Minggu, 20 Januari 2013

AKAR DAN POSISI FUNDAMENTALISME ISLAM PADA LANSKAP KEUMMATAN



AKAR DAN POSISI

FUNDAMENTALISME ISLAM PADA LANSKAP KEUMMATAN

Oleh Sulhan Yusuf


“…kehidupan dimulai dan dimulai dari awal lagi hingga tak berakhir.
Aku adalah generasi fundamentalisme Islam.
Sejarah objektifnya adalah juga biografiku…”
            “Aku bagian dari fundamentalisme Islam. Hanya saja aku tidak masuk penjara atau mendapat siksaan fisik. Akan tetapi aku melakukan aktivitas pemikiran dan politik secara natural dan terang-terangan, di atas bumi dan bukan di bawah tanah”
      (Hassan Hanafi)

Memahami fundamentalisme, khususnya fundamentalisme Islam  sebagai suatu objek kajian, maka paling tidak ada beberapa hal yang sangat urgen untuk ditandaskan. Pertama, asal-usul dari istilah fundamentalisme itu sendiri. Kedua, berkenaan dengan muatan atau karakteristik nilai apa yang dibawa  oleh istilah tersebut. Ketiga, apa dampak yang diberikan oleh istilah ini –yang asal muasalnya dari luar khazanah Islam– ketika dilengketkan dengan Islam. Keempat, bagaimana reaksi atau sikap kaum intelektual sebagai akibat dari penerapan istilah itu. Kelima, dengan segala macam bias pengertian, bagaimana kemudian perkembangan model pemikiran ini menyajikan peran historisnya dalam rangka menjawab tantangan yang dihadapi oleh dunia Islam.  
            Adalah Riffat Hassan, --yang dikenal sebagai salah seorang Feminis Muslim– telah menulis bahwa fundamentalisme, pada dasarnya adalah suatu istilah yang asal-usulnya pertama kali muncul dalam The Shorter Oxford English Dictionary pada 1923, setelah terbit dua belas risalah teologis yang berjudul The Fundamentals : A Testimony to The Truth. Tulisan  ini, oleh para penerjemah dilaporkan memakai  pendekatan scientific-critical dari para teolog Protestan terhadap studi tentang Injil.
Sebagaimana yang dinyatakan George Marsden bahwa fundamentalisme adalah suatu sub-jenis dari penyebaran agama Nasrani. Istilah tersebut dimulai di Amerika pada 1920 dan menunjuk kepada para pengabar Injil yang menghubungkan pemimpin Kristen mereka, untuk wajib bertempur dengan tanpa kompromi terhadap teologi kaum modernis dan kecendrungan kultural tertentu yang sekuler. Mengorganisir militansi  adalah masa depan yang sangat jelas membedakan kaum fundamentalis dari para pengabar Injil lainnya.[1]
            Munculnya fundamentalisme sebagai gerakan keagamaan sesungguhnya merupakan reaksi terhadap perjalanan panjang pergolakan dan pertarungan pemikiran di dunia Barat, tepatnya hubungan antara perseteruan sebagai akibat dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan semakin merosotnya peran gereja. Peranan gereja yang demikian besar, secara perlahan menjadi pudar, apalagi setelah muncul beberapa gerakan-gerakan besar di Eropa, semisal terjadinya Renaisance, bangkitnya Humanisme dan Reformasi.
Gerakan-gerakan besar inilah yang kemudian menyebabkan kemajuan di bidang ilmu pengtehuan, yang pada akhirnya kemudian melahirkan Revolusi Industri, yang membawa perubahan radikal terhadap pandangan manusia atas agama,  matilah agama” (Marx), dan bahkan  Allah sudah mati” (Nietszche) adalah semboyan dan slogan yang cukup populer kala itu, khususnya pada kaum muda.[2]
            Gerakan fundamentalisme kemudian menegaskan diri dan menarik garis-garis perjuangan, yaitu: 1) Pernyataan Allah dipertentangkan dengan akal manusia, 2) Kitab suci dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan, 3) Untuk mengamankan Kitab Suci terhadap kritik Kitab Suci (penelitian secara historis-kritis), maka diciptakanlah ajaran tentang inspirasi harfiah, yang menyatakan bahwa Kitab Suci itu inerrant (tidak dapat salah), 4) Mencap orang yang tidak sependapat dengan mereka sebagai “orang Kristen yang tidak benar”.[3]
            Penegasan diri dan jargon perjuangan inilah yang kemudian melahirkan “daya tarik” tersendiri, sehingga gerakan fundamentalisme menjadi gerakan yang cukup memikat, karena, Pertama, gerakan ini merupakan gerakan yang militan (a militan organization). Kedua, rumusan-rumusan doktrin keagamaan yang mereka kemukakan serba absolut. Ketiga, melalui penampilan yang absolut itu fundamentalisme kemudian menuntut keterikatan atau commitment para pengikutnya.[4]
            Dari paparan di atas, maka nyatalah bahwa istilah serta muatan nilai-doktrin yang dikandung, bukanlah berasal dari khazanah dunia pemikiran Islam, yang kemudian istilah tersebut dipakai juga untuk mendefenisikan salah satu model interpretasi Islam terhadap tantangan hidup dan kehidupan, khususnya tantangan modernisme-sekularisme. Penerapan istilah fundamentalisme terhadap salah satu corak pemikiran Islam tertentu, mendapatkan banyak tanggapan, baik dari kalangan non-Muslim maupun dari kalangan Muslim  sendiri.       
            Bernard Lewisseorang orientalis kontorversial terkemuka-- misalnya berkomentar bahwa dewasa ini sudah menjadi umum untuk menamakan sejumlah kelompok radikal atau militan Islam dengan sebutan “fundamentalis”. Penggunaan istilah ini sudah dimantapkan dan karenanya mesti diterima, tetapi istilah ini tetap harus disayangkan penggunaannya dan bisa mengacaukan.[5] Atau seperti ulasan dari Roger Graudiseorang filusuf Marxis kebangsaan Perancis yang telah memeluk Islam— bahwa fundamentalisme pada dataran keagamaan tidaklah monolitik dalam sebab dan karakteristiknya.
Lebih dari itu, ia bukan hanya monopoli agama, melainkan juga menggejala dalam politik dan budaya. Bahkan, akar persoalan sebenarnya tidak terletak pada aras teologis, tapi justeru pada arus modernitas yang ternyata mengandung unsur fundamentalis juga. Kalau terdapat kecendrungan fanatis reaksioner dalam fundamentalisme agama, itu tidak lain dari jawaban ekstrim melawan fundamentalisme Barat yang tidak kalah ekstrimnya.[6]
            Atau seperti yang disesalkan oleh Seyyed Hossein Nasr, yang menyatakan bahwa sejauh menyangkut fundamentalisme, penggunaan istilah tersebut oleh para jurnalis --dan bahkan para ahli Islam yang ditujukan kepada fenomena  pemikiran Islam yang luas dalam dunia saat ini – sangat disayangkan dan menyesatkan, sebab istilah tersebut muncul dari konteks umat Nasrani.[7] Demikian pula dengan kemarahan dari Riffat Hassan yang menegaskan, tampak benar-benar nyata bahwa pemakain kata dari istilah-istilah “fundamentalis” dan “fundamentalisme” oleh para ahli Islam terkemuka memperlihatkan tingkat imperialisme religius kaum Nasrani Barat yang telah dirasuki jiwa orang-orang yang dijajah.[8]
Maka menjadi sangat relevan untuk mengajukan kesimpulan dari  Mark Jurgensmeyer, yang mengkritisi pemakaian istilah fundamentalisme, bahwa; Pertama, istilah ini bersifat merendahkan, bernada tuduhan ketimbang penjelasan. Kedua, Fundamentalisme adalah kategori yang tidak tepat untuk membuat perbandingan lintas kultural. Dan yang ketiga, istilah fundamentalisme tidak membawa makna politis dan mengganggap motivasinya hanya keyakinan-keyakinan religius semata, daripada perhatian yang besar terhadap masyarakat dan dunia.[9]

Fundamentalisme Islam: Adakah?
            Meskipun demikian biasnya istilah fundamentalisme ini terhadap pemaknaan gerakan-gerakan Islam, yang mencoba untuk memberikan tawaran-tawaran solutif terhadap problem yang dilahirkan oleh modernisme-sekularisme, tetapi ada hal yang menarik, Pertama, ada gerakan-gerakan dan pemikiran Islam yang muncul, yang memang tidak sedikit indikator-indikatornya memilki persamaan-persamaan dengan gerakan fundamentalisme yang muncul di dunia Protestan-Barat. Kedua, ada kesulitan tersendiri untuk mencari padanan istilah dalam Islam yang bisa dipakai untuk kepentingan studi, khususnya ketika ingin mendeskripsikan gerakan dan pemikiran Islam yang muncul.
            Karenanya, dengan tetap beranggapan bahwa istilah fundamentalisme sarat dengan bias pemaknaan, maka tulisan inipun tetap memakai istilah fundamentalisme, yang didasarkan pada asumsi seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim Abubakar, bahwa ada beberapa persamaan antara fundamentalisme Kristen dan fundamentalisme Islam. Pertama, fundamentalisme memberikan penekanan kepada interpretasi literal terkadap kitab-kitab suci agama. Kedua, fundamentalisme dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme dan militanisme. Ketiga, fundamentalisme memberikan penekanan kepada pembersihan agama dari isme-isme modern seperti modernisme, liberalisme dan humanisme. Keempat, kaum fundamentalis mendakwa diri mereka sebagai penafsir agama yang benar, dan selain mereka adalah sesat dan menyeleweng.
            Atau kerangka penjelas seperti yang dikemukakan oleh Martin E. Marty --seorang sosiolog agama— dapat diterapkan dalam melihat gejala fundamentalisme Islam, dengan beberapa prinsip;
1.      Prinsip pertama fundamentalisme adalah “oppotitionalism” (paham perlawanan).
2.      Prinsip kedua adalah penolakan terhadap hermeneutika, Dengan kata lain, kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya.
3.      Prinsip ketiga adalah penolakan terhadap pluralisme dan relativisme.
4.      Prinsip keempat adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis.[10] 
            Selain itu, patut pula dikemukakan pandangan Hassan Hanafi tentang fundamentalisme Islam, guna dijadikan bahan pertimbangan dalam menganalisis perkembangan gerakan dan pemikiran Islam yang dikatagorikan sebagai gerakan dan pemikiran kaum fundamentalis. Bagi Hassan Hanafi, sulit sekali menemukan istilah lain yang komprehensip dari gerakan fundamentalisme Islam yang sudah terlanjur menjadi term nama di Barat untuk menyebut gerakan Sahwa Islamiyyah, al-Ba’s al-Islami atau “Revitalisasi Islam” yang sedang marak di dunia Islam sekarang ini. Term al-Usuliyyah Islamiyyah yang secara literal diterjemahkan Barat sebagai Islamic Fundamentalism (Fundamentalisme Islam) ini dalam eskalasi sejarah umat Islam sebenarnya tidak menunjuk sama sekali pada paham pemikiran atau politik tertentu sebagaimana pemahaman yang sudah terlanjur saat ini.[11]
            Lebih jauh dan sangat mendasar pandangan Hassan Hanafi yang menyatakan bahwa;
fundamentalisme Islam tidak mesti diidentikkan sebagai  konservatif, terbelakang, dan menentang peradaban modern. Toh banyak tokoh-tokoh reformis  yang beraliran progressif dan tercerahkan juga memanfaatkan sarana-sarana modern, bahkan mengadopsi teknik-teknik kebangkitan modern. Mereka menyerukan pula pada kaum muslimin untuk mempelajari sains dan industri, juga sistem-sistem kebebasan dan demokrasi. Fundamentalisme Islam juga tidak bisa diartikan sempit sebagai fanatisme, berwawasan sempit, menolak dialog, dan menutup diri (ekslusif). Buktinya, banyak representator fundamentalisme Islam yang terkenal sebagai pemikir liberal, rasional, berwasan luas, menguasai sejarah bangsa-bangsa sedunia, menerima tantangan zaman, terbuka pada peradaban-peradaban modern, bahkan menulis tentang toleransi dan saling kerjasama, serta menyerukan persaudaraan dan cinta kasih. Begitu pula ia tidak bisa diklaim sempit sebagai organisasi-organisasi tertutup, baik yang bergerak secara terang-terangan maupun yang bergerak dibawah tanah, atau tidak bisa dikalim sebagai kelompok sampelan dan menyeleweng (splinter group). Karena fundamentalisme Islam sendiri mencanangkan pembentukan pribadi yang sempurna untuk mengemban misi persatuan ummat yang holistik dan menyeluruh, mendidik masyarakat, mendirikan negara umat, dan mempertahankan identitasnya. Pun, fundamentalisme Islam tidak bisa dituduh serampangan sebagai anarkis dan machiavelis yang selalu menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya, mengkudeta rezim penguasa dan merencanakan pembunuhan-pembunuhan berbau politik. Terakhir, fundamentalisme Islam tidak bisa dipandang sebagai hanya militansi ritual dan perfoma luar, memanjangkan jenggot, memakai hijab, tuntutan penerapan syariat Islam, mendirikan negara Islam, dan aktivitas membangun masjid. Karena fundamentalisme Islam sendiri banyak melahirkan gerakan-gerakan kemerdekaan melawan penjajahan di Sudan, Libya, Mesir, Tunis, Aljazair, Palestina dan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya.[12]

Bertolak dari kerangka konseptual tersebut diatas, maka dapatlah pula disimpulkan bahwa fundamentalisme dalam Islam, tidaklah tunggal dan sangat plural, baik dari segi persepsi, metodologi gerakan, konsep-konsep pemikiran, latar belakang kehadiran maupun organisasi gerakannya. Sehingga, ulasan-ulasan yang berikut akan mencoba melacak perkembangan gerakan fundamentalisme Islam, dengan asumsi bahwa pluralitas yang ada dapat disederhanakan dalam lanskap karakter dan katagori yang terwujud  dalam wajah yang radikal dan moderat.
                                                                                                                 
Fundamentalisme Islam: Akar Historis dan Sosiologis
Adalah Roger Graudi yang memberikan pandangannya bahwa latar belakang dari kehadiran fundamentalisme, khususnya fundamentalisme dalam Islam sebagai reaksi atas modernisme Barat yang masuk ke dunia Islam. Bahkan, analisis Graudi lebih jauh lagi, bahwa fundamentalisme bisa dilacak akarnya dalam pandangan hidup Barat tampil dalam tiga bentuk, yaitu Fundamentalisme Sekular, Fundamentalisme Stalinis dan Fundamentalis Vatikan.[13] Seperti dikemukakannya, fundamentalisme Barat adalah sebab pertama, sedangkan fundamentalisme-fundamentalisme lainnya (termasuk fundamentalisme Islam) adalah reaksi terhadap fundamentalisme Barat.[14]
Pandangan Graudi tersebut di atas, mengisyaratkan bahwa fundamentalisme adalah sesuatu yang relatif masih baru dan bersifat kontemporer. Menurut Azyumardi Azra, orang seperti Graudi keliru dengan menisbahkan kemunculan fundamentalisme Islam semata-mata dengan dunia Barat modern. Menuding Barat sebagai satu-satunya penyebab pertumbuhan gerakan fundamentalisme Islam, bukan hanya merupakan pencerminan sikap apologetik, tetapi juga mensimplifikasikan gejala perkembangan sosio-historis kaum Muslimin.[15]
Bagi Azyumardi Azra, fundamentalisme Islam tidaklah sepenuhnya baru. Sebelum munculnya fundamentalisme kontemporer terdapat gerakan yang mungkin dapat disebut sebagai prototype gerakan-gerakan fundamentalisme yang muncul dalam masa-masa lebih belakangan. Makanya, untuk menghindari kekeliruan ini, ada baiknya kita membagi gerakan fundamentalisme menjadi dua tipologi, yaitu pra modern dan neo-fundamentalisme (dapat pula disebut fundamentalisme kontemporer).[16] Uraian berikut akan mendeskripsikan perkembangan historis-sosiologis fundamentalisme Islam dari kedua tipologi tersebut.

1)      Fundamentalisme Islam Pra-Modern
Fundamentalisme pra-modern muncul disebabkan situasi dan kondisi tertentu di kalangan umat Muslimin sendiri. Karena itulah lebih genuine dan inward orientedberorientasi ke dalam ummat Islam sendiri. Gerakan fundamentalis Islam pra-modern pertama, yang selanjutnya menjadi prototype banyak gerakan fundamentalis Islam muncul di semenanjung Arabia, di bawah pimpinan Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab (1703-1792). Banyak dipengaruhi gagasan-gagasan pembaruan Ibn’ Taimiyah dan memperoleh pendidikan di kalangan ‘ulama’ reformis di Haramayn, Ibn’ Abd al-Wahhab menggoyang pendukung reformisme Islam ketitik ekstrim: fundamentalisme Islam radikal.[17]
Ibn’ Taimiyah sendiri memperkuat gerakan anti rasionalisme ini dengan menolak setiap penggunaan logika dalam khazanah ilmu-ilmu Islam dan sekaligus menolak praktek-praktek yang tidak ada dasarnya  dalam teks Al-Qur”an dan Hadis. The Encyclopedia of Islam menyebut Ibnu Taimiyah sebagai bitter enemy of innovations. Paham Ibnu Taimiyah dihidupkan kembali oleh Muhammad b. ‘Abd Wahhab lima abad kemudian. Seperti Ibnu Taimiyah, ia mencela kaum mutakallimin, filusuf dan sufi. Dalam kalimat W.C.Smith, Muhammad b. Abd Al-Wahhab menolak “the corruption and laxity of the contemporary decline, the introvert warmath and other wordly pety of the mystic way, …the alien intelectualism not only of philosophy but also theologi”[18]
Bekerjasama dengan kepala kabilah lokal di Nejed, Ibn Sa’ud (w.1765), Ibn’ Abd al-Wahhab melancarkan jihad terhadap kaum Muslim yang dipandangnya telah menyimpang dari ajaran Islam yang “murni” yang menurutnya banyak mempraktekkan bid’ah, khurafat, takhyul dan semacamnya. Fundamentalisme Wahhabi tidak hanya berupa purifikasi tawhid, tetapi juga penumpahan darah serta penjarahan Makkah dan Madinah, yang diikuti pemusnahan monumen-monumen historis yang mereka pandang sebagai sumber praktek-praktek menyimpang.[19]
Fundamentalisme Islam, baik langsung atau tidak dipengaruhi Gerakan Wahhabi, segera muncul di berbagai penjuru dunia Islam. Di Nigeria Utara, Syaikh ‘Utsman dan Fodio (1754-1817), yang secara intelektual mempunyai kaitan erat dengan jaringan  ulama’ reformis yang berpusat di Haramayn melancarkan aksi jihad memerangi penguasa Muslim dan pendukung-pendukungnya yang dipandangnya korup dan menjalankan praktek-praktek Islam yang bercampurbaur dengan tradisi budaya lokal. Juga di Afrika Barat, di bawah pimpinan al-Hajj ‘Umar Tal (1794-1865), gerakan jihad berlangsung hingga menyebar ke wilayah-wilayah Guinea, Senegal dan Mali.[20]
Selanjutnya , hal yang sama juga terjadi di dunia Muslim yang lain, gerakan fundamentalis yang mirip Wahhabi berlangsung di Minangkabau dalam wujud Gerakan Padri. Namun lahan yang paling subur dari gerakan fundamentalis ala Wahhabi ini terjadi di Anak Benua India. Di bawah bimbingan Sayyid Ahmad al-Brelvi (atau Ahmad Syahid, 1786-1831), yang mengambil inspirasi dari ajaran-ajaran Syah Wali Allah (1703-1762) dan putranya Syah ‘Abd Al-‘Aziz (w.1824), memaklumkan jihad untuk memurnikan Islam dari pengaruh budaya lokal, hindu dan Sikh.
Muncul pula gerakan Fara’idhi di Bengal, yang dikembangkan oleh Haji Syari’at Allah (1781-1840), yang pada intinya menekankan pada penerapan syari’at dan ajaran-ajaran al-Qur’an lainnya secara ketat. Syariat Allah menggalang massa petani Muslim untuk melakukan jihad melawan kaum Hindu dan Inggris.[21]
Akhirnya gerakan fundamentalisme memasuki masa transisi, yakni ketika muncul gerakan jihad yang diorganisir oleh Sayyid Muhammad ‘Abd Allah Hasan (1864-1920), di Sudan dan Somalia. Antara tahun 1899 sampai 1920, ia memimpin jihad melawan musuh internal (muslim lain) dan musuh eksternal (Inggris, Italia dan Prancis). Gerakan ini dalam perkembangan lebih lanjut mengklaim kemunculan Imam Mahdi dalam diri Ahmad b. Allah (1844-1885). Nama yang terakhir ini memaklumkan kemahdiannya pada 1881. Ia menuntut kesetiaan dari para pengikutnya melalui bay’ah; hijrah dari wilayah Muslim lain; dan jihad untuk mensucikan Islam dari pengaruh keberhalaan dan bid’ah.[22]
2) Neo-Fundamantalisme Islam
Studi tentang sejarah perkembangan ummat Islam sering dibagi  menjadi periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800-sekarang) dan pada periode modern inilah, atau abad ke-19, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta terjadinya kontak dengan dunia Barat modern, selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru tersebut.[23]
Kebangkitan Neo-Fundamentalisme adalah reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial politik, dan ekonomi Barat, baik sebagai akibat kontak langsung dengan Barat maupun melalui pemikir Muslim --tegasnya kelompok modernis, sekularis, dan westernis— atau rejim pemerintahan Muslim yang menurut kaum fundamentalis merupakan perpanjangan mulut dan tangan Barat.[24] Interaksi, penetrasi dan akhirnya penjajahan Barat atas hampir seluruh wilayah Muslim dalam masa modern tidak hanya mengakibatkan disintegrasi politik Muslim, tetapi juga menimbulkan pergumulan yang sangat intens di kalangan kaum Muslim sendiri.[25]
Superioritas Barat merangsang munculnya usaha-usaha pembaharuan (modernisme) di kalangan pemikir Muslim. Di Turki Utsmani misalnya, sejak 1730-an melancarkan pembaharuan-pembaharuan militer dan birokrasi secara kontinyu yang pada akhirnya berpuncak pada westernisasi dan sekularisasi. Begitupun juga di tempat lain, seperti Mesir, India-Pakistan, juga mengalami hal yang serupa. Lahirlah kemudian para tokoh pembaharuan pemikiran Islam, mulai dari Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Rifa’ah al-Tahtawi, ‘Ali Abd al-Razik, Sayyid Ahmad Khan, Abd Kalam Asad, Muhammad Iqbal, dan masih banyak lagi yang lainnya.[26]   
Dalam evolusi pembaharuan ini, jelas terlihat bahwa Islam mengalami proses periferalisasi atau marjinalisasi, sehingga nyaris tidak mempunyai kedudukan signifikan dalam berbagai bentuk pembaharuan. Apalagi ditambah dengan kompleksitas perkembangan “internal” muslim yang semakin rumit dengan perubahan-perubahan peta politik, khususnya di Timur Tengah. Semua perkembangan ini memberikan momentum  kebangkitan neo-fundamentalisme.[27] Dan gerakan neo-fundamentalisme yang  paling  awal lahir adalah gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir.[28]
Gerakan Ikhwanul Muslimin didirikan pada 1928, oleh Hasan al-Banna, yang pada intinya ia merumuskan ideologi Ikhwanul Muslimin sebagai ideologi yang total dan komprehensif, yang didasarkan pada tiga pandangan pokok; Pertama, Islam adalah sistem komprehensif yang mampu berkembang sendiri; kedua, Islam memancar dari dua sumber fundamental, yakni al-Qur’an dan Hadist; ketiga, Islam berlaku untuk segala waktu dan tempat.
Dari pandangan pokok inilah program Ikhwanul Muslimin dirumuskan: Pertama,internasionalisasi” organisasi, guna membebaskan seluruh wilayah Muslimin dari kekuasaan dan pengaruh asing. Kedua,  membangun di wilayah Muslimin yang telah dibebaskan itu pemerintahan Islam, yang memperaktekkan prinsip-prinsip Islam --menerapkan sistem sosialnya secara menyeluruh.[29]
Tokoh lain yang cukup berperan di Ikhwanul Muslimin, bahkan bisa dikatagorikan sebagai salah seorang ideolognya adalah Sayyid Qutb. Ketika Al-Banna meninggal, kepemimpininan di Ikhwanul Muslimin mengalami krisis yang cukup serius. Tapi dengan tampilnya Sayyid Qutb di garda depan, justeru kematangan gerakan Ikhwanul Muslimin menemukan bentuknya yang sempurna. Doktrin sentral  Sayyid Qutb adalah konsepnya tentang “jahiliyah modern”, yakni modernitas sebagai “barbaritas baru”. Meskipun konsep Jahiliah Modern itu sendiri pertama kali dikemukakan oleh Abu  A’la al-Maududi, pada tahun 1939.
Gerakan neo-fundamentalisme lain yang cukup signifikan untuk ditelaah adalah gerakan Jama’at-I-Islami, yang didirikan oleh Abu A’la al-Maududi pada tanggal 21 Agustus 1941. Sebenarnya, Jamaat-I-Islami  ini hanyalah salah satu partai politik yang ada di Pakistan. Akan tetapi yang luar biasa adalah pengaruh konsep-konsep perjuangan yang diajukan dan integeritas ketokohan pendirinya. Sehingga, pengaruhnya terasa sampai juga mengilhami beberapa gerakan-gerakan Islam di luar Pakistan, seperti di beberapa negara Timur Tengah, Iran, Afganistan, Malaysia dan juga Indonesia.
Tujuan pendirian dari Jama’at-I-Islami sebagaimana termaktub dalam anggaran dasarnya adalah; “menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi” dan “menegakkan Islam sebagai jalan hidup” bagi umat manusia. Kedua tujuan tersebut, menurut Maududi adalah identik dengan tujuan Islam itu sendiri yang mengandung sifat universal. Kedua tujuan itu perlu dicapai, mengingat malapetaka yang menimpa umat manusia bermula dari sikap manusia sendiri yang menjadikan diri mereka sendiri sebagai pihak yang “berdaulat” dan bukannya Tuhan. Menegakkan  Islam sebagai “jalan hidup” dan “sistem kehidupan” adalah mutlak, karena  sistem-sistem lain” telah “terbukti” gagal menyelamatkan manusia dari jurang keruntuhannya. Islam adalah “satu-satunya alternatif” bagi masa depan manusia.[30]  
Tampilnya Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb dan Abu A’la al-Maududi, dapat dikatakan merupakan trio neo-fundamentalis  atau bahkan telah menjadi ikon, pilar dan simbol inspirasi perlawanan di berbagai belahan dunia Islam. Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa akar neo-fundamentalisme Islam, sesungguhnya dapat dilacak pada tiga tokoh dan sepak terjang gerakan yang digumulinya tersebut.
Gerakan Revolusi Islam di Iran, setidaknya juga mendapat pengaruh, meskipun bukan satu-satunya faktor dominan. Begitupun juga gerakan-gerakan neo-fundamentalis yang lebih mutakhir, yang lebih bersifat kontemporer, semisal gerakan Taliban dan Hisbuttahrir, yang muncul belakangan ini di berbagai wilayah Islam maupun di negara-negara Barat. Uraian deskriptif tentangnya membutuhkan pembahasan dan ulasan tersendiri.***






[1]     Hassan. Riffat, Mempersoalkan Istilah Fundamentalisme Islam, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 3, Vol.IV, Th.1993, hal. 32.
[2]     Soetapa. Djaka, Asal-Usul Gerakan Fundamentalisme, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 3, Vol.IV, Th.1993, hal. 6
[3]     Soetapa. Djaka, ibid, hal. 7
[4]     Soetapa. Djaka, ibid, hal. 7
[5]     Lewis. Bernard, Bahasa Politik Islam, Jakarta, Gramedia, 1984. hal. 204-205
[6]     Sahal. Ahmad, Roger Graudi Tentang Fundamentalisme, riset redaksi jurnal Islamika, No. 1, Juli-September 1993, hal. 150-151.
[7]     Hassan. Riffat, op.cit. hal. 33
[8]     Hassan. Riffat, ibid, hal. 33
[9]     Jurgensmeyer Mark, Menentang Negara Sekuler, Bandung, Mizan, 1998 hal. 16-18.
[10]    Azra. Azyumardi, Fenomena Fundamentalisme Dalam Islam Survey Historis dan Doktrinal, Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 3, Vol.IV, Th.1993. hal. 18.
[11]    Hanafi. Hassan, Aku Bagian Dari Fundamentalisme Islam, Yogyakarta, Islamika, Cet. I, 2003, hal.107.
[12]    Hanafi. Hassan, ibid, hal.108-109.
[13]    Sahal. Ahmad, lok.cit. hal. 150-151.
[14]    Azra. Azyumardi, lok.cit. hal 18.
[15]    Azra. Asyumardi, ibid. hal 18.
[16]    Azra. Asyumardi, ibid. hal 18.
[17]    Azra. Asyumardi, ibid. hal 18.
[18]    Rakhmat. Jalaluddin, Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih, Bandung, Mutahhari Press, Cet. Ketiga, 2003, hal.213-214
[19]    Azyumardi Azra, op.cit, hal. 20
[20]    Azyumardi Azra, ibid, hal. 20
[21]    Azyumardi Azra, lok.cit
[22]    Azyumardi Azra, ibid, hal. 21
[23]    Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)
[24]    Azyumardi Azra, ibid, hal. 19
[25]    Azyumardi Azra, ibid, hal. 21
[26]    Ulasan yang memadai tentang tokoh dan gerakan pembaharuan dalam Islam, dapat dijumpai  melalui penjelasan  Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975
[27]    Azra. Azyumardi, lok.cit.
[28]    Studi yang mendalam tentang gerakan Ikhwanul Muslimin dapat ditelusuri lewat penelitian yang dilakukan oleh Hassan Hanafi dalam buku autobiografinya yang berjudul Aku Bagian Dari Fundamentalisme Islam (Yoyakarta : Islamika, 2003), khususnya pada bagian II dan III.
[29]    Azra. Azyumardi, ibid, hal. 21-22.
[30]    Lihat Yusril Ihza, Maududi dan Jamaat-I-Islami Pembentukan dan Tujuan Partai Fundamentalis, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 3, Vol.IV, Th. 1993 hal 42-52.

0 komentar:

Posting Komentar