Minggu, 20 Januari 2013

STUDI KRITIS TENTANG KEBIJAKAN PENDIDIKAN



STUDI KRITIS TENTANG KEBIJAKAN PENDIDIKAN*)
(Catatan Ringan untuk Pemkab. Bantaeng

Oleh Sulhan Yusuf**)

Membincang sistem pendidikan, tepatnya kebijakan di bidang pendidikan, oleh suatu bangsa, baik pemerintah maupun masyarakatnya, tidak terlepas dari apa yang memotivasi bangsa itu. Artinya, motif ideologis yang dianut oleh suatu bangsa, sebagai sebuah motif  yang akan mewarnai kebijakan di bidang pendidikan, menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Sebabnya, adalah karena akan turut menentukan wajah pendidikan dari bangsa itu.
Adalah Mansour Faqih, yang memetakan paling tidak ada tiga paradigma  ideologis yang menjadi motif penyelenggara pendidikan. Pertama, paradigma Konservatif. Bagi kaum konservatif beranggapan bahwa masalah keterbelakangan suatu masyarakat, seperti kemiskinan, buta huruf itu lebih disebabkan oleh subjek itu sendiri. Maksudnya, menjadi terkebelakang, miskin, bodoh itu karena mereka sendiri, sehingga amat susah melakukan perubahan sosial, dan apalagi pandangan ini menegaskan bahwa rakyat-masyarakat tidak punya kekuatan untuk melakukan perubahan.
Kedua, paradigma Liberal. Bagi kaum liberal, beranggapan bahwa memang ada masalah dalam suatu masyarakat, tetapi  tidak ada hubungan antara persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan anggapan seperti itu, maka tugas pendidikan juga tidak ada sangkut- pautnya dengan politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik. Artinya, pendidikan itu dirancang agar sesuai dengan permintaan pasar. Maka memoderenkan fasilitas, peralatan pendidikan, metodologi pengajaran dan pelatihan menjadi jalan keluarnya.
Ketiga, paradigma  Kritis. Bagi kaum kritis melihat pendidikan sebagai arena perjuangan politik, untuk melakukan perubahan sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yg lebih adil. Singkatnya, bagi kaum kritis tugas pendidikan yang paling mendasar adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur sosial-ekonomi yang tidak adil.
Selain motif paradigma-ideologis yang menentukan wajah pendidikan, amat patut pula dipertimbangkan tahapan-tahapan kesadaran masyarakat akan kondisi sosial-ekonominya. Salah seorang ahli pendidikan, Paulo Fraire mendiskripsikan tahapan-tahapan itu dalam tiga tahapan. Pertama, kesadaran Magis (magical  consciousness), yakni tingkat kesadaran yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dan faktor lainnya, semisal ketidakmampuan melihat hubungan antara kemiskinan dengan sistem politik dan kebudayaan, dan lebih melihat faktor eksternal manusia sebagai penyebab keterbelakangan.
 Kedua, Kesadaran Naif ( naival consciouness), yaitu sejenis kesadaran yang lebih melihat faktor manusia menjadi akar penyebab masalah dalam masyarakat. Dalam kesadaran ini, faktor etika, kreativitas, keterampilan dianggap sebagai faktor penentu perubahan sosial. Ketiga, kesadaran Kritis (critical consciouness). Dalam kesadaran kritis, aspek sistem dan struktur sosial sebagai sumber masalah. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih peserta didik untuk melihat dan mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur sosial-ekonomi yang ada.
Dengan latar pemikiran tersebut – motif paradigma ideologis pendidikan dan tahapan-tahapan kesadaran masyarakat—bagaimana kita melihat sistem pendidikan nasional beserta penjabarannya masing-masing pada level lokal. Lewat rumusan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 1 No.20 tahun 2003, disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Rumusan arah sistem pendidikan nasional kita, sesungguhnya tidak terlepas dari pengaruh Reformasi yang menjungkalkan rejim Orde Baru. Pada Orde Reformasi amat luas kesempatan untuk melakukan perombakan yang lebih reformatif dan revolusioner. Dan salah satu yang paling menarik adalah, jika pada masa Orde Baru pendidikan bersifat sentralistik, maka pada saat ini lebih bersifat desentralistik. Apalagi didukung oleh semangat otonomi daerah, yang tentunya berimplikasi langsung pada penyelenggaraan pendidikan di daerah dengan semangat lokalitas (Menggugat Pendidikan Indonesia, Moh. Yamin, Ar-Ruzz, 2010).
Kabupaten Bantaeng sebagai sala satu daerah yang turut disemangati oleh lokalitas itu pun telah merumuskan RPJM Daerah Kabupaten Bantaeng tahun 2008-2013, yang khususnya di bidang pendidikan berbunyi;   Peningkatan Wawasan dan Kapasitas Manusia (Bantaeng).Sasaran agenda ini diwujudkan melalui sejumlah program sebagai berikut: 
1.                          Peningkatan Kualitas Pelayanan Pendidikan .Sasaran program adalah tersedianya fasilitas dan meningkatnya kualitas penyelenggaraan  pendidikan dasar dan menengah (SD dan setara SMP) dan  yang sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah bagi sebagian besar anak usia sekolah  (6 - 15 tahun). Program diimplementasikan dalam bentuk pembiayaan bersama penyelenggaraan pendidikan dimaksud antara pemerintah pusat melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan pemerintah kabupaten / kota dan pemerintah propinsi melalui APBD masing-masing. Porsi pemerintah propinsi adalah maksimun sebesar 40% dari sisi kebutuhan dana yang tidak tercover oleh dana BOS. Kebijakan ini diarahkan pada peningkatan pengetahuan rata-rata masyarakat yang dicerminkan antara lain oleh peningkatan Rata-rata Lama Sekolah, peningkatan Angka Partisipasi Kasar pada jenjang SD, SLTP dan SLTA. Implementasi program difokuskan kepada upaya-upaya untuk menyediakan fasilitas pendidikan, khususnya SD dan SMP; peningkatan kualitas manajemen sekolah; peningkatan kualitas proses belajar, termasuk pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi; perbaikan kesejahteraan dan peningkatan kualitas guru; serta peningkatan akses masyarakat terhadap fasilitas dimaksud, termasuk penyediaan insentif khusus bagi murid berprestasi, khususnya yang berasal dari kalangan miskin. Orientasi pembelajaran semestinya pula memberikan porsi yang lebih besar kepada upaya-upaya peningkatan watak dan sikap, wawasan dan identitas, serta  pengembangan kapasitas anak didik, di samping materi pembelajaran tradisional yang berorientasi kepada pembekalan kompetensi. 
2.                          Promosi Pendidikan. Program diarahkan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap peranan pendidikan bagi peningkatan kualitas hidup mereka (melalui peningkatan kinerja pribadi). Implementasi program dalam bentuk upaya-upaya untuk menurunkan Angka Putus Sekolah serta untuk menarik kembali siswa putus sekolah, melalui program paket A (untuk putus SD), paket B (SMP) dan paket C (SLA). Bantuan beasiswa bagi siswa miskin dan berprestasi merupakan pula salah satu bentuk dari upaya ini.  Program diharapkan akan mendorong peningkatan angka Rata-rata Lama Sekolah sehingga target sebesar 9 tahun dapat dicapai. 
3.                          Pemberantasan Buta Aksara .Program diarahkan untuk meningkatkan Angka Melek Huruf (AMH). Keberhasilan implementasi program ini akan sangat memengaruhi upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan nilai IPM, karena merupakan penyebab utama rendahnya IPM Bantaeng. Analisis data menunjukkan bahwa rendahnya AMH juga disebabkan oleh banyak peserta program yang setelah beberapa waktu kemudian menjadi tidak mampu lagi membaca. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk memelihara kemampuan baca masyarakat antara lain berupa penyelenggaraan beberapa beberapa program penunjang, seperti "Taman Bacaan Masyarakat", "pengembangan media warga untuk kehidupan sehari-hari", serta penyediaan informasi tulis yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat.
4.                          Pengembangan Budaya Baca.Sasaran program adalah meningkatnya kualitas dan jangkauan pelayanan perpustakaan yang diharapkan akan berdampak pada meningkatnya budaya baca masyarakat
5.                          Pelatihan Keterampilan. Program diarahkan untuk mendorong terbentuknya teknostruktur masyarakat. Jenis-jenis pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat lokal, dalam hal ini masyarakat desa. Dengan kata lain, program ini harus dikaitkan dengan pelaksanaan Agenda 2. 
6.                          Peningkatan Watak, Wawasan dan Identitas. Program diarahkan untuk mengembangkan kurikulum serta materi dan proses pembelajaran yang diperlukan untuk membentuk watak dan sikap, memperluas wawasan dan internalisasi identitas daerah berupa nilai-nilai lokal dan agama para peserta didik. Implementasi dari hasil program ini diintegrasikan dalam pelaksanaan program 1 (peningkatan kualitas pelayanan pendidikan).
Permasalahannya kemudian adalah, bagaimana mewujudkan program-program kebijakan pendidikan yang semanagatnya dimotivasi oleh paradigma ideologis, serta kemampuan membaca tahapan-tahapan kesadaran masyarakat, dalam ruang lingkup Kabupaten Bantaeng. Sebab, ada beberapa catatan penting untuk digarisbawahi dalam menelorkan kebijakan-kebijakan, diantaranya; Pertama, dengan semangat lokalitas yang didasari oleh payung otonomi daerah menyebabkan lahirnya penguasa-penguasa lokal, yang tidak menutup kemungkinan lahirnya raja-raja kecil.
 Kedua, ketika kekuasaan ini berada pada raja-raja kecil, maka besar peluang program kebijakan pendidikan hanya akan melayani kepentingan politis dan ekonomis dari yang berkuasa. Ketiga, akibatnya, program-program lebih bernuansa retoris dan enterteint demi mendongkrak politik pencitraan penguasa. Keempat, dan ini merupakan konsekuensi, adalah tidak sinkronnya antara semangat tujuan pendidikan nasional dengan kepentingan lokal. Wallahu ‘alam bissawab.


*)  Disajikan sebagai pengantar seminar pada acara Musda Muhammadiyah Kab. Bantaeng, gedung Wanita, 23 Februari 2011.
**) Ceo Paradigma Insitut Makassar dan BOETTA ILMOE Bantaeng.

0 komentar:

Posting Komentar