Minggu, 20 Januari 2013

Imam Husein



Imam Husein: Pewaris Yesus Kristus
Refleksi Hari Assyura
Oleh Sulhan Yusuf
Sabtu, 26 Desember 2009 | 22:08 WITA

Yesus menggerakkan dan membangkitkan rakyatnya menentang para penindas tetapi dia tidak mau mempersenjatai dirinya sendiri maupun para pengikutnya. Perlawanan non-kekerasan yang dilakukannya mencerminkan sebagai pendakwah cinta kasih

Setidaknya, di bulan Desember ini ada beberapa momen penting-historis kemanusiaan yang patut untuk diapresiasi. Di antaranya, tahun baru 1431 H bagi umat Islam, Natal bagi kaum Kristiani dan syahidnya Imam Husain pada 10 Muhaarram di Padang Karbala atau Assyura.
Tulisan ini saya hadirkan untuk mengapresiasi momen-momen itu, guna mencari titik-titik temu di antara umat Islam dan Kristiani, khususnya pada ranah realitas kejuangan bagi kemanusiaan, yang merupakan manifestasi Ilahi di muka bumi.Yesus Kristus  atau Isa al-Masih  adalah figur historis yang telah mempersembahkan jalan hidupnya bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan.
           Menurut Ziaul Haque, yang menulis buku Revelation and Revolution Islam ( Wahyu dan Revolusi, 2000), bahwa Yesus adalah: Pertama, seorang nabi-revolusioner, seorang guru yang bertaqwa, seorang hamba kebenaran yang memberontak terhadap korupsi dan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum penindas dan memimpin kaum lemah dan miskin melawan para penindas.
           Dia memerintahkan kaumnya untuk mengikuti jalan ketakwaan dan kebenaran, jalan lurus Allah, dan menjauhkan diri dari semua kejahatan dan kepalsuan.
Kedua, Yesus memberontak terhadap sistem sosial yang palsu dan cara hidup yang munafik, termasuk para pemuka agama yang menggunakan agama sebagai topeng untuk kepentingan duniawi. Mengorbankan segalanya demi sebuah masyarakat baru yang adil berdasarkanpada kebenaran dan kesetaraan.
           Ketiga, Yesus menggerakkan dan membangkitkan rakyatnya menentang para penindas tetapi dia tidak mau mempersenjatai dirinya sendiri maupun para pengikutnya. Perlawanan non-kekerasan yang dilakukannya mencerminkan sebagai pendakwah cinta kasih.
Dia hidup sebagai manusia biasa yang sederhana, jujur, dan rendah hati. Memikirkan orang lain, hidup-menderita-mati untuk orang lain.
           
Pewaris Yesus
           Lalu bagaimana dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh Yesus di kemudian hari?  Setelah perjalanan panjang-berabad-abad lamanya, ternyata situasi sosial itu hadir kembali. Dan itu berarti butuh figur historis lagi, agar panji-panji kemanusiaan bisa ditegakkan kembali. Adakah pewaris Yesus? Pada konteks inilah urgensi menghadirkan figur historis lain semisal Imam Husein, yang telah menorehkan drama perjuangannya, yang berpuncak  pada syahidnya di Padang Karbala.
           Realitas historis yang dihadapi Imam Husein sehingga ia bangkit untuk menentang penguasa pada saat itu, amat mirip yang dihadapi Yesus. Seperti, terjadinya penyimpangan di bidang kekuasaan politik berupa rusaknya lembaga kekhalifahan, penumpukan harta karena makin banyaknya rampasan perang sebagai konsekuensi dari semakin luasnya kekuasaan Islam.
Ada diskriminasi dalam masyarakat antara bangsa Arab-non Arab, korupsi yang merajalela dan masyarakat tidak berdaya di hadapan penguasa, bid'ah berubah menjadi sunnah yang berarti kemunduran akhlak yang luar biasa dan kembalinya pola-pola jahiliah.
      
     Imam Husein yang melihat realitas seperti itu tidaklah tinggal diam. Tapi apa dayanya?  Ia nyaris tidak punya apa-apa. Kakek (nabi Muhammad SAW) dan sahabat-sahabat kakeknya sudah pada tiada, termasuk ayahnya (Imam Ali) telah terbunuh. Begitu juga saudaranya (Imam Hasan) sebagai benteng terakhir telah ditaklukkan oleh Muawiyah. Apalagi tentara untuk berperang, yang bisa angkat senjata tiada pula. Ia hanya punya pengikut, sahabat-sahabat dan keluarga yang jumlahnya sekitar ratusan orang yang akan menghadapi ribuan tentara profesional bersenjata lengkap di Padang Karbala.
            Apa yang terjadi? Pembantaian kemanusiaan yang sangat dramatis dan memilukan sepanjang sejarah. Menjadi menarik mengajukan pendapat salah seorang Cendekiawan Kristen Arab Suriah, Antoine Bara, yang menulis tentang Imam Husein dalam bukunya yang berjudul Husain Fi Fikril Masahi (Pewaris Yesus-Husain Dalam Kristianitas, 2009) bahwa; Pembantaian manusia mana pun dalam sejarah, baik sejarah klasik maupun kontemporer, belum pernah mendapatkan kekaguman, pelajaran, dan simpati seperti yang terjadi pada pembantaian di Karbala.
           Pembantaian ini merupakan peristiwa yang paling menyentuh perasaan umat Islam, dan sangat berpengaruh terhadap perjalanan akidah Islam. Sekiranya hal itu tidak terjadi, niscaya Islam hanya berupa agama yang tampak lahiriahnya saja tanpa akidah terpatri di dalam dada dan keimanan yang memenuhi emosi setiap Muslim.
            
Menghancurkan Kesesatan
          
Apa dampak yang berupa ibrah, yang ditimbulkan oleh revolusi yang dilakukan oleh Imam Husein? Lebih jauh Antoine Bara menulis,  revolusi Husein bin Ali adalah yang pertama, karena dalam bingkai keagamaannya, revolusi tersebut merupakan revolusi pertama yang tercatat dalam sejarah Islam dan sejarah-sejarah agama samawi yang lainnya pada tataran prinsip-prinsip dan nilai-nilai akidah.
           Kedua, revolusi itu sebagai pelopor karena menjadi pembuka semangat revolusi, dalam hal revolusi spiritual, yang terpatri di dalam dada kaum Muslim. Revolusi itu mengingatkan mereka, ketika tidur atau duduk-duduk, tentang makna kemuliaan dan tentang makna bahwa seorang mukmin merupakan gunung yang kokoh di hadapan para penyebar fitnah yang mengatasnamakan agama dan para pembuka jalan-jalan kemusyrikan serta kesia-siaan yang mengatasnamakan aqidah.Revolusi itu merupakan ajakan lantang guna menghancurkan tonggak-tonggak kesesatan, dan menghadapi tujuan korup orang-orang yang menyimpang dari jalan syariat.
           Ketiga, revolusi itu tiada tandingannnya, dikarenakan revolusi itu menghujam ke dalam batin kaum Muslim, dengan meninggalkan pengaruh-pengaruh ideologis yang sangat besar. Setiap aktivitas orang-orang yang berpegang kepada ajaran Islam dan yang memutuskan perkara atas nama Islam membutuhkan suatu terapi kejut, dalam bentuk suatu pengorbanan yang heroik.
Ketika itu, hal tersebut menghasilkan efek kejut  yang membangkitkan dan mengalirkan cinta dalam batin generasi-generasi berikutnya.
           Keempat, revolusi itu abadi, sebab pada awal dan akhirnya, revolusi tersebut bersifat manusiawai, keluar dari diri manusia dan kembali lagi ke dalam diri manusia dengan dilumuri darah yang suci dan disucikan melalui kesyahidan yang ideal. Dengan begitu, maka revolusi ini bersifat moral, yang dengan moralitas kemanusiaan inilah yang akan mengabadikan dan memandu setiap gerakan revolusioner pada sejarah yang akan tercipta di masa depan.
           Bagaimana dengan realitas kekinian kita saat ini? Dimana korupsi menjadi gaya hidup, jarak sosial hidup kehidupan si kaya dan si miskin semakin menganga, para pemimpin negeri yang masih sangat sibuk memperkaya diri.Keadilan masih merupakan angan-angan, kesejahteraan masih berupa janji-janji, para pemimpin agama hanya sibuk berdakwah secara simbolik dan melupakan pesan-pesan substansial agama. Adakah secercah harapan di antara kita untuk menjadi pewaris Yesus, pewaris Husein?***
*Oleh Sulhan Yusuf Direktur Paradigma Institut Makassar

0 komentar:

Posting Komentar