MENUMBUHKAN
WRITERPRENUR, MEMBANGUN MASYARAKAT LITERASI
Oleh
Sulhan Yusuf , Pegiat gerakan literasi dan pelaku industri perbukuan, tinggal
di Makassar.
Menjadikan writerprenur sebagai aktifitas aktuil dalam
kaitannya dengan membangun masyarakat literasi, adalah dua lema yang bisa
diasumsikan sebagai sesuatu yang bergerak secara simultan, pada akhirnya akan
bertemu pada satu titik saling melengkapi. Aktifitas writerprenur, yang secara
sederhana dimaknai sebagai bentuk kewirausahaan tulis- menulis, akan sangat
ditentukan oleh situasi respon masyarakat terhadap buah karya tulis. Sedangkan
masyarakat literasi, yang didalamnya akan terjadi transaksi pengetahuan lewat
aktifitas baca-tulis, akan sangat ditentukan oleh adanya buah karya tulis, yang
sudah barang tentu akan dijadikan bahan bacaan.
Kedua lema tersebut, akan menjadi menarik untuk diulas
karena memang keduanya adalah bentuk mutakhir dari dua persinggungan yang
saling melengkapi. Writerprenur akan menjadi pilihan jikalau aktifitas ini
benar-benar menjanjikan nilai ekonomi, sebagai akibat dari adanya
profesionalitas didalamnya. Sedangkan masyarakat literasi hanya akan terwujud
jikalau ada gerakan-gerakan simultan yang dirancang dan direkayasa secara
serius untuk mewujudkannya.
Lalu bagaimana dengan realitas kita saat ini? Adakah
kegiatan menulis sudah menjadi pilihan profesional, seperti daya tarik profesi
yang lain? Dan bagaimana pula dengan
realitas sosial kita dalam kaitannya dengan respon gerakan literasi?
Menjadi penulis yang profesional, sebagai bagian dari
aktifitas kewirausahaan, tentu bukanlah perkara yang mudah. Sebab,
pertama --sebagai contoh kasus saja-- dalam siklus industri perbukuan, maka yang paling
menderita adalah para penulis, padahal merekalah yang paling menentukan dalam
berputar tidaknya industri ini. Royalti mereka hanyalah kisaran 10% dari harga jual yang ditetapkan oleh
penerbit, dan itu pun dibayarkan setelah buku tersebut laku terjual. Belum lagi
kalau ada penerbit yang nakal, dan mengkadali para penulis.
Kedua, selama ini motif orang menulis masih
lebih banyak karena ada unsur hobbi yang mengiringinya. Menulis lebih dimaknai
sebagai kegiatan keruhanian, sehingga menulis masih dianggap sebagai cara
membahagiakan diri. Karena hanya kepuasan ruhani yang menjadi motif, maka karya
itu hanya sampai pada batas tertingginya dijual, padahal idealnya kalau karya
itu mau dikomersilkan maka harus
dipasarkan. Pada konteks inilah aspek kewirausahaannya menjadi penting.
Ketiga, poin ini yang paling mendasar, karena
aktifitas menulis tergusur dengan budaya dan prilaku instan masyarakat, yang
lebih suka dengan serba ketersediaan. Hadirnya perangkat teknologi, yang
seharusnya menjadi penopang akan mudahnya aktifitas menulis, malah membunuh
aktifitas menulis. Sekedar menyebut contoh saja, fasilitas pencari informasi di
internet, yang menyediakan apa saja secara mudah, atau gaya komunikasi via sms,
yang amat sangat memiskinkan kata yang berujung pada sulitnya lahir
kalimat-kalimat yang berujung pada paragraf tulisan.
Keempat, sebagai akibat selanjutnya, maka budaya
baca akan sulit tumbuh dalam masyarakat. Padahal kunci pertama dari aktifitas
menulis itu adalah adanya budaya baca
pada diri seseorang maupun kelompok-masyarakat. Sangat sulit membayangkan akan
adanya dinamika writerprenur dalam masyarakat, jikalau saja tidak ada budaya baca.
Sebab, siklusnya secara sederhana dari proses ini adalah; proses internalisasi
yakni memasukkan informasi dalam diri
melalui kegiatan baca, lalu melangkah pada proses elaborasi, yakni
mencerna informasi, selanjutnya proses eksternalisasi, yakni mengeluarkan
kembali informasi yang sudah diolah itu, yang salah satu bentuknya adalah lewat
tulisan. Ibaratnya kita makan (internalisasi) lalu dicerna (elaborasi) kemudian
melahirkan energi (eksternalisasi).
Pada konteks inilah amat penting untuk merancang, sekaligus
merekayasa gerakan literasi menuju masyarakat literasi. Yang secara sederhana
kerangkanya dapat ditegaskan, dari pribadi-pribadi, para pegiat literasi
didorong menjadi komunitas literasi, dan dari komunitas direkayasa menjadi
masyarakat literasi.
Adanya pribadi-pribadi, yang wujud konkritnya sebagai pegiat
literasi, yang punya komitmen terhadap gerakan literasi, harus dikonsolidasi
menjadi kekuatan dalam bentuk komunitas literasi. Secara strategis, dalam
komunitas inilah api literasi senantiasa dipelihara nyalanya jangan sampai
padam. Sebab, asumsinya adalah jikalau api literasi ini terus menyala dalam
komunitas, apalagi komunitas ini mampu mengkloning dirinya, maka alamat baik
hadirnya masyarakat literasi sudah mengalami penghampiran.
Masalahnya kemudian adalah, bagaimana wajah realitas kita
saat ini dalam kaitannya dengan gerakan literasi? Khususnya dalam bentuk
komunitas literasi? Setidaknya, menurut Gola Gong, saat ini kita sudah memasuki
gelombang ketiga dari gerakan literasi ini. Pertama, gelombang
gerakan komunitas literasi yang memaknainya sebagai kegiatan baca-tulis saja,
yang diwujudkan dalam bentuk adanya perpustakaan, taman baca, ataupun
bentuk-bentuk yang sejenis. Pada intinya dari aktifitas yang berlangsung pada
komunitas ini adalah, sekedar meminjam dan mengembalikan buku.
Kedua, gelombang gerakan komunitas literasi
yang lebih variatif. Di dalamnya sudah ada aktifitas diskusi, penerbitan,
lounching, pelatihan, lomba yang
kesemuanya bermuara pada aspek yang berkaitan dengan literasi. Ketiga,
menggunakan ikon budaya pop – musik, film, nonton, hacking, jalan-jalan,
fotografi, ngobrol-- sebagai pintu masuk untuk mendorong spirit literasi ini.
Pertanyaannya kemudian adalah, pada fase mana lingkungan
kita dalam kaitannya dengan gelombang gerakan literasi ini? Pertanyaan ini
penting diajukan, sebab akan amat sangat menentukan persepsi kita tentang
writerprenur yang mau ditumbuhkan spiritnya itu, dalam kaitannya membangun
masyarakat literasi. Wallahu ‘alam bissawab.
0 komentar:
Posting Komentar