KHRISNA PABHICARA: BENAR-BENAR PABICARA
Oleh Sulhan Yusuf
Oleh Sulhan Yusuf
Tapi yang lebih menarik lagi bagi saya adalah,
karena pesan pendek itu disusul dengan pemberitahuan bahwa akan dipanel dengan
Khrisna Pabichara, yang penulis novel best seller saat ini, yang berjudul:
Sepatu Dahlan, terbitan Noura Books-Mizan Group. Saking lakunya novel ini, untuk
bulan mei 2012 saja, sudah dua kali naik
cetak. Saya hanya ingin katakan: Miracle, ajaib.
Sesungguhnya, kalau saja tahun yang lalu saya
mengiyakan ajakan Kasman Mc Tutu untuk menjadi pembicara, ketika mendeklarasikan Komunitas Pena Hijau di
Takalar, saat itu pula saya sudah ketemu
dengan Khrisna, karena ia pun hadir pada acara itu. Namun, karena ada agenda
lain, yang sama pentingnya di tempat lain, maka pertemuan itu pun tertunda
hingga setahun kemudian.
Akhirnya, waktu yang direncanakan pun tiba. Pada
dini hari setelah menyaksikan Piala Eropa, antara Spanyol dan Kroasia (1-0),
lalu shalat Subuh, setelah itu buat tulisan atas topik yang diberikan kepada
saya untuk disajikan pada seminar itu. Sub tema yang diamanahkan kepada saya
adalah: Menumbuhkan Writerprenur, Membangun Masyarakat Literasi. Alhamdulillah,
tulisan itu selesai, jam 07.00 pagi, setengah jam kemudian berangkat ke Takalar
dengan “kuda besi”, diiringi hujan yang lumayan deras, untuk pengendara motor
seperti saya. Jam menunjukka 8.30, saya sudah tiba di lokasi, tapi sebelumnya
saya mampir dulu di Mesjid Agung Takalar untuk bersih-bersih kaki yang
belepotan.
Begitu sampai di Lokasi, Aula Bappeda Takalar,
saya langsung mencari tau apakah Khrisna Pabichara sudah datang, ternyata beliau sementara perjalanan dari Jeneponto.
Rupanya beliau menginap di sana, karena memang orang tuanya masih mukim di
Jeneponto, dan ternyata memang baru saya tahu bahwa ia adalah orang Jeneponto,
asli lagi. Ini berarti tetangga bagi saya, sebagai orang Bantaeng. Bagi saya, sebagai pegiat literasi, nama
Bantaeng, Jeneponto dan Takalar kali ini
agak istimewa, khususnya dalam perspektif geo-literasi.
Seminar pun berlangsung, yang pesertanya di
dominasi oleh pelajar, yang dihadiri paling tidak kisaran 50 orang. Sesuai dengan
sub tema yang diberikan kepada Khrisna Pabichara, Menggali Potensi Writership
Pemuda. Ia pun mulai mendemonstrasikan kepampuannya sebagai seorang pembicara
dan sekaligus motivator menulis. Terus
terang, saya amat bahagia dan dapat menikmati presentasi itu. Saya amat larut
dalam pusaran bicaranya, yang menurutku keluar dari hatinya, yang didasarkan
pada pengalaman menulisnya, sehingga benar-benar saya kemudian menyimpulkan,
beginilah orang yang bicara dari hatinya, yang dinisbahkan pada pengalaman, maka
yang mendengar pun akan memakai hatinya untuk menangkap setiap pesan yang
keluar dari tuturnya. Sehingga, hampir sejam ia bicara tidak terasa
menjenuhkan.
Dalam hati saya membatin, mahluk yang satu ini
benar-benar memukau, benar-benar pabicara (pembicara) sesuai dengan nama yang disandarkan padanya,
Pabichara. Amat sedikit orang, yang bisa menulis dengan baik, sekaligus menjadi
pembicara yang baik. Bagiku, Khrisna Pabichara: Benar-benar pabicara. Adapun
saya, lebih banyak mengambil posisi sebagai pelengkap pembicaraan pada seminar
itu, karena forumnya kemudian lebih bergeser kepada semi-lokakarya kepenulisan,
khususnya menulis novel. Sementara saya
bukanlah penulis novel, melainkan pembaca dan penikmat, sekaligus penyebar
novel.
Kurang lebih 3 jam acara itu berlangsung,
tidak terasa, apalagi hujan pun terus menjadi pengiring sebagai penanda acara
itu penuh berkah. Dan di akhir acara, moderator meminta agar Khrisna Pabichara
membacakan puisi. Permintaan itu pun dipenuhi, tetapi ia membacakan prolog dari
novelnya, Sepatu Dahlan. Tidak terasa ada bening kristal di sudut mataku
mengalir tapi tidak sampai ke pipi, karena keburu kutahan, agar masih bisa
kusisakan saat nanti membaca novelnya.
Mungkin baru kali ini aku agak jahil, karena
menodong Khrisna di akhir acara agar memberikan satu eksamplar bukunya kepadaku
sebagai hadiah, sebagai tanda jumpa. Dan ia pun memberikan novelnya itu padaku,
yang disertai catatan singkat: “ Buat Bung Sulhan, tetap berbagi semangat!,
Khrisna Pabichara. Takalar, 19/06/2012.” Lalu kukatakan padanya, suatu waktu ke
Bantaeng agar spirit literasi tetap menyala apinya. Dan ia pun menyanggupi.
Saya kemudian berpisah, tapi sebelumnya ia
menawarkan tumpangannya ke Makassar, karena beliau pakai mobil bersama
ponakannya dari Jeneponto. Tapi kukatakan terima kasih, saya naik “kuda besi”.
Dan hujan pun kuterobos. Anehnya, dalam perjalanan pulang dikarenakan hujan
agak deras, maka saya pun mampir di sebuah warung untuk mengisi kampung tengah,
sambil menunggu hujan agak reda. Diluar dugaan, ia pun dan rombongannya mampir
di warung yang sama. Setelah itu, kami
pun pisah, dan saya belum tahu momentum apalagi yang akan mempertemukan kelak.
Pada sisa perjalanan pulang, banyak hal yang
melintas dalam pikiranku, saya pun membatin bahwa obsesi menggerakkan komunitas
literasi menuju masyarakat literasi, adalah sebuah perjalanan panjang, yang
masih lebih panjang jaraknya dari
Makassar ke Takalar, dan balik lagi dari Takalar ke Makassar, karena gerakan
literasi akan senantiasa melintasi masa, dari generasi ke generasi.
Yang pasti
dalam benakku selama perjalanan pulang adalah saya akan menuliskan
catatan perjalanan, sebagai bagian dari tradisi menulis untuk kepentingan
gerakan literasi, dalam dua lema dengan judul,
KHRISNA PABICHARA: BENAR-BENAR PABICARA.
Pabbentengang-Makassar, 19 Juni 2012, pukul
22.05.
0 komentar:
Posting Komentar