STUDI KRITIS TENTANG KEBIJAKAN PENDIDIKAN*)
(Catatan Ringan untuk Pemkab. Bantaeng
Oleh Sulhan Yusuf**)
Membincang sistem pendidikan, tepatnya kebijakan di bidang pendidikan, oleh
suatu bangsa, baik pemerintah maupun masyarakatnya, tidak terlepas dari apa
yang memotivasi bangsa itu. Artinya, motif ideologis yang dianut oleh suatu
bangsa, sebagai sebuah motif yang akan
mewarnai kebijakan di bidang pendidikan, menjadi sangat penting untuk
diperhatikan. Sebabnya, adalah karena akan turut menentukan wajah pendidikan
dari bangsa itu.
Adalah Mansour Faqih, yang memetakan paling tidak ada tiga paradigma ideologis yang menjadi motif penyelenggara
pendidikan. Pertama, paradigma Konservatif. Bagi kaum
konservatif beranggapan bahwa masalah keterbelakangan suatu masyarakat, seperti
kemiskinan, buta huruf itu lebih disebabkan oleh subjek itu sendiri. Maksudnya,
menjadi terkebelakang, miskin, bodoh itu karena mereka sendiri, sehingga amat
susah melakukan perubahan sosial, dan apalagi pandangan ini menegaskan bahwa
rakyat-masyarakat tidak punya kekuatan untuk melakukan perubahan.
Kedua, paradigma Liberal. Bagi kaum liberal, beranggapan bahwa memang ada masalah
dalam suatu masyarakat, tetapi tidak ada
hubungan antara persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan anggapan
seperti itu, maka tugas pendidikan juga tidak ada sangkut- pautnya dengan
politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk
menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik. Artinya, pendidikan
itu dirancang agar sesuai dengan permintaan pasar. Maka memoderenkan fasilitas,
peralatan pendidikan, metodologi pengajaran dan pelatihan menjadi jalan
keluarnya.
Ketiga, paradigma Kritis. Bagi kaum
kritis melihat pendidikan sebagai arena perjuangan politik, untuk melakukan
perubahan sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap
kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi
dan advokasi menuju sistem sosial yg lebih adil. Singkatnya, bagi kaum kritis
tugas pendidikan yang paling mendasar adalah memanusiakan kembali manusia yang
mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur sosial-ekonomi yang tidak
adil.
Selain motif paradigma-ideologis yang menentukan wajah pendidikan, amat
patut pula dipertimbangkan tahapan-tahapan kesadaran masyarakat akan kondisi
sosial-ekonominya. Salah seorang ahli pendidikan, Paulo Fraire mendiskripsikan
tahapan-tahapan itu dalam tiga tahapan. Pertama, kesadaran Magis
(magical consciousness), yakni tingkat
kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dan faktor
lainnya, semisal ketidakmampuan melihat hubungan antara kemiskinan dengan
sistem politik dan kebudayaan, dan lebih melihat faktor eksternal manusia
sebagai penyebab keterbelakangan.
Kedua, Kesadaran Naif ( naival consciouness),
yaitu sejenis kesadaran yang lebih melihat faktor manusia menjadi akar penyebab
masalah dalam masyarakat. Dalam kesadaran ini, faktor etika, kreativitas,
keterampilan dianggap sebagai faktor penentu perubahan sosial. Ketiga,
kesadaran Kritis (critical consciouness). Dalam kesadaran kritis, aspek sistem
dan struktur sosial sebagai sumber masalah. Paradigma kritis dalam pendidikan,
melatih peserta didik untuk melihat dan mengidentifikasi ketidakadilan dalam
sistem dan struktur sosial-ekonomi yang ada.
Dengan latar pemikiran tersebut – motif paradigma ideologis pendidikan dan
tahapan-tahapan kesadaran masyarakat—bagaimana kita melihat sistem pendidikan
nasional beserta penjabarannya masing-masing pada level lokal. Lewat rumusan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 1 No.20 tahun 2003,
disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Rumusan arah sistem pendidikan nasional kita, sesungguhnya tidak terlepas
dari pengaruh Reformasi yang menjungkalkan rejim Orde Baru. Pada Orde Reformasi
amat luas kesempatan untuk melakukan perombakan yang lebih reformatif dan
revolusioner. Dan salah satu yang paling menarik adalah, jika pada masa Orde
Baru pendidikan bersifat sentralistik, maka pada saat ini lebih bersifat
desentralistik. Apalagi didukung oleh semangat otonomi daerah, yang tentunya
berimplikasi langsung pada penyelenggaraan pendidikan di daerah dengan semangat
lokalitas (Menggugat Pendidikan Indonesia, Moh. Yamin, Ar-Ruzz,
2010).
Kabupaten Bantaeng sebagai sala satu daerah yang turut disemangati oleh
lokalitas itu pun telah merumuskan RPJM Daerah Kabupaten Bantaeng tahun
2008-2013, yang khususnya di bidang pendidikan berbunyi; Peningkatan
Wawasan dan Kapasitas Manusia (Bantaeng).Sasaran agenda ini diwujudkan melalui sejumlah program
sebagai berikut:
1.
Peningkatan Kualitas Pelayanan Pendidikan .Sasaran
program adalah tersedianya fasilitas dan meningkatnya kualitas penyelenggaraan
pendidikan dasar dan menengah (SD dan setara SMP) dan yang sepenuhnya
dibiayai oleh pemerintah bagi sebagian besar anak usia sekolah (6 - 15
tahun). Program
diimplementasikan dalam bentuk pembiayaan bersama penyelenggaraan pendidikan
dimaksud antara pemerintah pusat melalui program Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) dengan pemerintah kabupaten / kota dan pemerintah propinsi melalui APBD
masing-masing. Porsi pemerintah propinsi adalah maksimun sebesar 40% dari sisi
kebutuhan dana yang tidak tercover oleh dana BOS. Kebijakan ini diarahkan
pada peningkatan pengetahuan rata-rata masyarakat yang dicerminkan antara lain
oleh peningkatan Rata-rata Lama Sekolah, peningkatan Angka Partisipasi Kasar
pada jenjang SD, SLTP dan SLTA. Implementasi program difokuskan kepada upaya-upaya untuk
menyediakan fasilitas pendidikan, khususnya SD dan SMP; peningkatan kualitas
manajemen sekolah; peningkatan kualitas proses belajar, termasuk pemanfaatan
teknologi komunikasi dan informasi; perbaikan kesejahteraan dan peningkatan
kualitas guru; serta peningkatan akses masyarakat terhadap fasilitas dimaksud,
termasuk penyediaan insentif khusus bagi murid berprestasi, khususnya yang
berasal dari kalangan miskin. Orientasi pembelajaran semestinya pula
memberikan porsi yang lebih besar kepada upaya-upaya peningkatan watak dan
sikap, wawasan dan identitas, serta pengembangan kapasitas anak didik, di
samping materi pembelajaran tradisional yang berorientasi kepada pembekalan
kompetensi.
2.
Promosi
Pendidikan. Program diarahkan untuk
meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap peranan pendidikan
bagi peningkatan kualitas hidup mereka (melalui peningkatan kinerja
pribadi). Implementasi program dalam bentuk upaya-upaya untuk menurunkan
Angka Putus Sekolah serta untuk menarik kembali siswa putus sekolah, melalui
program paket A (untuk putus SD), paket B (SMP) dan paket C (SLA). Bantuan
beasiswa bagi siswa miskin dan berprestasi merupakan pula salah satu bentuk
dari upaya ini. Program diharapkan akan mendorong peningkatan angka
Rata-rata Lama Sekolah sehingga target sebesar 9 tahun dapat dicapai.
3.
Pemberantasan
Buta Aksara .Program diarahkan
untuk meningkatkan Angka Melek Huruf (AMH). Keberhasilan implementasi program
ini akan sangat memengaruhi upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan nilai
IPM, karena merupakan penyebab utama rendahnya IPM Bantaeng. Analisis data
menunjukkan bahwa rendahnya AMH juga disebabkan oleh banyak peserta program
yang setelah beberapa waktu kemudian menjadi tidak mampu lagi membaca. Oleh
karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk memelihara kemampuan baca masyarakat
antara lain berupa penyelenggaraan beberapa beberapa program penunjang, seperti
"Taman Bacaan Masyarakat", "pengembangan media warga untuk
kehidupan sehari-hari", serta penyediaan informasi tulis yang berkaitan
dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat.
4.
Pengembangan
Budaya Baca.Sasaran program adalah
meningkatnya kualitas dan jangkauan pelayanan perpustakaan yang diharapkan akan
berdampak pada meningkatnya budaya baca masyarakat
5.
Pelatihan
Keterampilan. Program diarahkan untuk
mendorong terbentuknya teknostruktur masyarakat. Jenis-jenis pelatihan
disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal, dalam hal ini masyarakat desa.
Dengan kata lain, program ini harus dikaitkan dengan pelaksanaan Agenda
2.
6.
Peningkatan
Watak, Wawasan dan Identitas. Program
diarahkan untuk mengembangkan kurikulum serta materi dan proses pembelajaran
yang diperlukan untuk membentuk watak dan sikap, memperluas wawasan dan
internalisasi identitas daerah berupa nilai-nilai lokal dan agama para peserta
didik. Implementasi dari hasil program ini diintegrasikan dalam pelaksanaan
program 1 (peningkatan kualitas pelayanan pendidikan).
Permasalahannya kemudian adalah, bagaimana mewujudkan program-program
kebijakan pendidikan yang semanagatnya dimotivasi oleh paradigma ideologis,
serta kemampuan membaca tahapan-tahapan kesadaran masyarakat, dalam ruang
lingkup Kabupaten Bantaeng. Sebab, ada beberapa catatan penting untuk digarisbawahi
dalam menelorkan kebijakan-kebijakan, diantaranya; Pertama, dengan
semangat lokalitas yang didasari oleh payung otonomi daerah menyebabkan
lahirnya penguasa-penguasa lokal, yang tidak menutup kemungkinan lahirnya
raja-raja kecil.
Kedua, ketika kekuasaan ini berada pada raja-raja kecil,
maka besar peluang program kebijakan pendidikan hanya akan melayani kepentingan
politis dan ekonomis dari yang berkuasa. Ketiga, akibatnya,
program-program lebih bernuansa retoris dan enterteint demi mendongkrak politik
pencitraan penguasa. Keempat, dan ini merupakan konsekuensi,
adalah tidak sinkronnya antara semangat tujuan pendidikan nasional dengan
kepentingan lokal. Wallahu ‘alam bissawab.
*)
Disajikan sebagai pengantar seminar pada acara Musda Muhammadiyah Kab.
Bantaeng, gedung Wanita, 23 Februari 2011.
**) Ceo Paradigma Insitut Makassar dan BOETTA
ILMOE Bantaeng.
0 komentar:
Posting Komentar