Rabu, 09 Januari 2013

MENUMBUHKAN WRITERPRENUR


MENUMBUHKAN WRITERPRENUR, MEMBANGUN MASYARAKAT LITERASI
Oleh Sulhan Yusuf , Pegiat gerakan literasi dan pelaku industri perbukuan, tinggal di Makassar.
Menjadikan writerprenur sebagai aktifitas aktuil dalam kaitannya dengan membangun masyarakat literasi, adalah dua lema yang bisa diasumsikan sebagai sesuatu yang bergerak secara simultan, pada akhirnya akan bertemu pada satu titik saling melengkapi. Aktifitas writerprenur, yang secara sederhana dimaknai sebagai bentuk kewirausahaan tulis- menulis, akan sangat ditentukan oleh situasi respon masyarakat terhadap buah karya tulis. Sedangkan masyarakat literasi, yang didalamnya akan terjadi transaksi pengetahuan lewat aktifitas baca-tulis, akan sangat ditentukan oleh adanya buah karya tulis, yang sudah barang tentu akan dijadikan bahan bacaan.
Kedua lema tersebut, akan menjadi menarik untuk diulas karena memang keduanya adalah bentuk mutakhir dari dua persinggungan yang saling melengkapi. Writerprenur akan menjadi pilihan jikalau aktifitas ini benar-benar menjanjikan nilai ekonomi, sebagai akibat dari adanya profesionalitas didalamnya. Sedangkan masyarakat literasi hanya akan terwujud jikalau ada gerakan-gerakan simultan yang dirancang dan direkayasa secara serius untuk mewujudkannya. 
Lalu bagaimana dengan realitas kita saat ini? Adakah kegiatan menulis sudah menjadi pilihan profesional, seperti daya tarik profesi yang lain?  Dan bagaimana pula dengan realitas sosial kita dalam kaitannya dengan respon gerakan literasi?
Menjadi penulis yang profesional, sebagai bagian dari aktifitas kewirausahaan, tentu bukanlah perkara yang mudah. Sebab, pertama --sebagai contoh kasus saja-- dalam siklus  industri perbukuan, maka yang paling menderita adalah para penulis, padahal merekalah yang paling menentukan dalam berputar tidaknya industri ini. Royalti mereka hanyalah kisaran 10%  dari harga jual yang ditetapkan oleh penerbit, dan itu pun dibayarkan setelah buku tersebut laku terjual. Belum lagi kalau ada penerbit yang nakal, dan mengkadali para penulis.
Kedua, selama ini motif orang menulis masih lebih banyak karena ada unsur hobbi yang mengiringinya. Menulis lebih dimaknai sebagai kegiatan keruhanian, sehingga menulis masih dianggap sebagai cara membahagiakan diri. Karena hanya kepuasan ruhani yang menjadi motif, maka karya itu hanya sampai pada batas tertingginya dijual, padahal idealnya kalau karya itu mau dikomersilkan  maka harus dipasarkan. Pada konteks inilah aspek kewirausahaannya menjadi penting.
Ketiga, poin ini yang paling mendasar, karena aktifitas menulis tergusur dengan budaya dan prilaku instan masyarakat, yang lebih suka dengan serba ketersediaan. Hadirnya perangkat teknologi, yang seharusnya menjadi penopang akan mudahnya aktifitas menulis, malah membunuh aktifitas menulis. Sekedar menyebut contoh saja, fasilitas pencari informasi di internet, yang menyediakan apa saja secara mudah, atau gaya komunikasi via sms, yang amat sangat memiskinkan kata yang berujung pada sulitnya lahir kalimat-kalimat yang berujung pada paragraf tulisan.
Keempat, sebagai akibat selanjutnya, maka budaya baca akan sulit tumbuh dalam masyarakat. Padahal kunci pertama dari aktifitas menulis itu adalah  adanya budaya baca pada diri seseorang maupun kelompok-masyarakat. Sangat sulit membayangkan akan adanya dinamika writerprenur dalam masyarakat, jikalau saja tidak ada budaya baca. Sebab, siklusnya secara sederhana dari proses ini adalah; proses internalisasi yakni memasukkan informasi dalam diri  melalui kegiatan baca, lalu melangkah pada proses elaborasi, yakni mencerna informasi, selanjutnya proses eksternalisasi, yakni mengeluarkan kembali informasi yang sudah diolah itu, yang salah satu bentuknya adalah lewat tulisan. Ibaratnya kita makan (internalisasi) lalu dicerna (elaborasi) kemudian melahirkan energi (eksternalisasi).
Pada konteks inilah amat penting untuk merancang, sekaligus merekayasa gerakan literasi menuju masyarakat literasi. Yang secara sederhana kerangkanya dapat ditegaskan, dari pribadi-pribadi, para pegiat literasi didorong menjadi komunitas literasi, dan dari komunitas direkayasa menjadi masyarakat literasi.
Adanya pribadi-pribadi, yang wujud konkritnya sebagai pegiat literasi, yang punya komitmen terhadap gerakan literasi, harus dikonsolidasi menjadi kekuatan dalam bentuk komunitas literasi. Secara strategis, dalam komunitas inilah api literasi senantiasa dipelihara nyalanya jangan sampai padam. Sebab, asumsinya adalah jikalau api literasi ini terus menyala dalam komunitas, apalagi komunitas ini mampu mengkloning dirinya, maka alamat baik hadirnya masyarakat literasi sudah mengalami penghampiran.
Masalahnya kemudian adalah, bagaimana wajah realitas kita saat ini dalam kaitannya dengan gerakan literasi? Khususnya dalam bentuk komunitas literasi? Setidaknya, menurut Gola Gong, saat ini kita sudah memasuki gelombang ketiga dari gerakan literasi ini. Pertama, gelombang gerakan komunitas literasi yang memaknainya sebagai kegiatan baca-tulis saja, yang diwujudkan dalam bentuk adanya perpustakaan, taman baca, ataupun bentuk-bentuk yang sejenis. Pada intinya dari aktifitas yang berlangsung pada komunitas ini adalah, sekedar meminjam dan mengembalikan buku.
Kedua, gelombang gerakan komunitas literasi yang lebih variatif. Di dalamnya sudah ada aktifitas diskusi, penerbitan, lounching,  pelatihan, lomba yang kesemuanya bermuara pada aspek yang berkaitan dengan literasi. Ketiga, menggunakan ikon budaya pop – musik, film, nonton, hacking, jalan-jalan, fotografi, ngobrol-- sebagai pintu masuk untuk mendorong spirit literasi ini.
Pertanyaannya kemudian adalah, pada fase mana lingkungan kita dalam kaitannya dengan gelombang gerakan literasi ini? Pertanyaan ini penting diajukan, sebab akan amat sangat menentukan persepsi kita tentang writerprenur yang mau ditumbuhkan spiritnya itu, dalam kaitannya membangun masyarakat literasi. Wallahu ‘alam bissawab.

0 komentar:

Posting Komentar