Kamis, 24 Januari 2013
WACANA FUNDAMENTALISME DAN HMI MPO
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.50
WACANA FUNDAMENTALISME DAN HMI MPO
Oleh Sulhan Yusuf
Gerakan-pemikiran
fundamentalisme bisa dijinakkan secara intelektual, dan intelektualisme yang
liberal bias menemukan basis normatifnya oleh pemahaman yang fundamentalis.
Wacana
Fundamentalisme-Neo Fundamentalisme (Pra-Modern dan Kontemporer) sebagai suatu
istilah, dalam banyak hal dan sudut pandang, sering juga diberikan padanan
istilah lain, yaitu Revivalisme (Paham Kebangkitan). Sehingga, ketika kita
berbicara tentang Revivalisme Islam,
maka sesungguhnya yang dimaksud adalah bangkitnya kaum Fundamentalisme Islam[1].
Memasuki abad
ke-15 H, sering dinyatakan sebagai abad kebangkitan umat Islam, tepatnya ketika
sejumlah Negara Islam dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam I pada tahun
1969 di Rabbat, Maroko, dimana KTT tersebut memutuskan sebagai abad kebangkitan
Islam. Mengapa KTT itu dijadikan momentum?[2]
Setidaknya,
menurut Asep Syamsul, bahwa ada dua yang melatarinya. Pertama, ada semacam
keyakinan di kalangan umat Islam bahwa kejayaan suatu umat atau bangsa akan terjadi
bergiliran selama kurun waktu tujuh abad. Umat Islam telah berjaya selama tujuh
abad pertama hijriah, yang kemudian jatuh dan digantikan umat lain (Barat).
Setelah tujuh abad kejayaan Barat (VII-XV), maka mulai abad XV merupakan
”giliran” umat Islam berjaya kembali. Keyakinan boleh merupakan “tafsiran” atas
QS.3:140, “Demikianlah hari-hari (kebangkitan dan kejatuhan) kami
pergilirkan di antara umat manusia…”.
Dengan demikian, pergiliran “bangkit dan jatuh” suatu kaum merupakam sunnatullah.
Kedua,
memasuki abad ke XV ada peristiwa besar yang mengguncang dunia Islam, yakni
dibakarnya mesjid al-Aqsa di Yerussalem oleh kaum Yahudi pada 21 Agustus 1967.
Peristiwa tersebut menggemparkan sekaligus membuat marah, dan peristiwa itulah
yang melahirkan suatu perasaan yang mendalam di kalangan umat Islam sedunia.
Giliran issu
dan gagasan kebangkitan inipun menjalar masuk ke Indonesia, sehingga seorang
Fazlur Rahman[3] – sosok
intelektual Muslim kaliber internasional asal Pakistan— pun mengatakan bahwa
kebangkitan Islam telah dimulai di
Indonesia. Dan cendekiawan Muslim Indonesiapun dalam hal ini Muhammad Natsir
segera menegaskan bahwa kebangkitan umat Islam di Indonesia akan dimulai dari
tiga tempat, yaitu; pesantren, masjid dan kampus [4]
Selanjutnya,
rasa percaya diri umat Islam pun semakin nampak – termasuk pengaruhnya terhadap
umat Islam yang ada di Indonesia —setelah
peritiwa spketakuler terjadi pada tahun 1979, di belahan bumi Timur Tengah,
yaitu suksesnya Revolusi Islam Iran
di bawah komando Imam Khomaeni.[5]
Bagi kaum muda
Muslim di Indonesia, nafas kebangkitan Islam ini pun terasa sangat berpengaruh. Sehingga kaum muda Muslim pun
ambil bagian dalam proses-proses kebangkitan ini. Maka tidaklah mengherankan
jikalau pada paruh tahun 1980-an lahirlah fenomena baru berupa hadirnya sejenis
gerakan yang cukup fenomenal, yang dalam peristilahannya saya sebut sebagai Gerakan
Religi.[6]
Sebagai bahan
pemikiran, saya kutipkan sebagai berikut:
“Bagi kaum muda mahasiswa , telah lahir pula fenomena
baru sejak dekade 80-an hingga 90-an, dalam wujud Gerakan Religi, dengan
konotasi pada terjadinya pencerahan pemikiran di kalangan kaum muda mahasiswa.
Tema dasar dari gerakan ini adalah upaya untuk senantiasa menegentalkan kembali
semangat religiusitas (keberagamaan) yang hampir lepas, dikarenakan oleh
gencarnya injeksi dari proses sekularisasi terhadap kaum terpelajar sejak
pertama kali mengecap pendidikan dasar, hingga ke pendidikan tinggi. Fenomena
ini terjadi hampir secara umum berlaku di kalangan semua pengikut agama.
Indikasi-indikasinya dapat dilihat pada adanya keinginan untuk mempelajari
persoalan-persoalan keagamaan di kampus yang nota bene pendidikan umum
(non-agama). Difungsikannya tempat-tempat kuliah di beberapa ruangan kampus
misalnya tempat kebaktian bagi kaum muda mahasiawa Kristiani, atau
pengoptimalan fungsi masjid-mushallah kampus sebagai tempat pengkajian aneka
ragam persoalan agama Islam, yang diikuti oleh kaum muda Muslim secara serius,
adalah hal yang tak boleh dinapikan sebagai salah satu sisi gerakan yang sementara
berlangsung di kalangan kaum muda
mahasiswa.”[7]
Latarbelakang apa yang menyebabkan bangkitnya semangat
religiusitas di kalangan kaum muda mahasiswa itu, khususnya di kalangan kaum
muda-mahasiswa Muslim. Apa semangat itu datang begitu saja secara tiba-tiba?
Kita ikuti paparan lebih lanjut seperti berikut ini:
”Sesungguhnya, apa yang terjadi pada saat ini di
kalangan kaum muda mahasiswa Muslim itu, tidak bisa dilepaskan dari adanya
pengaruh gerakan Islam secara mondial. Gerakan yang dimotori oleh
aktvis-aktivis Jamiat Islami di Pakistan, Ikhwanul Muslimin di Mesir, maupun
kesuksesan Revolusi Islam di Iran, telah memberikan kontribusi yang cukup
banyak terhadap terjadinya proses kontinutas gerakan religi, yang bersifat
pencerahan pemikiran sekaligus pencerahan spiriutual. Olehnya, tidaklah
mengherankan jikalau kaum muda mahasiswa Muslim terpelajar, disamping menekuni
buku-buku pelajarannya, juga menjadikan tulisan-tulisan dan buku-buku semisal
Abu ‘Ala al-Maududi, Syed Ahmad Khan, Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Muhammad
Qutb, Yusuf Qardhawi, Murtdha Mutahhari, Muhammad Husaini Bahesti, Javad
Bahonar, Imam Khomaeni dan Ali Syariati, sebagai rujukan pergolakan-pergolakan
pemikirannya dan juga keresahan-keresahan spiritualnya, dalam merakit rintisan
langkah awal menuju ke suatu proses pencerahan pemikiran-spiritual.”[8]
Konteks HMI
Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), sebagai salah satu dari gerakan kaum muda Muslim
terbesar dan paling berpengaruh, pun tidak luput dari pengaruh gagasan akan
kebangkitan Islam ini. Sehingga pada kepengurusan Abdullah Hahemahua, sebagai
Ketua Umum Pengurus Besar HMI (l979-1981), gagasan kebangkitan Islam ini
menjadi topik yang akatual di HMI. Sehingga, di HMI sendiri terjadi proses
Islamisasi, tepatnya adalah ideologisasi Islam.
Nilai Dasar
Perjuangan (NDP) sebagai paradigma gerakan HMI, pun tidak bisa luput dari pengaruh
gagasan kebangkitan Islam ini. Sehingga menurut Hasanauddin M.Saleh, perlakuan
terhadap NDP terjadi perbedaan antara sejak diputuskannnya pada Kongres ke-9,
1969 di Malang – sebagai tafsir asas
HMI—hingga 1980-an dan sesudah tahun 1980-an. Saya kutipkan hasil
risetnya:
“NDP menjadi pedoman dasar gerakan Islamisasi di HMi
sampai dengan tahun 1980-an. Akan tetapi, terdapat perbedaan perlakuan terhadap
NDP antara HMI tahun 1960-an dan 1970-an dengan HMI tahun 1980-an. HMI sebelum
tahun 1980-an memperlakukan NDP sebagai satu pokok bahasan dalam latihan
kepemimpinan HMI. Itupun masih dilihat secara filosofis, belum ada upaya
merumuskan dalam tindakan operasional, sehingga Islamisasi pada masa ini masih
dalamn strata keinginan yang belum terwujud. Perlakuan terhadap NDP itu berbeda
dengan HMI tahun 1980-an. Pada masa ini semangat mengintergrasikan nilai-nilai
yang terumus dalam NDP ke dalam seluruh aktivitas HMI secasra organisatorios
maupun terhadap prilaku anggota-anggota HMI secara individual cukup besar.
Hampir semua materi latihan di HMI merupakan bagian penjabaran NDP. Akan
tetapi, sebenarnya bukan kajian terhadap NDP itu sendiri yang sangat
berpengaruh terhadap gairah keislaman yang sangat tinggi pada komunitas HMI,
melainkan sentuhan mereka secara langsung dengan semangat keislaman yang tengah
berkembang di Indonesia ,
bahkan di dunias Islam.”[9]
Akibat lebih
jauh dari proses ini adalah munculnya kritikan terhadap NDP.Tulisan Syafinuddin
al-Mandari telah merekam dan memaparkan bagaimana dinamika intelektual itu
terjadi. Yang pada dasarnya, kritikan itu berkisar pada pembahasan yang
menyeluruh terhadap pokok-pokok pikiran yang ada dalam NDP, seperti; pembahasan
tentang Dasar-Dasar Kepercayaan, Konsepsi Ilmu Pengetahuan, sistem sosial.[10]
Gelombang
studi kritis terhadap NDP tersebut, pada akhirnya melahirkan rekomendasi untuk
melakukan penyempurnaan di bidang perkaderan. Walhasil, pada tahun 1983
dilaksanakanlah lokarya perkaderan di Surabaya, dan pada tahun 1984 diformalkan
secara nasional, yang menghasilkan pola perkaderan dengan muatan Islamisasi
yang cukup dominan, baik pada tataran landasan maupun materi-materi
trainingnya.[11]
Sesungguhnya
usulan perubahan dalam artian penyempurnaan terhadap NDP, bukanlah suatu aksi
sepihak dari tuntutan kader-kader HMI yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan
kebangkitan Islam, yang menginginkan adanya Islamisasi ideologisasi Islam di
HMI. Seorang Nurcholis Madjid yang
dianggap sebagai tokoh yang sangat berperan dalam merumuskan NDP, juga telah
menganjurkan agar supaya NDP itu diubah dalam pengertian dikembangkan.
Nurcholis Madjid menuturkan:
“Saya disebut-sebut sebagai orang yang merumuskan NDP
(sekarang NIK), meskipun diformalkan oleh Kongres Malang. Itu terjadi 17 tahun
lalu. Jadi artinya sebagai dokumen organisasi, apalagi organisasi mahasiswa,
maka NDP itu cukup tua. Oleh Karena itu, ada teman yang berbicara tentang NDP
dan kemudian mengajukan gagasan misalnya untuk tidak mengatakan mengubah—mengembangkan
dan sebagainya, maka saya selalu menjawab, dengan sendirinyamemang mungkin
untuk diubah, dalam arti dikembangkan. Values (nilai-nilai) tentu saja tidak
berubah-ubah. Kalau di situ misalnya ada nilai Tauhid, tentu saja tidak
berubah. Akan tetapi pengungkapan dan tekanan pada implikasi itu bias diubah.
Sebab sepanjang sejarah, Tauhid pun tetap wujudnya sama, yitu paham pada
Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi tekanan implikasinya itu berubah-ubah…Jadi
artinya implikasi dari Tauhid itu bias berubah-ubah mengikuti perkembangan
zaman. Sebab itu, juga menyangkut masalah interpretasi. Pengungkapan nilai itu
sendirimemang tidak mungkin berubah, tetapi harus dipertahankan apalagi nilai
seperti Tauhid. Akan tetapi karena ada kemungkinan mengubah tekanan,
implikasinya, maka ada ruang dan kesempatan dengan sendirinya untuk suatu
dokumen semacam NDP. Tidak hanya namanya saja diubah NDP ke NIK. Dan itu adalah
tugas/pikiran yang sah dari adik-adik disini. Maka dari itu saya persilahkan
kalau misalnya memang ada yang ingin menggarap bidang ini.” [12]
Bersamaan
dengan menguatnya tuntutan akan Islamisasi atau ideologisasi Islam di HMI,
hadirlah lima
paket UU yang dikeluarkan oleh rejim despotik ORBA. Keharusan HMI untuk merubah
dan me3nerima asas Pancasila berakibat fatal, karena menyebabkan HMI terpecah
menjadi dua kubu, yaitu HMI DIPO (Diponegoro, inisial karena bersekretariat di
jalan Diponegoro Jakarta
dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). Yang pada akhirnya, HMI DIPO
menerima asas Pancasila – meski setelah reformasi asasnya kembali ke Islam,
sedangkan HMI MPO tetap mempertahankan asas Islamnya.
Sebagai
konsekuensi dari perpecahan itu adalah HMI DIPO merubah NDP menjadi Nilai
Identitas Kader (NIK), meski kandungannya tidak berubah, tetapi memberi memori
penjelas tentang sejalannya, dalam artian tidak adanya pertentangan antara Islam dan Pancasila.[13]
Tetapi pada konteks ini, satu pertanyaan krutis sering dan amat perlu diajukan,
jikalau memang tidak ada masalah dengan asas antara Pancasila dan Islam,
mengapa setelah reformasi terjadi, --dan asas tunggal pancasila dianggap
menjadi salah satu biang kerok kerusakan di negeri ini – HMI DIPO harus memilih
dan menetapkan kembali ke asas Islam ?
Akan halnya
dengan HMI MPO, dengan mempertahankan asas Islam, maka konsekuensi yang
dihadapi adalah harus berhadapan dengan kekuasaan rejim ORBA. Dan pada saat
yang sama gagasan-gagasan kebangkitan Islam mendapat tempat dan lahan yang
subur di HMI MPO. Akibatnya adalah NDP pun yang memang sudah banyak dikritik,
semakin menemukan kristalisasinya dengan lahirnya Khittah Perjuangan HMI
sebagai pengganti NDP.
Pada konteks
ini, menjadi jelaslah kerumitan yang dihadapi oleh HMI ketika ada keinginan
untuk melakukan rekonsiliasi. Sebab, awalnya memang hanya peristiwa politik yang
menyebabkan perpecahan, tetapi kemudian berkembang menjadi perpecahan
kelembagaan, yang kemudian masing-masing berjalan dengan sistem penjelas yang
dirumuskan, agar tetap survive. HMI DIPO merumuskan dan melakukan
penyesuan-penyesuan terhadap pola-pola yang dikembangkan oleh penguasa,
sedangkan HMI MPO, harus mengeluarkan energi ekstra untuk merumuskan
konsep-konsep, pola-pola dan sistem penjelas organisasi.
Khittah Perjuangan
Bagi HMI MPO,
Khittah Perjuangan merupakan sumber inspirasi, motivasi dan aspirasi bagi
segala aktivitas yang dilakukan oleh organisasi, serta merupakan tafsir
integral dari Asas, tujuan dan Independensi. Dan untuk melakukan studi yang
memadai, maka kita dapat membagi ke dalam dua tahapan perjalanannya sebagai
sebuah konsep. Pertama, sejak terjadinya perpecahan hingga kepengerusan PB HMI,
H.Masyhudi Muqarrabin, Periode 1990-1992. Kedua, setelah penyempurnaan hingga
saat ini.
Karateristik
dari KHittah Perjuangan pada tahap pertama, sering didentifikasi dengan
beberapa catatan seperti; muatan-muatan
pemikirannya sangat fundanetalis dan terkesan reaksioner. Hal ini menjadi absah
saja, sebagai salah satu wujud penegasan eksistensi diri-kelompok, karena: Pertama,
pengaruh gagasan-gagasan kebangkitan Islam – tepatnya fundamentalisme Islam –
cukup dominan dalam pemikiran-pemikiran kader HMI yang bergabung dalan HMI MPO.
Kedua, tekanan dari pihak-pihak eksternal, baik dari penguasa rejim
Orba naupun dari kalangan alumni HMI yang tidak setuju dengan HMI MPO, cukup
kuat dan tak bersahabat.
Sebagai
konsekuensi dari perjalanan konsepsi KHittah Perjuangan ini, dapat kita lihat
dari prilaku kader-kader awal HMI MPO, yang menemukan bentuk artikulasinya yang
berwatak fundamentalis. Sehingga, model-model interaksi dan pola-pola
perjuangan yang muncul kepermukaan menemukan bentuknya seperti halaqah-halaqah
atau usro-usro, yang memang menjadi gejala umum gerakan Islam pada masa itu.
Artikulasi
dari semagat fundamentalisme ini menjadi sangat tajam ketika semuanya mau
di-Islmamisasi-kan. Sebagai contoh: himne HMI diganti dengan mars jihad, adanya
keinginan untuk merubah tanggal kelahiran HMI dari kalender masehi ke kalender
Hijriah, istilah-stilah pun diganti, dies
natalis menjadi milad, saudara-saudari menjadi ikhwan dan akhwat, tatacara
bergaul yang dibatasi oleh hijab, pemandu akhwat tidak boleh bicara di depan
peserta ikhwan, pakaian jilbab bagi perempuan dan gamis bagi laki-laki, dan
masih banyak lagi yang lainnya.
Perkembangan
selanjutnya dari Khittah perjuangan sebagai suatu konsep, ketika memasuki
tahapan penyempurnaan, sebagai konsekuensi logis dari semakin luasnya ruang
gerak dan makin artikulatifnya potensi para kader. Sehingga diselenggarakanlah
lokakarya penyempurnaan Khittah Perjuangan di Yogyakarta. Dan selanjutnya,
untuk menjabarkan konsep ini, maka dilaksanakan pula lokakarya penyempurnaan
perkaderan di Jakarta , yang kemudian hasil-hasil
lokarya tersebut ditetapkan pada Kongres ke-19, 1992 di Semarang .[14]
Dengan adanya
Khittah Perjuangan yang baru, sebagai hasil penyempurnaan, maka dengan serta
merta nuansanyapun berbeda. Jika diperbandingkan dengan Khittah Perjuangan
sebelumnya, maka Khittah Perjuangan yang ada sekarang ini lebih komprehensif
dan tidak lagi mencerminkan karakter yang sangat fundamentalistik, apalagi
reaksioner.[15]
Terjadinya
pergeseran nuansa konsep tersebut menjadi sangat logis, karena: Pertama,
pergeseran-pergeran pemikiran di kalangan kader turut mempengaruhi cara
memahami realitas yang dihadapi oleh HMI MPO. Kedua, Karakteristik dari
gagasan-gagasan fundamentalisme yang reaksioner, terasa tidak cukup memadai
untuk memberikan jawaban solutif bagi permasalahan keummatan yang lebih
komprehensif. Ketiga, bangkitnya kembali taradisi intelektual di HMI MPO,
yang memang merupakan trade merk dari HMI sejak masa yang lalu.
Pada konteks
ini menjadi menarik untuk dikemukakan hasil riset yang dilakukan oleh Rusli
Karim dalam tesisnya , bahwa :
Akhirnya, dapatlah
ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam perjalanan
HMI MPO yang sudah memasuki usia
kurang-lebih 25 tahun ini telah menampakkan sebuah profil yang lebih
komprehensif. Warisan fundamentalisme tidak hilang sama sekali, tetapi mendapat
tafsiran baru, maksudnya, fundamentalisme yang begitu garang telah dijinakkan
oleh sebuah tradisi intelektual. Sedangkan tradisi intelektual yang begitu
liberal di HMI, mendapatkan pijakan normatif yang cukup kokoh. Paling tidak ini
tercermin dari profil prilaku kader yang cukup berakhlak tidak secara
hitam-putih, dan mereka tidak ketinggalan wacana intelektual. ***
[1] Lihat
misalnya uraian singkat dari Rifyal Ka’bah, Islam
dan Fundamentalisme, Jakarta :
Pustaka Panjimas, 1984 hal.31-32.
[2] Sulhan
Yusuf, Tanggung Jawab Kaum Muda Muslim Dan Kebangkitan Umat Islam, Medium, Edisi I, September-Oktober 1997,
hal.22
[3] Fazlur
Rahman, Islam dan Modernitas Tentang
Transformasi Intelektual, Bandung :
Pustaka, 1985, hal.150-154.
[4] Sulhan
Yusuf, of cit, hal.22-23
[5] Ibid,
hal 23.
[6] Lihat
artikel-polemik Sulhan Yusuf, Membedah Tema Gerakan Kaum Muda Mahasiswa, pada
harian Fajar, 18 Nopember 1992,
dengan M.Arief Hakim.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9]
Hasanuddin M.Saleh, HMI Dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar1996 hal.103
[10]
Syafinuddin al-Mandari, HMi dan Wacana Revolusi Sosial, Jakarta : Hijau Hitam-PSPI, 2004, hal.
[11]
Hasanuddin M.Saleh, of cit, hal.104-105
[12]
Penuturan Nurcholis Madjid ini dapat dilihat pada buku Muchridji Fauzi
(penyunting) HMI dalam Tantangan Zaman, Jakarta : Gunung Kulabu, 1990, hal.3-4.
[13] Memori
Penjelasan PB HMI DIPO dapat dilihat pada ketetapan-ketepan Kongres ke-19, 1992
di Pekanbaru, hal.141-144.
[14] lihat
Laporan pertanggung Jawaban PB HMI Periode 1990-1992, hal 43-42.
[15] Untuk
memahami substansi kandungan dari Khittah Perjuangan yang telah disempurnakan,
uraian mendalam yang merupakan tafsiran dariSuharsono dapat ditelaah lewat
bukunya HMI Pemikiran dan Masa Depan,Yogyakarta : CIIS Press, 1997, hal.73-105.
NEO-FUNDAMENTALISME ISLAM KONTEMPORER DAN ARTIKULASINYA DI INDONESIA
Diposting oleh
Sulhan Yusuf
di
04.47
NEO-FUNDAMENTALISME ISLAM KONTEMPORER DAN ARTIKULASINYA DI INDONESIA
Sesungguhnya
gerakan dan pemikiran Islam
yang ada di Indonesia
adalah memamah dari belahan
dunia Islam yang lain.
Telah
dituliskan sebelumnya, bahwa akar dari gerakan Neo-Fundamentalisme Islam
Kontemporer, berpijak pada tiga orang tokoh, yaitu; Hasan al-Banna, Sayyid Qutb
dan Abu ‘Ala al-Maududi atau dalam wujud gerakan Islam, masing-masing ;
Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Jamaat Islami di Pakistan, meski harus segera
ditandaskan bahwa semua itu baru pada gerakan yang terjadi Islam mahzab sunni,
sementara di Islam Mahzab Syi’ah akan dibahas secara tersendiri pada bagian
lain dari tulisan ini.
Sebenarnya,
amat banyak gerakan-gerakan Islam yang muncul pasca ketiga tokoh dan dua gerakan
tersebut. Misalnya, bagaimana fenomena gerakan Neo-Wahhabiyah di Saudi Arabia , yang saat ini terjadi perseteruan antara
Wahhabiyah Istana Kerajaan dan Wahhbiyah tradisionalis[1].
Demikian pula dengan faksi-faksi pentolan Ikhwanul Muslimin, atau setidaknya diinspirasi
oleh Ikhwan Muslimin, semisal gerakan Jemaah al-Jihad yang membunuh Anwar
Sadat, Presiden Mesir.[2]
Akan
tetapi dengan berbgai macam pertimbangan, diantaranya; Pertama dari sudut
pandang popularitas dan populisnya dari setiap gerakan, Kedua, karena terkait
langsung dengan tulisan ini, bagaimana artikulasi dari gerakan tersebut, baik
yang berbentuk pengaruh pemikiran maupun institusi gerakan di Indonesia . Olehnya, tulisan ini
memfokuskan pada tiga subjek gerakan yaitu; Gerakan Taliban, Hizbut Tahrir, dan
Gerakan Revolusi Islam Iran .
Meskipun dengan tetap tidak mengabaikan pengaruh gerakan Neo-Wahhabiyah dan
Ikhwanul Muslimin.
GERAKAN TALIBAN
Kehadiran
gerakan Taliban dan begitupun terdepaknya dari kekuasaan di Afganistan,
memiliki daya tarik yang luar biasa untuk dibincangkan. Betapa tidak, karena: Pertama,
gerakan ini muncul sepertinya terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga. Kedua,
kemampuannya merebut simpati rakyat Afganistan. Ketiga, mengguncang dunia,
baik di kalangan dunia Islam, terlebih lagi di Barat, karena tawaran pemikiran
yang dianggap kontroversial. Keempat, bagaimana kemudian begitu
banyak kepentingan yang bermain mata untuk memanfaatkannya demi kepentingan
nasional dari berbagai Negara. Dan, kelima
–tentu saja—begitu mudahnya gerakan ini terjungkal dari kekuasaannya, sebegitu
mudah ia merebut kekuasaan.
Benarkah
memang gerakan Taliban ini muncul secra tiba-tiba dan tak terduga? Adalah
Winston Churchill seabad yang lalu, pernah memberikan kesaksiannya dan menulis
bahwa sosok Taliban relatif dapat mudah ditemui di perbatasan Barat Laut Pakistan .
Di daerah itu bertebaran para penuntut ilmu (talib-ul-ilm) yang memiliki
hubungan dengan pelajar-pelajar teologi di Turki. Berdirinya perguruan tinggi negeri
seperti fakultas Syari’ah di Kabul University, serta madrasah-madrasah
pemerintah, tidak berarti madrasah-madrasah swasta—dimana kaum Taliban banyak
belajar—berakhir.[3]
Pada
saat perang berkobar ditahun 80-an, Taliban, sebagaimana disaksikan Oliver Ray,
ikut terjun di medan perang di daerah Uruzgan,
Zabul dan Kandahar .
Mereka bukan hanya muncul dari Afganistan namun juga dari Pakistan, yaitu dari
Partai Ulama Islam pimpinan Maulana Faslur Rahman yang menyediakan sarana
pendidikan konservatif bagi anak-anak laki-laki dari kamp-kamp pengungsi Afgan,
khususnya anak-anak dhu’afa. Pendidikan agama di sini sangat dipengaruhi oleh
mahzab Deoband (berasal dari Darul Ulum Deoband) sebuah instityusi pendidikan
yang didirikan di kota Deoband , India
pada tahun 1867. Mahzab Deoband mengajarkan agama dengan cara-cara ortodoks,
dan madrasah-madrasah yang berada di bawah pengaruhnya telah menghasilkan
sejumlah Ulama terkemuka di Afganistan.[4]
Menurut
Amin Saikal, tentang munculnya Taliban dari madrasah-madrasah Pakistan di
Wilayah Balokistan hingga ke istana kepresidenan begitu sangat jelas, yang
membingungkan adalah asal-muasal bangkitnya gerakan ini. Taliban sendiri
tampaknya tidak memiliki kepentinganuntuk memberikan klarifikasi tentang hal
ini. Versi pejabat resmi Taliban tentang sejarah asal-muiasal kemunculannya
adalah dari madrasah-madrasah sederhana di desa Singesar wilayah Maiwand,
propinsi Kandahar tempat Mohammad Omar, pimpinan Taliban, dan beberapa mantan
pejuang Mujahidin belajar.
Masih
menurut Amin Saikal bersamaan dengan adanya tingkah laku kurang simpatik dari
mujahidin dengan cara melakukan perampokan di jalan-jalan yang mereka anggap
sebagai upeti, pemerkosaan yang telah menjadi norma yang sangat menekan,
Mohammad Omar bersama tiga puluh kawan seperjuangannya akhirnya memutuskan
untuk mengangkat senjata pada tahun 1994. Dengan dibarengi oleh kemarahan
rakyat telah memuncak pada kondisi Afganistan yang makin semrawut, mereka
bangkit dari Kandahar .[5]
Perkembangan
selanjutnya dari gerakan Taliban ini adalah semakin banyaknya unsure-unsur
pendukung , yang tidak lagi sekedar berasal dari madrasah-madrasah. Pertama,
bergabungnya veteran-veteran mujahidin yang melawan soviet, yaitu Faksi
Harakat-e-Enqilab, pimpinan Nabi Mohammade. Kedua, mengakomodasi
etnis Pustun yang sekuler --yang sudah menianggalkan ideology komunisnya—begutu
juga pendukung Zahir Syah.
Ketiga,
mengakomodasi juga—setidaknya segelintir—masyarakat tertutup dari Kandahar yang disebut
“Persaudaraan Pai Luch” yang memilkimciri khas sangat spesifik. Keempat,
di hamper seluruh negeri, dan secara khusus saat petualangannya di wilayah
utara, gerakan ini membuka pintu untuk orang-orang Pustun Yang bersenjata yang
kemudian menyatakan diri sebagai Taliban. Kelima, dan ini yang sangat penting
, Taliban mendapatkan bantuan sumberdaya manusia dan finbansial dari Pakistan dan Saudi Arabia . Hal ini merubah
Taliban dari suatu gerakan yang tidak terorganisir dengan agenda yang lokal,
menjadi sebuah kekuatan politik yang terorganisir dan berusaha menguasai
seluruh wilayah.[6]
Ketika
Taliban sudah menguasasi Afganistan dan menjadi rejim yang memerintah, maka
dengan serta merta ia harus mengdapi banyak problem-problem, khususnya
hubungan-hubungan internasional dengan
Negara lain. Pada saat demikianlah amat banyak Negara dengan berbagai macam
kepentingan dan agenda nasionalnya masing-masing, masuk bertarung untuk
memperebutkan hegemoni terhadap penguasa Taliban.
Disamping
Pakistan dan Saudi Arabia yang mermang sejak awal mendukung penguasa Taliban,
maka Negara-negara seperti Amerika Serikat dengan kepentingan dan agenda
perdagangan narkotik serta saluran pipa minyak misalnya, atau Iran yang
kebanjiran pengungsi dari orang-orang Afgan juga kebijakan Iran yang ingin
membangun pengaruh kultural, serta Rusia dan beberapa Negara di Asia Tengah
yang tetap ingin mempertahankan status quo pasca bubarnya Uni Sovyet.[7]
Lalu apa yang
menarik dari pemikiran maupun persepsi atau cara pandang tentang Islam dan
realitas sosialnya – yang menyebabkan pula Taliban bias dikatagorikan sebagai
gerakan Fundamentalis—saya kutipkan penuturan Mustafa Abdurrahman, seorang
jurnalis dan wartawan kompas yanmg sempat mewawancarai juru bicara Taliban,
Mullah Amir Khan Muttaqi:
“…Program kami adalah mempraktikkan hukum Islam di
seluruh Afganistan dan membasmi komunis dengan segala bentuknya di negeri ini…Betul,
belajar dan bekerja adalah hak wanita dan lelaki muslim. Tetapi bagi kami dan
gerakan Taliban, wanita harus mengenakan pakain Islami. Dan adalah hak wanita
Afganistan menuntut ilmu, tetapi yang inginkan wanita-wanita itu belajar sesuai
tuntunan syariah dan ajaran Islam… Kami sebetulnya juga butuh wanita untuk
bekerja di sektor tertentu seperti di rumah sakit sebagai dokter atau bidan,
dan bekerja di Bandar udara untuk melakukan pemeriksaan atas
penumpang-penumpang wanita.”
Saya kutipkan
juga laporan kesaksiannya ketika berada di Kabul :
“…Kebetulan hari jumat, 28 Maret 1997 merupakan hari
libur resmi di Afganistan. Jalan-jalan kota Kabul sangat lengang, tak
ada hiruk pikuk lalu lintas kendaraan. Pemandangan yang mencolok hanya sepeda-sepeda
yang ditunggangi oleh warga Afgan yang rata-rata berjenggot panjang. Sesekali
terlihat kaum wanita Afgan yang berpakaian cadar. Di pusat kota , dimana terdapat pasar tersbesar,
kawasan D’Afganon, kehidupan terasa monoton. Hanya terdapat gerombolan manusia
melakukan transaksi jual-beli antar mereka, tetapi tak kedengaran sama sekali
suara gebyar-gebyarnya musik di toko-toko atau penjual kaki lima seperti layaknya pasar-pasar di negeri
lain…Lagu-lagu masih sempat terdengar dari dalam taksi yang sedang lewat, namun
Cuma suara-suara tanpa diiringi musik. Asslamu …alaikum…Basmallah…basmallah …
adalah kaset yang harus sering dibunyikan…Ukuran panjang jenggot baru bisa
dikatakan memenuhi syarat, kalau ujung jenggot itu bisa menyentuh dasar gelas.
Jadi tidak hanya sekedar jenggot. Taliban akan menjatuhkan hukuman cukup besar
kepada warga Afgan yang terlihat tidak memelihara jenggot… kendaraan harus
berhenti diwaktu waktu shalat…Meski demikian, keamanan pada masa Taliban
dirasakan sangat baik.”[8]
Akhirnya, peristiwa 11
sepetember yang merupakan awal dari terjungkalnya rejim Taliban di Afganistan.
Dengan alasan penguasa Taliban melindungi dan menjadikan tamu terhormat Osama
bin Laden, tersangka utama peristiwa itu, Amerika Serikat menginvasi Taliban.
Dan, sudah dapat dipastikan penguasa Taliban tak berdaya menahan invasi itu,
meski dengan seruann jihad telah dikeluarkan. Rejim Taliban pun jatuh, dan
Afganistan saaat ini dengan pemerintahan yang baru hadir di bawah control
Gedung Putih di Washington, Amerika Serikat.
HIZBUT TAHRIR
Sudut pandang
terpenting dari perlunya membahas gerakan Hizbut Tahrir, dikarenakan oleh
paling tidak ada tiga hal yang melatarinya. Pertama, Gerakan ini masih
merupakan kelanjutan dari gerakan-gerakan Islam sebelumnya yang dianggap gagal.
Kedua,
sikap kritis terhadap dunia Islam yang terpoecah belah. Ketiga, tawaran pemikiran
solutif berupa tegaknya kembali Daulah Khilafah Islamiyah.
Hizbut Tahrir
sebagai salah satu gerakan Islam yang muncul, dibidani oleh salah seorang tokoh
gerakan Islam yang cukup berpengaruh yaitu Syekh Taqiuddin An-Nabhani
(1909-1977), dan dapat pula dikatakan bahwa dari pemikiran-pemikiran tokoh
inilah Hizbut Tahrir sebagai partai politik Islam, mengadopsi untuk menegaskan
eksistensinya. Sehingga banyak pengamat mengambil kesimpulan bahwa Hizbut
Tahrir identik dengannya.
Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani, berasal dari kabilah Bani Nabhan, satu kabilah Arab
penghuni padang sahara di Palestina, yang
bermukim di daerah Jizim, wilayah Haifa ,
Palestina Utara. Latar belakang pendidikan yang pertama kali membentuknya
adalah dalam lingkungan keluarganya sendiri. Dan selanjutnya, pendidikan
formalnya dimulai dari pendidikan dasar hingga ke jenjang pendidikan tinggi di
Al-Azhar Mesir[9].
Pada tahun
1953, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mempublikasikan berdirinya Hizbut Tahrir di
Yordania, dimana beliau bertindak
sebagai pimpinan, yang didampingi oleh Dawud Hamdan sebagai Wakil pimpinan
merangkap sekretaris, Ghanim Abduh Sebagai bendahara, Dr. Adil an-Nablusi dan
Munir Syakir masing-masing sebagai anggota. Dan seperti yang bisa diduga,
pemerintah Yordania tidak merestui pendirian dan publikasi itu, sehingga Hizbut
Tahrir pun dilarang dan tidak boleh melakukan aktivitas. Karenanya, perjuangan
rahasiapun menjadi pilihan alternatif untuk tetap menjaga kelangsungan
gerakannya.[10]
Hizbut Tahrir
adalah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan aktivitasnya,
dan Islam adalah mabda-nya, yang
bergerak di tengah-tengah umat, dan bersama-sama mereka berjuang untuk
menjadikan Islam sebagai perkara utamanya, serta membimbing mereka untuk
mendirikan kembali sistem Khilafah
dan menegakkan hukum berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah di dalam
realita kehidupan ini.[11]
Dalam
pandangan Hizbut Tahrir, paling tidak ada empat penyebab kemorosotan umat
Islam. Pertama, transfer filsafat-filsafat India, Persia dan Yunani,
serta adanya upaya sebagaian kaum Muslim untuk mengkompromikannya dengan Islam,
meskipun diantara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar. Kedua,
adanya manipulasi ajaran Islam oleh orang-orang yang membenci Islam, berupa
ide-ide atau hukum-hukum yang sebenarnya tidak bersumber dari Islam, dengan
tujuan merusak citra Islam dan menjauhkan kaum Muslim dari Islam.
Ketiga,
diabaikannya bahasa Arab dalam memahami dan melaksanakan ajaran Iaslam, disusul
kemudian dengan dipisahkannya dari Islam pada abad ketujuh Hijriah. Padahal
agama Islam tidak mungkin dapat dipahami tanpa bahasa Arab. Keempat,
serangan missionaris dan Tsaqafah (kebudayaan
asing), yang disusul dengan serangan politis negara-negara kafir Barat yang
berlangsung sejak abad ke-17 M.[12]
Meskipun sudah
ada usaha dari gerakan-gerakan Islam untuk membangkitkan kembali Islam, namun
dalam pandangan Hizbut Tahrir, semuanya mengalami kegagalan dikarenakan oleh
faktor-faktor: Pertama, tidak
adanya pemahaman yang rinci mengenai fikrah dari pihak-pihak yang berupaya
membangkitkan kembali umat. Kedua, tidak adanya kejelasan bagi
mereka mengenai thariqah Islam dalam
menerapkan ide-ide dan hukum-hukum Islam dalam bentuk gambaran yang jelas dan
sempurna.[13]
Hizbut
Tahrir sendiri sebagai gerakan Islam, mengemukakan tujuannya, yakni tegaknya Daulah Islam yaitu Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah yang diangkat
dan dibai’at oleh kaum Muslim untuk didengar dan ditaati, dan agar dapat
menjalankan pemerintahannya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Sehingga dapat mengembalikan posisi masa kejayaan dan kemuliaan umat Islam, dan
memimpin umat Islam menyampaikan hidayah
serta menentang ide-ide, sistem perundang-undangan kufur maupun kekufuran itu
sendiri.[14]
Dikarenakan
oleh tujuan akan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah unrtuk seluruh dunia, maka
Hizbut Tahrir tidak membenarkan kaum Muslim untuk bergabung dengan berbagai
organisasi dan pakta-pakta regional, seperti Liga Arab, OKI, Pakta Pertahanan
bersama, dsbnya. Sebab, jenis oraganisasi inilah yang menyebabkan abadinya
perpecahan negeri-negri Muslim, sekaligus menghalang-halangi bersatunya kaum
Muslim di bawah naungan satu Negara, yaitu Negara Khilafah Islam.[15]
Runtuhnya
Khilafah Islamiyah di Tuirki, sebagai akibat dari keputusan yang diambil oleh
Majelis Tertinggi Turki untuk menghapuskan kekhalifahan pada Maret 1924, maka
dengan serta merta kaum Muslim terpecah-pecah dalam berbagai Negara Bangsa.
Maka yang terjadi kemudian adalah, munculnya semangat-semangant nasionalisme
sari setiap bangsa-bangsa Muslim, semisal Nasionalisme Mesir, Irak, Indonesia,
Nigeria, Arab dan lain sebagainya. Gagasan-gagasan Nasionalisme inipun
dicarikan justifikasinya dalam doktrin-doktrin Islam,-- sehingga harapan akan
lahirnya suatu konsep perjuangan pembebasan dari kolonialisme Barat—yaitu
Nasionalisme Islam. Karenanya, muncullah slogan akan perlunya dunia Muslim
untuk membangun Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Insaniayh dan Ukhuwah Wataniayah.
Gambaran
realitas tersebut telah sangat mengkristal, sehimgga amat relevan untuk
mengemukakan pandangan dari Dale F. Eickelman dan James Piscatori, tentang
keterpecahan kaum Muslimin dan eksistensi dari Hizbut Tahrir dalam masalah ini.
Saya kutipkan pandangannya :
Begitu
telah mendarah dagingnya bagian-bagian ini (perpecahan dalam bentuk
nasionalisme dan kelompok, pen.) sehingga, untuk sebagian
besar, kelompok Islamis tidak pernah menyerukan restorasi kekhalifahan.
Sebaliknya, mereka berusaha menetapkan sebuah Negara Islam atau tatanan Islam
di dalam masyarakat nasional mereka sendiri. Bagaimanapun, perkecualian utama
dari pola ini adalah Hizb Al-Tahrir AL-Islami (Partai Pemebebsan Islam) yang
muncul dari gerakan Ikhwanul Muslimin di Yerussalem pada 1952. Pemimpinnya Taqi
Al-Din Al-Nabahani (1905-1977), meyakini
bahwa hanya dengan penciptaan ulang suatu Negara Islam jalan hidup
Muslim dapoat membebaskan dirinya dari pengaruh buruk imperialisme politik dan
budaya Barat. Dan hanya dengan perbaikan, kekhalifahan Negara Islam akan dapat
memelihara dirinya sendiri melawan kekuatan-kekuatan pemecah dari imperialisme,
nasionalisme, dan sekularisme. Karena restorasi kekhalifahan merupakan “kewajiban bagi seluruh Muslim di dunia”,
maka mendesak bagi dilaksanakannya agitasi politik, dan Hizb Al-Tahrir menjadi
partai barisan depan yang akan memajukan revolusi kekhalifahan. Istilah partai
“barisan depan” ini muncul sebagai basis dari deklarasi Groupe Islamicue Armee
(GIA) di Aljazair yang mengumumkan bahwa ia telah menetapkan kembali
pemerintahan kekhan pada Agustus 1994.[16]
Selanjutnya penting juga
dikemukakan catatan khusus yang diberikan oleh Dale F. Eickelman dan James
Piscatori, saya kutipkan :
Hizbut Al-Tahrir telah menjadi gerakan transnasional,
beropertasi di wilayah Palestina, Yordania, Jazirah Arabia, Maghrib, Inggris,
dan mungkinn juga Malaysia dan
Indonesia, di antara tempat-tempat lain. Sejak 1980-an, ia telah aktif secara
khusus di kampus-kampus universitas di Inggris, dan ia menerbitkan sebuah
majalah berkala, Al-Khilafah Magazine, di London. Maksudnya barangkali untuk
merekrut mahasiswa-mahasiswa Muslim di Inggris yang suatu ketika, di tanah air
mereka, akan menyebarkan pesannya, termasuk permusuhan yang tidak teredakan
terhadap proses perdamaian Arab-Israel. “Konfrensi Khilafah Muslim
Internasional” diselenggarakan pada Agustus l994 di Stadion Wembley, menarik
sejumlah besar Muslim dan wakil-wakil kelompok Muslim dari seluruh
dunia—menyulut reaksi permusuhan dari media Inggris dan Barat, yang memandang konfrensi
itu sebagai benar-benar rapat “fundamentalis” internasional, dan sebagai topeng
bagi kelompok kekerasan dalam politik.[17]
GERAKAN REVOLUSI ISLAM IRAN
Makna terdepan
yang harus dipahami atas kehadiran dan keberhasilan Revolusi Islam Iran
adalah: Pertama, terkuaknya bagian dari sisi lain dunia Islam, yaitu
Islam Mahzab Syi’ah, yang selama ini lebih banyak disalahpahami karena tidak
adanya gambaran yang komprehensif. Kedua, disetujui atau tidak,
revolusi ini memberi pengaruh terhadap dunia Islam pada umumnya, baik pada
tataran pemikiran-intelektualisme maupun bangkitnya rasa percaya diri umat
Islam. Ketiga, karena berdapan langsung dengan Amerika dan bonekanya –
rejim Reza Pahlevi—dan mendepak dari singgasana kekuasaan. Dan hingga saat ini
masih menjadi penentang hegemoni Amerika. Keempat, revolusi ini melahirkan
sebuah pemerintahan Islam – Wilayah Faqih--, yang paling tidak memberikan
wacana tersendiri akan wujud sebuah pemerintahan Islam. Kelima, bagaimana
kemudian setelah pemerintahan Islam ini berjalan dan selanjutnya terjadi
perseteruan antara kubu konservatif dan reformis.
Syi’ah adalah
salah satu mahzab atau aliran dalam Islam, di samping Sunni, yang hingga saat
ini masih merupaklan bahan studi yang menarik bagi banyak kalangan. Apalagi
studi yang memadaiterhadap Islam Syi’ah, belumlah mendapat tempat yang
proporsional. Sehingga, terkadang Syi’ah ketika dijelaskan lebih banyak
dirugikan, disesatkan atau paling tidak direduksi maknanya dalan kerangka sudut
pandang Sunni.
Aqidah yang
menyimpang, rasionalisme Islam, teologinya sama dengan Mu’tazilah, adalah
hal-hak yang seringkalui dinisbahkan kepada Syi’ah. Padahal, Syiah sebagai satu
aiatem ajaran (baca:mahzab), sebagaimana Sunni memuat ajaran-ajaranyang
terwujud kemudian dalam bidang teologi, filsafat, gnostik (tasauf), dan fiqh.
Atau jika Sunni yang dijadikan patokan dalam melihat Syi’ah, maka bidang
kajian apapun yang ada di Sunni, juga
ada pada Syi’ah, meskipun terdapat perbedaan-pertbedaan.
Begitupun
juga, melakukan penyeragaman terhadap Syiah dalam hal studi, yang kemudian
melahirkan cara pandang dan penyikapan, adalah hal yang keliru. Sebab, menurut
Haidar Bagir, jika kita nmenyebut Syi’ah, kita harus bertanya lebih jauh :
Syi’ah yang mana? Maka kita pun harus menyebut mazhab-mazhab yang lebih
spesifik, plus belasan sekte sempalannya. Bahkan pun jika kita sebut yang
paling besar, Isna ‘Asyariyyah, kita masih dihadapkan pada berbagai
pengelompokan lagi. Misalnya, yang tradisional (messianistik dan ritual) dan
yang modernis progressif, atau yang serba religius-mistis dan
sosialis-transformatif, bahkan agak “Wahhabi’.
Belum lagi
jika kita masukkan sekte-sekte yang ditolak oleh mainstream Syi’ah, lebih-lebih
pendapat individual yang entah menyempal dari yang lazim atau malah sama sekali
dianggap keliru oleh mereka sendiri. Padahal, perbedaan internal di kalangan
Syiah sendiri amatlah kaya, sehingga Syi’ah bukan merupakan suatu entitas yang
monolitis.[18]
Gerakan
Revolusi Islam Iran, sebagai salah satu representasi dari gerakan Islam di
dalam dunia pemikiran Islam Syi’ah, -- yang berkenaan dengan pembahasan fundamentalisme
dan neo-fundamentalisme Islam-- akar gerakannya, bisa dilacak juga pada persentuhannya dengan kolonialisme dan
absolutisme. Gerakan anti tembakau dan gerakan konstitusi merupakan perwujudannya.
Perlawanan
terhadap kolonialisme dan absolutisme, merujuk pada penututaran Murtadha
Mutahhari – salah seorang pemikir garda depan revolusi Islam Iran yang syahid beberapa waktu
seteleh revolusi —bahwa semua gerakan-gerakan ini dilakukan di bawah pimpinan
keagamaan Syiah, yang telah membuat rencana reformasi serta cara penerapannya.
Gerakan tembakau diinisiatifkan oleh ulama dibawah pimpinan Hirza Hasan Syirazi
hingga mencapai hasil yang sempurna. Sedangkan gerakan konstitusi dimulai pertama-tama oleh Muhammad Kazim
Khorasani dan Syekh Abdullah Mazandarani di Najaf dan kemudian disertai oleh
dua tokoh keagamaan dari Teheran, yaitu Sayyid Abdullah Bebhahaani dan Sayyid
Muhammad ThabatabaI. Tokoh-tokoh lain yang cukup berpengaruh – sebagai peletak
pandangan falsafah rencana reformasi ide-ide yang orisinil—diantaranya;
Ayatollah Borujerdi, Syekh Nuhammad Husain Kasyful Githa, Muhsin Amuli, Sayyid
Syarafuddin Amuli dan di atas semuanya , Allamah Naini.[19]
Namun,
terkait langsung dengan suksesnya Revolusi Islam Iran , nama Ayatollah Ruhullah
Muosavi Khomaeni, atau lebih popular dengan sebutan Imam Khomaeni adalah
ikonnya revolusi tersebut. Sebab, di samping memang sang Imam lah yang menjadi
motor penggeraknya, juga fikiran-fikirannya banyak yang mempengaruhi konsepsi
pemerintahan Islam yang kemudian berlaku di Republik Islam Iran , dengan model pemerintahan Wilayatul Faqih.[20]
Meskipun
nama-nama semisal; Murtdha Mutahhari, Sayyid Ali Khamenei, Javad Bahonar, Hussaeni
Bahesti dan beberapa lagi nama lainnya dari kalangan ulama, juga beberapa nama
seperti; Ali Syari’ati, Abol Hasan Bani Sadr, Bazargan, Sodeg Gotbzadeh dari
kalangan intelektual amat sangat berperan dalam revolusi yang spektakuler itu.
Rejim
Syah Reza Pahlevi yang begitu kuat, begitu ditakuti, memiliki angkatan
bersenjata yang sangat diosegani, pernah mendikte dunia dengan pompa minyaknya,
memiliki agen rahasia, Savak, yang beroperasi untuk membunuh lawan-lawan Syah,
kemudian terjungkal oleh sebuag revolusi rakyat, revolusi yang disemangati olewh
semangat Islam. Amat menarik gambaran nasib Syah Reza Pahlevi sebagai sasaran revolusi
itu di sajikan, mari kita ikuti penuturan dari William Shawcross:
Syah Iran Mohammad Reza Pahlavi, penguasa Takhta Merak
yang mengklaim diri sebagai keturununan langsung Darius Agung pendiri
Persopolis, akhirnya didepak oleh rakyatnya sendiri. Betapa tidak, istananya
yang serba fantastis menjadi ajang penjajaan pengaruh dari permucikarian.
Korupsi tumbuh subur dan kesewenang-wenangan dijadikan norma. SAVAK, penyangga
utamakekuasaan syah, setiap saat menebar terror ke segenap penjuru negeri.
Bukan hanya itu, Amerika Serikat dan Inggris, dua sahabat lama Syah, yang
belakangan menilainya sebagai kartu mati, bahkan ikut turut ambil bagian dalam
menyeret sang despot ke jurang kehancuran. Dari seorang Raja Diraja, yang
terbiasa bergelimang kemewahan dan selalu mendapatkan segala yang diidamkan,
Syah, pelanggan setia rumah pelesiran Madame Claude itu, menjadi pengelana
tanpa rumah tanpa teman. Baginya sejarah adalah tangga, bukan roda. Sebagaimana
manusia, ia menjadi bukan apa-apa… Kemudian, bagaimana Ayatullah Khomaeni yang
pada awalnya Cuma ‘suara lirih di hutan belantara’ itu berhasil menjadi tokoh
sentral dalam sebuah revolusi dahsyat yang sulit dipahami dari sudut pandang
rasional.[21]
Kesuksesan revolusi Islam di
Iran, bukan saja berhenti pada tahapan mendepak Syah, tetapi perkembangannya
kemudian adalah, bagaimana penguasa baru ini berhadap-hadapan langsung dengan
Amerika Serikat. Setan Besar adalah julukan yang diberikan untuk Amerika
Serikat, yang hingga saat ini perseteruan antara Republik Islam Iran
dan Amerika Serikat beserta sekutunya, masih berlangsung. Sebab, bagi Amerika
dan Sekutunya , Iran adalah ibarat duri dalam
daging di kawasan Teluk atau Timur Tengah.
Bagi
dunia Islam, dampak dari revolusi ini paling tidak menelurkan dua penyikapan. Pertama, bagi Negara-negara Islam yang
penguasanya sangat despotic, atau rejim-rejim monarkhi di berbagai Negara
Islam, menganggap revolusi Islam Iran ini sebagai ancaman, karena ketakutan
akan pergolakan rakyat yang menentang penguasa, apalagi jika Iran melakukan
‘ekspor revolusi”. Kedua, bagi gerakan-gerakan Islam yang tumbuh subur di berbagai
Negara-negara Islam, menganggap bahwa revolusi ini adalah energi baru, paling
tidak dampaknya semakin tumbuhnya rasa
percaya diri bagi kalangan pergerakan Islam, baik dalam makna spiritual maupun
pemikiran-intelektual.
Revolusi
Islam Iran ,
yang puncaknya jatuh pada tanggap 12 Februari 1979, kini usianya sudah 25 tahun.
Perjalanan revolusi itu sendiri, yang sudah melahirkan pemerintahan sebagaimana
yang sementara berjalan, mempunyai dinamika tersendiri. Rupanya, agenda
perseteruan antara kaum repormis dan konservatif adalah salah satu bentuk dari
dinamika itu. Hadirnya persaeteruan itu, sesungguhnya hanya membuktikan bahwa
di Iran
sebenarnya ada demokrasi, dimana kebebasan berpendapat punya tempat. Dan
perbedaan pandangan di Iran ,
bukanlah suatu hal yang tabu dan baru, sebab di awal-awal revolusi pun sudah
terjadi.
Bagaimanapun
bentuk dinamika perseteruan itu, antara yang reformis dan konservatif, tetapi
bagi Amerika Serikat, tetap saja sebagai Negara fundamentalis, Negara yang
dituduh sebagai Negara poros setan. Karena memang sudah dapat dipahami bersama,
bahwa fundamentalis tidaknya suatu Negara, kelompok atau sosok-figur, amat
bergantung pada apa ia meladeni klepentingan nasional Amerika dan sekutunya.
ARTIKULASI FUNDAMENTALISME
Fundamentalisme Islam -- baik yang pra-modern maupun
neo-fundamentalisme kontemporer -- yang
perkembangannya telah dipaparkan, sesungguhnya, telah menemukan artikulasinya di Indonesia .
Hal tersebut disebabkan oleh: Pertama , Indonesia sebagai salah satu negara
yang jumlah penduduknya mayortitas Muslim, dan terbesar di dunia. Kedua , Indonesia
selalu menjadi lahan yang subur untuk tumbuhnya pemikiran-pemikiran Islam yang
baru, sebagai konsekuensi dari belum adanya pemikiran Islam yang bersifat
kontekstual ala Indonesia .
Dengan
demikian, fundamentalisme pra-modern misalnya dapat pula ditemukan artikulasinya
di Indonesia , berupa munculnya gerakan-gerakan revivalis.
Lahirnya ormas-ormas Islam, meskipun tidak sama sebangun dengan apa yang
berkembang di daratan jazirah Arabia dan Timur Tengah pada umumnya, telah cukup
membuktikan bahwa geliat fundamentalisme
pra-modern cukup berpengaruh di Indonesia. Munculnya gerakan Padri di Sumatera,
lahirnya Muhammadiyah, Persis dan Al-Irsyad, adalah perwjudannya.
Sementara
itu untuk melihat geliat pengaruh dari gerakan neo-fundamentalisme kontemporer,
dapat ditelusuri jejaknya sekitar tahun 1980-an. Pemikiran-pemikiran dari
tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin, semisal Imam Hasan al-Banna, Sayyid Qutb,
Muhammad Qutb dan masih banyak lagi, atau dari
Jamaat Islami, seperti Abu ‘ala al-Maududi adalah hal yang mudah
dijumpai dan mendapat respon dari kalangan intelektual muslim, terlebih lagi di
kalangan kaum muda-mahasiswa muslim.
Begitupun
juga, pemikiran dari Syekh Taqiuddin an-nabhani, tokoh gerakan Islam dari
Hizbut Tahrir, mendapat respon yang
cukup apresiatif. Terlebih lagi pengaruh dari revolusi Islam di Iran, tidak
saja menguak perspektif baru tentang mahzab Islam Syi’ah, tetapi juga pemikiran
dari para motor penggerak revolusi ditelaah, semisal pemikiran Imam Khomaeni,
Murtadha Mutahhari, Ali Syariati, Sayyid Ali Khamenei, Jawad Bahonar, Hussaeni
Bahesti, dll.
Atau
perkembangan yang lebih mutakhir lagi, model-model pemikiran dan prilaku yang
diusung oleh gerakan Taliban, amat mudah dijumpai saat ini. Gerakan Salafi dan
yang sejenisnya, paling tidak memberikan indikator bahwa cara berfikir dan
bertindak gaya Taliban—misalnya pemeliharaan
jenggot, pemakaian cadar, dan pelarangan musik-- ada kesamaannya di Indonesia
Tetapi,
setelah terjadi reformasi – hal mana kaum fundamentalis ini pun punya
kontribusi ikut menumbangkan rejim otoriter despotik Orde Baru—seperti saat
ini, maka gaya
dan irama pergerakannya secara kelembagaan telah tampil kepermukaan. Sehingga,
model-model instutusi gerakan Islam itu lebih tanpak, mulai dari yang berbentuk
partai politik, ormas maupun yayasan-yayasan.
Tampilnya
Partai Keadilan, yang kemudian berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
lahirnya Hizbut Tahrir Indonesia, dan beberapa yayasan yang mengklaim diri
sebagai yayasan Salafiah, untuk sekedar menyebut contoh saja, – yang kesemuanya dari kalangan Sunni – adalah
bentuk-bentuk artikulasi baru dari sudut pandang instutusional-kelembagaan.
Sedangkan
kelompok-kelompok yang mengkhususkan diri untuk mengkaji mahzab Syi’ah pun
bermunculan di berbagai daerah di Indonesia . Mulai dari model-model
Kelompok Studi, Pesantren, Yayasan-Yayasan sampai pada pembentukan ormas. Untuk
sekedar menyebut contoh, misalnya; Yayasan Mutahhari di Bandung, Pesantren Al-Hadi di Pekalongan,
YAPI di Bangil, Yayasan Al-Ishlah di Ujung Pandang dan di Jakarta sendiri
paling tidak ada sekitar 25 lembaga yang khusus mengkaji doktrin-doktrin Syiah.[22]
Ormas Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) setidaknya juga diinspirasi
dari pemikiran Syi’ah, meskipun oleh pendirinya, Dr. Jalaluddin Rakhmat
mengatakan: “Silahkan masuk IJABI tanpa harus jadi jamaah Syi’ah”[23]
Melihat keragaman
gerakan-gerakan fundamentalisme Islam di Indonesia seperti di atas,
sesungguhnya merupakan potensi yang sangat besar untuk menggairahkan
kebangkitan Islam di tanah air, tetapi amat disayangkan karena hadirnya
gerakan-gerakan Islam ini tidak dibarengi dengan kesiapan berplural –pluralisme
Islam menuju universalisme Islam--, bahkan sebaliknya perpecahan lebih dominan
diantara mereka. Antara sesama kelompok gerakan yang berbasis Sunni, maupun
juga yang sama-sama berbasis Syi’ah, belum lagi antara kelompok gerakan Sunni
dan Syi’ah. Kelihatannya butuh waktu yang panjang untuk hadirnya toleransi
uintuk siap berplural, atau tidak sama sekali.***
[1] Lihat
reportasi yang disajikan oleh Faiz Manshur, Radikalisme Wahhabi Mengguncang
Takhta, dan juga reportase Banani Bahrul-Hassan, Akhir Sebuah Fatwa Takfir,
dalam majalah Syir’ah,
no.26/III/Januari 2004, hal. 38-44.
[2] Hasil
penelitian yang memadai dari Jemaah al-Jihad, adalah apa yang telah dilakukan
oleh Hassan Hanafin, yang kemudian dimuat dalam bukunya yang berjudul, Aku Bagian Dari Fundamentalisme Islam, Yogyakarta,
Islamika, Cet.I,2003,hal.225-324.
[3] William
Maley (ed), Taliban dan Multi Konflik Di
Afganistan, Jakarta ,
Pustaka Al-Kautsar, Cet.I,1999,hal.29
[4]
Ibid,hal.29
[5] Ibid,
hal.55
[6] Ibid,
hsl 29-30
[7] Ibid, hal.101-137
[8] Mustafa
Abd.Rahman, Afganistan di Tengah Arus
Perubahan, Jakarta :
April 2002, hal.2-6.
[9] Ihsan
Samarah, Syaikh Taqwiyuddin an-Nabhani,
Bogor : Juli
2003, hal. 10-15.
[10] Ibid,
hal .28-32
[11] Hizbut
Tahrir, Mengenal Hisbut Tahrir, Bogor : Pustaka Thariqul
Izzah, Cet.III Oktober 2002, hal.1.
[12] Ibid,
hal.10.
[13] Ibid,
hal. 11-13.
[14] Ibid,
hal.19-20.
[15]
Ibid,.hal.118
[16] Dale F.
Eickelman, Ekspressi Politik Muslim, Bandung :
Mizan, Sep. 1998, hal.161-162.
[17] Ibid,
hal.200.
[18] Sulhan
Yusuf, Syi’ah: Zaidiyah, Ismai’liyyah dan Istna ‘Asyariyyah, makalah yang
dipresentasikan pada Program Pasca Sarjana, Stuidi Pemikiran Islam,
UMI-Makassar, 1999.
[19] Murtdha
Mutahhri, Gerakan Islam Abad XX, Jakarta : Beunebi Cipta,
1986, hal.90-93
[20] Untuk
studi yang mendalam mengenai konsepsi Wilayatul Faqih dapat ditelaah lewat buku
Iamam Khpmaeni, Sistem Pemerintahan Islam,
Jakarta : Pustaka Zahra, 2001 juga bias ditelaah
bukunya Abdulaziz A. Sachedina, Kepemimpinan
Dalam Islam Perspektif Syi’ah, Bandung :
Mizan, 1991.
[21]
Deskripsi mendalam dari kejatuhan Syah ini telah ditulis oleh William
Shawcross, Perjalanan Terakhir Syah
Runtuhnya Takhta Merak, Jakarta :
Graffiti, 1992. Juga bisa dibaca pada la[poran jurnalisnya Nasir Tamara, yang
ikut rombongan Imam Khumaeni dari Perancis ke Teheran, yang ditulisnya dalam
buku Revolusi Iran, Jakarta : Sinar Harapan, 1980.
[22]
A.Rahman Zainuddin (ed), Syi’ah Dan
Politik Di Indonesia Sebuah Penelitian,
Bandung : Mizan,
Agustus 2000, hal.33
[23]M etro, Bandung , Minggu 2 Juli 2000, No.129 Tahun I. Lihat juga laporan jurnalis berkaitan dengan deklarasi
pendirian IJABI, Gamma,5-11Juli 2000,
Gatra , 15 Juli 2000 dan Tekad, No.36/Tahun II,10-16 Juli 2000.
Langganan:
Postingan (Atom)