“API INGATAN SEJARAH”
Oleh Sulhan Yusuf
Oleh Sulhan Yusuf
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tgl 7 mei
2011, Boetta Ilmoe kedatangan seorang penulis, Ahmad Sahide dari Yogyakarta,
guna mendiskusikan bukunya yang berjudul: Kebebasan dan Moralitas. Dalam
diskusi buku yang dihadiri kurang lebih 30 orang dari berbagai elemen kaum muda
di Butta Toa –Bantaeng. Mereka dari unsur LSM, Koskar PPB, FMBT, Pentolan HPMB,
Penggiat Sosial dan Guru. Diskusi buku di Rumah Baca Boetta Ilmoe, merupakan
agenda rutin, di samping kegiatan lain, semisal pelatihan peningkatan minat
baca-tulis.
Ahmad Sahide dalam presentasi muatan
pemikiran dalam bukunya, tak lupa pula menyisipkan kiat-kiat menulis, sehingga
tulisan tersebut bisa jadi buku. Ada satu hal yang menghujam dalam pikiran
saya, ketika Ahmad Sahide mengeluarkan suatu ungkapan, “api ingatan sejarah’.
Menurutnya, hanya dengan menuliskan apa yang kita lihat, dengar dan rasakan,
api ingatan sejarah dapat terdokumentasi. Terus terang ungkapan tersebut
mencerahkan dan menggairahkan saya untuk
menulis kembali, sebagai suatu aktivitas yang dulu amat sering saya lakukan.
Kata-kata sakti itu mengingatkan
kembali pada seorang guru pencerah dalam dunia baca-tulis, yaitu Mas Hernowo,
yang telah begitu produktif menulis banyak buku, selain juga sering memberikan
pelatihan-pelatihan dalam hal baca tulis. Buku Quantum Reading, Quantum
Writing, Mengikat Makna, adalah buku-buku yang beliau tulis sebagai
buku how to yang sangat mumpuni bagi para peminat di bidang baca-tulis. Dan dari
buku-buku tersebut di samping mengikuti trainingnya, saya banyak belajar untuk
melakukan aktivitas pelatihan di bidang peningkatan minat baca-tulis.
Keesokan harinya, saya mengajak
Ahmad Sahide untuk mengunjungi sebuah pesantren di pelosok, tepatnya pesantren
As’Adiyah Ereng-Ereng Tompobulu Bantaeng. Apa motif saya sehingga saya mengajak
ke pesantren tersebut? Setidaknya ada dua hal. Pertama, ternyata
Ahmad Sahide adalah salah seorang alumni dari pesantren tersebut. Kedua,
dan ini yang amat penting bagi saya, karena terkait langsung dengan aktivitas
saya dalam bidang pelatihan peningkatan minat baca-tulis. Saya ingin
mempertemukan Ahmad Sahide sebagai seorang penulis dengan ‘binaan’ Boetta
Ilmoe, yang setahun lalu saya melakukan pelatihan Quantum Training (Learning,
Reading dan Writing) di pesantren tersebut. Hal mana, sebagai buah dari
pelatihan itu, akan kami terbitkan sebuah buku memorian para santri untuk
dipersembahkan kepada almamaternya. Dan
buku tersebut sudah kami terbitkan, lewat kerjasama antara Boetta Ilmoe,
IKAKAS dan pesantren As’Adiyah Ereng-Ereng, dengan judul Bunga-Bunga
Kertas.
Acara jumpa penulis yang kami
lakukan di pesantren As’Adiayh, yang dipandu oleh Ahmad Rusaidi – seorang
alumni sekaligus guru dan motivator baca-tulis di pesantren-- rupanya disambut
baik oleh pihak pesantren, terbukti dengan kehadiran salah seorang pembina
sekaligus guru, yaitu ibu Najmah. Karena bagi saya, salah satu cara membangunn
gerakan sosial peningkatan minat baca-tulis adalah dengan jalan memperlakukan
penulis ibarat ‘selebriti’, harus dientertainkan, agar para remaja kita punya
alternatif idola, berupa seorang penulis, sehingga tidak menutup kemungkinan
ada diantara mereka para siswa yang ratusan jumlahnya itu, bercita-cita menjadi
penulis.
Dalam dialog dengan para santri
As’adiayh, Ahmad Sahide tak lupa memberikan tips-tips menulis, terutama bagi
penulis pemula. Respon dari para santri begitu menggelora, sehingga diantara
mereka ada yang bertanya tentang beberapa hal dalam dunia kepenulisan. Dan saat
yang tepat bagi saya untuk ‘membajak’ Ahmad Sahide agar menulis catatan
pengantar untuk buku yang ditulis oleh para santri, yang juga tiada lain adalah
adik-adiknya di As’adiyah. Rupanya jebakan saya berhasil, dan ia pun menulis
catatan untuk buku yang kami terbitkan – Bunga-Bunga Kertas-- dengan judul, “
Memusiumkan Secarik Pengalaman dengan
Tulisan.”
Setelah acara jumpa penulis di
pesantren, kami pun bersantap siang di rumah Ahmad Rusaidi, ditemani dua orang
kawan lama Ahmad Sahide sewaktu masih di pesantren. Nuansa nostalgia mengiringi
perbincangan mereka, dan saya pun
menikmati canda tawa mereka yang cukup membahagiakan. Dalam hati pun saya
berkata, bahwa masa sekolah adalah masa-masa yang membahagiakan, masa-masa ketika
kita malu pada semut merah yang berbaris di dinding, kata Obby Mesakh. Melihat
mereka berbahagia, saya pun turut merasakan kebahagiaan itu. Rupanya, energi
positif berhasil mengalir dan menyebar saat itu.
Usai acara tebar bahagia di rumah
Ahmad Rusaidi, saya dan Ahmad Sahide meluncur ke desa Labbo, untuk melihat
perpustakaan desa yang kini telah menjadi percontohan perpustakaan desa secara
nasional. Setiba di desa Labbo, aura kebahagiaan segera menyelimuti kami
–seperti telah saya tuliskan, “Mari Belajar ke Desa Labbo”—rupanya
perjalanan hari itu dengan seorang penulis, bagi saya merupakan perpindahan
dari kebahagiaan yang satu menuju kebahagiaan yang lain. Mendapatkan
kebahagiaan, ternyata tidak harus mahal secara material, dan “api ingatan
sejarah” pun saya telah torehkan.
0 komentar:
Posting Komentar