Aku berjalan di pematang sawah, memandangi
padi yang lagi menguning. Lalu ada yang aneh dalam pikiran, ada gelisah dalam
hati.
Maka diri pun bertanya; “ mengapa padi yang
sudah layak panen ini belum juga merunduk? Apakah padi ini tidak punya isi? “
Bukankah para bijak terdahulu mewariskan
kepada kita, tentang sebuah sabda bahwa; “ padi makin berisi makin merunduk? “
Barulah aku sadar, bahwa padi-padi kini
tidaklah perlu merunduk, walau sudah punya isi, sebab campur tangan manusia
memungkinkan padi menguning, dengan batang yang pendek, sudah berisi dn tetap
tegak.
Maka jangan pernah lagi mengharap padi saat ini, makin berisi makin merunduk.
Akan halnya padi terdahulu, dengan batang yang
lebih tinggi, bulir-bulir yang begitu padat isinya, mengharuskan ia merunduk.
Karena memang demikianlah takdirnya. Maka petani pun memperlakukan ia dengan
santun.
Saat panen tiba, ia dengan ramah di katto
satu persatu, diiringi dengan tembang-tembang cinta dan kehidupan.
Memang amat lambat panen itu, karena didalamnya ada sopan santun, ada saling
cinta, antara padi dan petani.
Cobalah lihat padi dalam kekinian, karena
tidak pernah merunduk lagi, berdiri tegak dengan congkak, seakan bertolak
pinggang menantang, maka tidak butuh cinta dan sopan santun, petani pun lebih
memaknainya sebagai pekerjaan semata.
Karenanya, langsung saja di kattere secara massal.
0 komentar:
Posting Komentar