YANG TERINGAT DARI FORUM LINTAS AKTOR (FLA)
Oleh Sulhan Yusuf
Oleh Sulhan Yusuf
Ada keinginan yang sangat
kuat untuk menuliskan sejumput catatan, atas suatu momentum yang cukup penting
bagi perubahan yang digadang-gadang di Butta Toa-Bantaeng. Yakni, digagasnya
sebuah Forum Lintas Aktor (FLA), yang kemudian dikonsolidasikan dalam sebuah
acara Lokakarya, dan dilanjutkan dengan ekspose hasil lokakarya, dengan harapan
ada tebaran spirit bagi berbagai elemen masyarakat, menuju perubahan, seperti
apa yang diimpikan.
Saya sendiri kemudian terlibat dalam forum
tersebut, dikarenakan oleh adanya anggapan bahwa saya termasuk salah seorang
aktor perubahan di Butta Toa-Bantaeng. Benarkah demikian? Sebab tanya saya ajukan, karena perubahan apa yang telah
saya lakukan, sehingga predikat aktor perubahan dapat disandangkan pada saya.
Terus terang ada pikiran galau dengan adanya penobatan itu.
Tetapi, semuanya bermula dari adanya memo yang
diberikan oleh Zaenal Asri (Manajer TB.
Boetta Ilmoe), ketika saya tiba di Bantaeng. Dua baris tulisan pada secarik
kertas bertuliskan nama Kr. Nini dan nomor kontak. Dan kata Zaenal; “Ada dari
FLA yang mau wawancara”. Jujur saya katakan, saya acuh dengan info itu, karena
tujuan waktu itu ke Bantaeng adalah menghadiri acara Isra’ Mi’raj dan penamatan
santri-santri Pesantren As’adiyah Ereng-Ereng, serta launching buku Bunga-Bumga
Kertas, yang kami terbitkan lewat Boetta Ilmoe.
Setelah pulang dari Ereng-Ereng barulah saya
janjian ketemu dengan Kr. Nini untuk tujuan yang dimaksud, tetapi hingga waktu
yang saya siapkan beliau tidak muncul, dan nanti agak larut baru ada smsnya,
meminta maaf karena rapat di FLA belum
selesai. Esok harinya, saya pun balik ke Makassar, membawa rasa penasaran dan
berbagai tanya, tentang maksud dari rencana wawancara yang batal itu.
Saat perjalanan balik ke Makassar, di atas
mobilnya Codda-D2 – angkutan umum langganan saya—masih penasaran juga dengan
FLA itu. Sejenis mahluk apa itu FLA? Akhirnya, saya coba-coba kontak seorang
kawan, Dion Baharuddin – dedengkotnya Komplen—mengkonfirmasi dan sekaligus
menanyakan mahluk FLA itu. Dari Dion lah saya kemudian mendapatkan gambaran
awal bahwa FlA itu adalah Forum Lintas Aktor daeng !. Dan menurut Dion, oleh
kawan-kawan di FLA saya dikagorikan sebagai salah seorang aktor. Seorang Aktor, benarkah?
Tiba di Makassar, dengan pikir pendek, saya
langsung kontak Kr. Nini mengkonfirmasi prihal bagaimana dengan jadwal dan
teknik wawancara, bahkan saya usul, kirim saja daftar pertanyaannya lewat email
dan nanti saya jawab. Tapi oleh beliau disyaratkan pentingnya ketemu secara
personal, karena rupanya hasil wawancara itu akan dipublikasikan pada acara
lokakrya. Dan kemudian, saya diberi no kontak seseorang yang bernama Andi Hera,
yang akan mewawancarai di Makassar.
Masih dengan pikiran yang pendek, saya pun
langsung kontak Andi Hera untuk mewujudkan acara wawancara itu. Dan beberapa
hari kemudian, wawancara pun berlangsung di salah satu cafe di Makassar. Dari
proses wawancara itulah, saya dapatkan gambaran tentang yang dimaksudkan dengan
aktor. Dan dari kriteria-kriteria yang diajukan, amat sangat memungkinkan untuk
mengkaatgorikan saya sebagai salah seorang aktor perubahan di Butta
Toa-Bantaeng.
Gambaran tentang yang dimaksud dengan aktor
perubahan adalah, mereka yang telah melakukan aktivitas-aktivitas perubahan,
tetapi tidak dikenal, mereka bekerja tanpa founding (penyandang dana), dan
gerakan yang dilakukan berpengaruh pada adanya perubahan pada level individu,
kelompok, masyarakat dan warga. Lalu apa kaitannya dengan perubahan yang telah
saya lakukan? Menurutnya, saya telah melakukan geraakan peningkatan minat
baca-tulis, mendirikan rumah baca-taman baca dan perpustakaan serta melakukan
pelatihan-pelatihan.
Rupanya, perbuatan saya itulah yang kemudian
menyeret menjadi aktor perubahan, khususnya di bidang peningkatan minat
baca-tulis (literasi). Sebab selain saya ada juga aktor-aktor lain, pada bidang
semisal; perencanaan desa, lingkungan, kesehatan, kebidanan, kebersihan, yang
kesemuannya berjumlah 35 Orang. Dan dari jumlah 35 orang ini, yang kemudian
dikonsolidasikan lewat FLA, yang difasilitasi oleh ACCESS-AusaID untuk
menyelenggarankan lokakarya, guna merumuskan apa yang akan dilakukan pada saat
ekspose hasil-hasil lokakarya lewat perayaan para aktor.
Lokakarya yang berlangsung pada tanggal 16 Juni
2011 bertempat di gedung Pertiwi
Bantaeng, dengan fasilitator Haerullah Lodji (Oji). Lokakarya terselenggara
seperti yang diharapkan, mengumpulkan para aktor untuk merumuskan Bantaeng yang
diimpikan dengan berpijak pada apa yang masing-masing para aktor perubahan
telah lakukan. Yang kemudian dibungkus dalam satu tema “Menebar Semangat untuk
Mendorong TKLD yang Lebih Baik di Kabupaten Bantaeng”.
Mengumpulkan para aktor tersebut dalam satu
lokakarya, sama halnya mengumpulkan para bintang perubahan, seperti kata Oji. Kalau
saja boleh saya katakan, lokakarya itu akan melahirkan dream team, team impian.
Ibarat dalam team sepak bola, mengumpulkan para bintang untuk melahirkan team
yang tangguh, menyajikan permainan atraktif, memenangkan pertandingan dan
menyihir para penonton. Kira-kira seperti Real Madrid lah wujudnya, dan Oji
ibarat Jose Mourinhonya lokakarya itu.
Saya amat takjub pada Oji yang mampu menjinakkan
para bintang itu di lokakarya, dan berhasil melahirkan dream team untuk ekspose
pada hari selanjutnya. Mulai dari rumusan-rumusan topik, tehnik
mengekspose-presentasi, durasi waktu yang digunakan, kebersamaan para aktor.
Benar-benar para aktor dalam sehari bisa mewujud menjadi team impian, yang
bermimpi tentang Butta Toa-Bantaeng yang diimpikan. Persis, seperti Real
Madrid, dream team yang sudah siap bertanding, menjadi juara, dan berpesta,
merayakan kemenangan.
Tibalah waktu yang dinantikan, ekspose akan
dimulai, pagelaran akan dipertunjukkan, sihir mulai dipersiapkan
mantra-mantranya. Tetapi, mengapa skenario permainan yang telah dirancang
kurang berjalan dilapangan? Pertunjukan hanya 15 menit pertama menampilkan
permainan sesuai dengan taktik yang telah ditetapkan. Pertandingan menit-menit
selanjutnya, sepertinya hanya di atas kertas. Mengapa? Dream team, team impian,
mulai kehilangan mimpi kolektif--mimpi sebagai sebuah team—para bintang sudah
mulai main dengan mimpi-mimpinya sendiri.
Permainan solo, ego individu mulai muncul, semua
pemain pada mau cetak bola, yang pada akhirnya penampilan dream team, team
impian yang ditunggu-tunggu tidak tampil seperti yang diharapkan. Lalu apa yang
salah dengan team impian ini? Rupanya kebintangan dari setiap aktorlah biang
keroknya. Setiap aktor-bintang bisa seenaknya mengambil tindakan tanpa mempertimbangkan
team yang telah dibangun dengan segenap energi kolektivitas pada sehari
sebelumnya.
Lalu apa yang bisa diharapkan dengan kondisi team
yang morat-marit di atas panggung pagelaran seperti itu? Bila berhadapan dengan
panggung kehidupan bermasyarakat yang dimpikan pada Butta Toa-Bantaeng? Memang
terlalu dini untuk melakukan evaluasi terhadap perayaan para aktor-bintang ini,
karena nilai yang sesungguhnya sebagai buah dari evaluasi kegiatan berada pada
sejauhmana ekspose itu menyihir para hadirin yang hadir, sehingga mereka bisa
bersemangat dan mengikuti kerja-kerja para aktor perubahan. Menarik untuk
diputar ulang film pendek yang disajikan Oji – tentang pria yang
bernyanyi-musik, kemudian orang-orang yang diajak mengikuti iramanya—dalam
memori kita masing-masing. Wahai para aktor, mari kita kembali bernyanyi lewat
lagu: SEMPURNA.***
0 komentar:
Posting Komentar