IQBAL: SANG RAUSHAN-DHAMIR
Oleh Sulhan Yusuf
(Direktur Paradigma Insitut Makassar)
Kurang lebih 75 tahun yang
lalu, Muhammad Iqbal seorang pemikir, penyair dan sekaligus filosof dari
India-Pakistan, pernah bersabda; I
have no need the ear To-Day. I am the voice of the poet of To-morrow (Aku
tak butuh telinga angkatan kini. Aku suara penyair masa akan datang). Mengapa
Iqbal berharap pada generasi masa depan untuk mendengar sabdanya, dan masihkah
sabda-sabda itu relevan dengan kekinian kita, dan lebih dari itu, adakah kita
salah satunya dari sekian banyak orang yang mampu mendengarnya?
Sir Muhammad Iqbal lahir
pada 9 Nopember 1877 di Sialkot dan wafat di saat puncak kemashurannya pada 21
April 1938 di Lahore. Sialkot merupakan kota yang terletak di perbatasan Punjab
dan hanya beberapa mil dari wilayah Jammu dan Khasmir, yang saat ini menjadi
lahan sengketa antara India dan Pakistan. Masa kana-kanak Iqbal sama dengan
anak-anak kelas menengah miskin pada umumnya, suka berolahraga, menyukai ayam
hutan, burung merpati, yang hingga akhir hayatnya, masih memeliharanya.
Intelektualisme Iqbal,
khususnya bakat kepenyairannya mulai terasah ketika mulai bersekolah di Scoth
Mission College dengan memilih studi ilmu-ilmu humaniora. Apalagi setelah
bertemu dengan Sayyid Mir Hasan
(1844-1929)—yang mampu mengingat di luar kepala ribuan syair para empu
kesusastraan Arab, Parsi dan Urdu -- seorang guru yang pertama kali menemukan
bakat puitis Iqbal. Dan pada tahun 1895, oleh guru dan orang tuanya mengirim
Iqbal ke Government College di Lahore.
Di usia 20-an tahun,
reputasi kepenyairan Iqbal sudah menjadi sorotan publik, apatah lagi ketika
bertemu dengan salah seorang gurunya Sir Thomas Arnold, yang dikemudian hari
cukup banyak mempengaruhi pemikiran Iqbal. Dari guru inilah Iqbal banyak
mendapat pengetahuan yang luas tentang
filsafat Barat dan pengertian mendalam atas kebudayaan Islam dan
Kesusteraan Arab. Dari perpaduan pengetahuan Timur-Barat inilah yang membantu
perkembangan intelektual Iqbal.
Selanjutnya, Eropa menjadi
tujuan Iqbal. Ia belajar di Inggris dan Jerman. Di London masuk pada Lincoln’s
Inn untuk gelar pengacara, dan Trinity College, serta di Cambridge Unibersity
untuk sarjana Muda. Pada saat yang sama Iqbal juga menyiapkan desertasi doktor
bidang filsafat di Universitas Munich Jerman, sebagai kelanjutan dari gelar
master yang telah diraih pada Universitas Punjab di Lahore. Desertasi doktor di
Munich ini mengkaji “Perkembangan Metafisika Persia”.
Ada keputusan sangat penting dari Iqbal ketika di
Eropa, yakni mengubah karya-karya, puisi-puisinya dari bahasa Urdu menjadi
bahasa Parsi. Meskipun karya-karya berbahasa Parsi Iqbal itu tidak sama dengan
karya Parsi Kontemporer, dan kaum modernis Iran pun membaca bukan karena
keindahan ekspressinya. Alasan utama
dibalik keputusan itu adalah karena bahasa Parsi menjadi salah satu bahasa
pengetahuan dalam dunia Islam. Dan dari sinilah kemudian karya-karya Iqbal
banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia Islam.
Karya-karya Iqbal
Reputasi Iqbal sebagai pemikir, penyair, dan
sekaligus seorang filosof tidak diragukan lagi hingga saat ini. Tidak kurang
dari seorang Sayyid Ali Khamenei (pemimpin spiritual Iran) memberikan
apresiasinya pada saat penyelenggaraan seminar untuk menghormati Iqbal di Iran.
Khamenei berkata: ...terus terang saya
akui inilah hari yang paling berbahagia dalam hidup saya. Melalui puisi-puisi
dan ajaran filsafatnya terhapuslah hari-hari mendung dari kita, dan sebuah
gambar masa depan yang cerah tampak di hadapan kita.
Masih menurut Khamenei, bangsa kita adalah rujukan
utama, namun sayangnya kita terlambat mengenalnya. Maklum ketika Iqbal masih
hidup, keadaan politik yang dikendalikan kolonial Inggeris tidak memungkinkan
ia mengunjungi Iran. Penyair besar ini, yang menulis puisi-puisinya sebagaian
besar dalam bahasa Parsi bukan dalam bahasa ibunya, tak pernah menghirup negeri
Iran yang begitun ia cintai.
Bukan hanya itu, politik kolonial yang ia perangi
sepanjang hayatnya tak memperkenankan gagasan-gagasan, ideologi, dan ajaran
filsafatnya sampai ke telinga bangsa Iran yang sangat ingin menerima
pesan-pesannya. Iqbal adalah salah seorang tokoh utama dalam sejarah Islam.
Kepribadiannya begitu mendalam dan kental, sehingga sulit diukur melalui satu
dimensi darim kehidupannya. Ia seorang ilmuan dan filosof, dan pada saat yang
sama penyair besar, demikian pernyataan Khamenei.
Karya-karya Iqbal adalah karya multidimensi.
Setidaknya, seperti yang diutarakan oleh salah seorang cendekiawan ternama,
Annemarie Schimmel, bahwa karya Iqbal merupakan pintalan berbagai nuansa yang
menarik yang berkisar dari fundamentalisme Islam sampai teori-teori ilmiah yang
paling mutakhir dari Barat, dari penerbangan-penerbangan mistikal ke dalam
Hadirat Tuhan sampai analisis-analisis rasional tentang fenomena spiritual.
Hal tersebut terpatri dalam karya-karya Iqbal
semisal; ‘Ilm Al-Iqtishad (tentang ekonomi), The Development of Metaphysics in
Persia: A contribution to the History of Muslim Pholosophy ( tentang metafisika
Persia), Stray reflections ( berisi catatan-catatan reflektif), Asrar-i Khusi
(Rahasia-Diri), Rumuz-i Bekhudi (Misteri Ketiadaan Diri). Payam-i Masyriq
(Pesan dari Timur), Bang-i Dara (Lonceng Kafilah), Zabur-i ‘Ajam (Mazmur
Persia), The Reconstruktion of Religious Thought in Islam (Rekonstruksi
Pemikiran dalam Islam), Javid Nama (Kitab Keabadian), Musafir (Sang
pengembara), Bal-i Jibril (Sayap Jubril, Pas chi bayad kard ay aqwam-i Sharg?
(Apa yang Harus dilakukan Wahai Masyarakat Timur?), Zarb-i Kalim (Pukulan Tongkat
Musa), Armaghan-i Hijaz (Buah Tangan dari Hijaz), Surud-i Rafta (Nyanyian yang
Hilang) dan kumpulan ceramah, artikel, pernyataan serta surat-surat Iqbal.
Raushan dhamir
Dengan bentangan karya yang begitu kaya dimensi,
wajarlah ketika Iqbal berpesan kepada generasi masa depan untuk senantiasa sudi
mendengar sabdanya. Representasi dari pesan Iqbal tercermin ketika ia berpesan
kepada anaknya, Javid Iqbal, yang kala
itu usianya baru 14 tahun, tetapi Iqbal
amat yakin akan masa depan anak dan generasi sesudahnya.
Iqbal berseru kepada Javid; Pendidikan tidak lagi mengenal
tujuannya. Karena pupusnya kegairahan, terenggutlah jiwa dari keindahan alam,
tiada bunga bermekaran di rantingnya. Lihat para arsitek, tidak tahu lagi
apalagi yang harus dikerjakannya, kerjanya hanya menyusun batu buat
menyeberangi selokan, anak-anak telah dididik menjadi itik! Bila ilmu tidak
membawa kehangatan hidup, maka hati tidak akan menemukan kegembiraan dalam
ilham yang dibawa ilmu.
Ilmu itu keterangan, dan uraian tentang tahap-tahap
ruhani yang kau alami, ia tidak lain ulasan dari isyarat-isyaratmu! Mestinya
kau bakar dirimu dalam api pengalaman, agar terpisah emasmu dari loyang. Untuk
ilmu Ilahi, awalnya adalah mengalami sendiri, dan berakhir dengan berada, tapi
akhir ini tidak terkandung dalam daya pikir, demikian Iqbal menegaskannya.
Mengapa Iqbal mampu berpesan untuk masa depan dan
ingin mencipta sejarah masa depan? Karena ia adalah seorang raushan-dhamir.
Menurut Abdul Hadi WM, seorang raushan-damir adalah seorang yang mampu melihat
jauh ke lubuk peristiwa-peristiwa dunia, ke dalam hakekat segala ihwal
kejadian.
Kemampuan seorang raushan-dhamir ada pada
visionernya yang ia peroleh karena ia telah menjadin kasyf dengan upaya
keruhanian yang sungguh-sungguh dan disadari, sehingga ia memiliki kekuatan
yang menakjubkan dalam melihat dan membaca kejadian-kejadian. Karena ia
mengetahui hakekat kejadian-kejadian dan rahasia “penciptaan”, maka ia tidak
terlalu terpengaruh oleh gejala-gejala sesaat atau temporal.
Bagi sang raushan-dhamir, tidak ada belenggu masa
kini yang bisa mengungkung penglihatan dan pemikirannya. Pandangannya jauh
menembus ke masa depan. Kegelapan zaman dan masyarakat tempatnya tidak membuatnya
sibuk mengeluhi kelemahan-kelemahan nasib buruk yang menimpanya. Sebaliknya ia
bangkit mencari potensi terpendam
kebudayaan dan agama yang dianut masyarakat. Orang semacam itu menemukan
bahwa kelemahan bukan terletak pada ajaran agama yang bersifat universal dan
langgeng, melainkan pada kondisi yang meliputi umat dan pribadi mereka.
Dikarenakan Iqbal telah menjadi seorang raushan-dhamir,
maka wajarlah kemudian ketika berpuluh juta orang menjadikannya sebagai bapak ruhani dalam menghadapi dan
hidup di zaman sekarang ini yang penuh dengan kegilaan. Khususnya negeri ini
yang telah menjadi negerinya para mafia. Ada mafia kasus, mafia peradilan,
mafia pajak, mafia soal ujian nasional dan mafia-mafia lainnya, yang
berseliweran diberbagi tingkatan berbangsa dan bernegara.
Kalau saja kita ingin menjadi salah seorang yang
menyiapkan telinganya untuk mendengar sabda Iqbal, agar rintisan jalan menuju
seorang raushan-dhamir tergapai, karena kelihatannya, yang dibutuhkan oleh
bangsa dan negara ini adalah sosok-sosok seperti yang digambarkan oleh Iqbal,
sang raushan-dhamir. Maka menjadi menarik untuk mencoba mengapresiasi petunjuk
Iqbal dalam Asrar-i Khudi (Rahasia Diri).
Menurut Iqbal, guna mencapai kesempurnaan-diri,
maka jalan yang harus ditempuh oleh setiap ego individual, paling tidak ada
tiga tahap. Pertama, setiap individu harus belajar mematuhi dan secara
sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum ilahiah, dimana hukum Islam
adalah yang paling tinggi.
Kedua, ia harus belajar berdisiplin dan diberi wewenang
untuk mengendalikan dirinya sendiri, melalui ketakutan dan cintanya kepada
Tuhan serta ketakbergantungannya terhadap dunia. Ketiga, individu
menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual. Maka ia
dianggap telah memenuhi syarat untuk menjalankan perannya sebagai wakil Tuhan
untuk memerintah dan menjadi guru dunia,
menampilkan sifat-sifat ilahiah dalam mikrokosmos. Wallahu ‘alam
Bissawab
0 komentar:
Posting Komentar