Ketika tali pusar diputus saat kelahiran, maka
kita pun harus hidup dan melanjutkan kehidupan dalam topangan di kisaran pusar.
Selaku makhluk ragawi, kita melata di dunia
bertolak pada pertimbangan pada apa yang di atas pusar, perut dan di bawah
pusar, birahi.
Pola tingkah, sikap, ulah, putusan pun diambil
atas dorongan-dorongan perut dan birahi. Korupsi, bentuk konkrit dari pemenuhan
perut. Seligkuh-zina, bentuk nyata dari hasrat birahi.
Datanglah ramadhan, dengan senjata pamungkas
puasanya, untuk jedah sejenak agar perut dan birahi dikendalikan.
Puasa mengingatkan kembali akan perjanjian
purba dengan Ilahi, sebagai makhluk citra Ilahi karena ada Ruh Ilahi dalam
diri. Yang ditiupkan saat masih dalam rahim, sebagai pengendali sari pati
tanah, yang dipasok lewat ketuban.
Puasa mengajak, agar bertindak bukan atas
dasar kisaran pusar. Tetapi pada dada, tempat mukimnya hati-nurani dan kepala
tempat bertenggernya akal-pikiran.
Dengan hati-nuranilah kita mewujud menjadi
manusia citra Ilahi. Dengan akal-pikiran kita berbeda dengan makhluk lain.
Sebelas bulan kita hidup layaknya makhluk
lain, dengan perut dan birahi menata hidup dan kehidupan, satu bulan disediakan
untuk melayak jadi manusia. Meski manusia sejati, sebelas bulan tambah satu
bulan, menjadi dua belas bulan sama saja, sebab ia telah menggunaan
hati-nuraninya dan akal-pikirannya melata di atas bumi.
0 komentar:
Posting Komentar