perjuangan pada tahap pertama, sering didentifikasi dengan
beberapa catatan seperti; muatan-muatan
pemikirannya sangat fundanetalis dan terkesan reaksioner. Hal ini menjadi absah
saja, sebagai salah satu wujud penegasan eksistensi diri-kelompok, karena: Pertama,
pengaruh gagasan-gagasan kebangkitan Islam – tepatnya fundamentalisme Islam –
cukup dominan dalam pemikiran-pemikiran kader HMI yang bergabung dalan HMI MPO.
Kedua, tekanan dari pihak-pihak eksternal, baik dari penguasa rejim
Orba naupun dari kalangan alumni HMI yang tidak setuju dengan HMI MPO, cukup
kuat dan tak bersahabat.
Sebagai
konsekuensi dari perjalanan konsepsi KHittah Perjuangan ini, dapat kita lihat
dari prilaku kader-kader awal HMI MPO, yang menemukan bentuk artikulasinya yang
berwatak fundamentalis. Sehingga, model-model interaksi dan pola-pola
perjuangan yang muncul kepermukaan menemukan bentuknya seperti halaqah-halaqah
atau usro-usro, yang memang menjadi gejala umum gerakan Islam pada masa itu.
Artikulasi
dari semagat fundamentalisme ini menjadi sangat tajam ketika semuanya mau
di-Islmamisasi-kan. Sebagai contoh: himne HMI diganti dengan mars jihad, adanya
keinginan untuk merubah tanggal kelahiran HMI dari kalender masehi ke kalender
Hijriah, istilah-stilah pun diganti, dies
natalis menjadi milad, saudara-saudari menjadi ikhwan dan akhwat, tatacara
bergaul yang dibatasi oleh hijab, pemandu akhwat tidak boleh bicara di depan
peserta ikhwan, pakaian jilbab bagi perempuan dan gamis bagi laki-laki, dan
masih banyak lagi yang lainnya.
Perkembangan
selanjutnya dari Khittah perjuangan sebagai suatu konsep, ketika memasuki
tahapan penyempurnaan, sebagai konsekuensi logis dari semakin luasnya ruang
gerak dan makin artikulatifnya potensi para kader. Sehingga diselenggarakanlah
lokakarya penyempurnaan Khittah Perjuangan di Yogyakarta. Dan selanjutnya,
untuk menjabarkan konsep ini, maka dilaksanakan pula lokakarya penyempurnaan
perkaderan di Jakarta , yang kemudian hasil-hasil
lokarya tersebut ditetapkan pada Kongres ke-19, 1992 di Semarang .[14]
Dengan adanya
Khittah Perjuangan yang baru, sebagai hasil penyempurnaan, maka dengan serta
merta nuansanyapun berbeda. Jika diperbandingkan dengan Khittah Perjuangan
sebelumnya, maka Khittah Perjuangan yang ada sekarang ini lebih komprehensif
dan tidak lagi mencerminkan karakter yang sangat fundamentalistik, apalagi
reaksioner.[15]
Terjadinya
pergeseran nuansa konsep tersebut menjadi sangat logis, karena: Pertama,
pergeseran-pergeran pemikiran di kalangan kader turut mempengaruhi cara
memahami realitas yang dihadapi oleh HMI MPO. Kedua, Karakteristik dari
gagasan-gagasan fundamentalisme yang reaksioner, terasa tidak cukup memadai
untuk memberikan jawaban solutif bagi permasalahan keummatan yang lebih
komprehensif. Ketiga, bangkitnya kembali taradisi intelektual di HMI MPO,
yang memang merupakan trade merk dari HMI sejak masa yang lalu.
Pada konteks
ini menjadi menarik untuk dikemukakan hasil riset yang dilakukan oleh Rusli
Karim dalam tesisnya , bahwa :
Akhirnya, dapatlah
ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam perjalanan
HMI MPO yang sudah memasuki usia
kurang-lebih 25 tahun ini telah menampakkan sebuah profil yang lebih
komprehensif. Warisan fundamentalisme tidak hilang sama sekali, tetapi mendapat
tafsiran baru, maksudnya, fundamentalisme yang begitu garang telah dijinakkan
oleh sebuah tradisi intelektual. Sedangkan tradisi intelektual yang begitu
liberal di HMI, mendapatkan pijakan normatif yang cukup kokoh. Paling tidak ini
tercermin dari profil prilaku kader yang cukup berakhlak tidak secara
hitam-putih, dan mereka tidak ketinggalan wacana intelektual. ***
[1] Lihat
misalnya uraian singkat dari Rifyal Ka’bah, Islam
dan Fundamentalisme, Jakarta :
Pustaka Panjimas, 1984 hal.31-32.
[2] Sulhan
Yusuf, Tanggung Jawab Kaum Muda Muslim Dan Kebangkitan Umat Islam, Medium, Edisi I, September-Oktober 1997,
hal.22
[3] Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas Tentang
Transformasi Intelektual, Bandung :
Pustaka, 1985, hal.150-154.
[4] Sulhan
Yusuf, of cit, hal.22-23
[5] Ibid,
hal 23.
[6] Lihat
artikel-polemik Sulhan Yusuf, Membedah Tema Gerakan Kaum Muda Mahasiswa, pada
harian Fajar, 18 Nopember 1992,
dengan M.Arief Hakim.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9]
Hasanuddin M.Saleh, HMI Dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar1996 hal.103
[10]
Syafinuddin al-Mandari, HMi dan Wacana Revolusi Sosial, Jakarta : Hijau Hitam-PSPI, 2004, hal.
[11]
Hasanuddin M.Saleh, of cit, hal.104-105
[12]
Penuturan Nurcholis Madjid ini dapat dilihat pada buku Muchridji Fauzi
(penyunting) HMI dalam Tantangan Zaman, Jakarta : Gunung Kulabu, 1990, hal.3-4.
[13] Memori
Penjelasan PB HMI DIPO dapat dilihat pada ketetapan-ketepan Kongres ke-19, 1992
di Pekanbaru, hal.141-144.
[14] lihat
Laporan pertanggung Jawaban PB HMI Periode 1990-1992, hal 43-42.
[15] Untuk
memahami substansi kandungan dari Khittah Perjuangan yang telah disempurnakan,
uraian mendalam yang merupakan tafsiran dariSuharsono dapat ditelaah lewat
bukunya HMI Pemikiran dan Masa Depan,Yogyakarta : CIIS Press, 1997, hal.73-105.
Langganan:
Postingan (Atom)