AKAR DAN POSISI
FUNDAMENTALISME ISLAM PADA LANSKAP KEUMMATAN
Oleh Sulhan Yusuf
“…kehidupan dimulai dan dimulai dari awal lagi hingga tak berakhir.
Aku adalah generasi
fundamentalisme Islam.
Sejarah objektifnya
adalah juga biografiku…”
“Aku bagian dari fundamentalisme
Islam. Hanya saja aku tidak masuk penjara atau mendapat siksaan fisik. Akan
tetapi aku melakukan aktivitas pemikiran dan politik secara natural dan
terang-terangan, di atas bumi dan bukan di bawah tanah”
(Hassan Hanafi)
Memahami fundamentalisme, khususnya fundamentalisme
Islam sebagai suatu objek kajian, maka
paling tidak ada beberapa hal yang sangat urgen untuk ditandaskan. Pertama,
asal-usul dari istilah fundamentalisme itu sendiri. Kedua, berkenaan
dengan muatan atau karakteristik nilai apa yang dibawa oleh istilah tersebut. Ketiga, apa dampak yang
diberikan oleh istilah ini –yang asal muasalnya dari luar khazanah Islam–
ketika dilengketkan dengan Islam. Keempat, bagaimana reaksi atau sikap
kaum intelektual sebagai akibat dari penerapan istilah itu. Kelima,
dengan segala macam bias pengertian, bagaimana kemudian perkembangan model
pemikiran ini menyajikan peran historisnya dalam rangka menjawab tantangan yang
dihadapi oleh dunia Islam.
Adalah Riffat Hassan, --yang dikenal sebagai salah seorang Feminis
Muslim– telah menulis bahwa fundamentalisme, pada dasarnya adalah suatu
istilah yang asal-usulnya pertama kali muncul dalam The Shorter Oxford English
Dictionary pada 1923, setelah terbit dua belas risalah teologis yang
berjudul The Fundamentals : A Testimony to The Truth. Tulisan ini, oleh para penerjemah dilaporkan
memakai pendekatan scientific-critical dari para teolog Protestan terhadap studi
tentang Injil.
Sebagaimana yang dinyatakan George Marsden
bahwa fundamentalisme adalah suatu sub-jenis dari penyebaran agama Nasrani.
Istilah tersebut dimulai di Amerika pada 1920 dan menunjuk kepada para pengabar
Injil yang menghubungkan pemimpin Kristen mereka, untuk wajib bertempur dengan
tanpa kompromi terhadap teologi kaum modernis dan kecendrungan kultural
tertentu yang sekuler. Mengorganisir militansi
adalah masa depan yang sangat jelas membedakan kaum fundamentalis dari
para pengabar Injil lainnya.[1]
Munculnya fundamentalisme sebagai
gerakan keagamaan sesungguhnya merupakan reaksi terhadap perjalanan panjang
pergolakan dan pertarungan pemikiran di dunia Barat, tepatnya hubungan antara
perseteruan sebagai akibat dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
semakin merosotnya peran gereja. Peranan gereja yang demikian besar, secara
perlahan menjadi pudar, apalagi setelah muncul beberapa gerakan-gerakan besar
di Eropa, semisal terjadinya Renaisance, bangkitnya Humanisme dan Reformasi.
Gerakan-gerakan besar inilah yang kemudian menyebabkan
kemajuan di bidang ilmu pengtehuan, yang pada akhirnya kemudian melahirkan
Revolusi Industri, yang membawa perubahan radikal terhadap pandangan manusia
atas agama, “matilah agama” (Marx),
dan bahkan “Allah sudah mati” (Nietszche)
adalah semboyan dan slogan yang cukup populer kala itu, khususnya pada kaum
muda.[2]
Gerakan fundamentalisme kemudian
menegaskan diri dan menarik garis-garis perjuangan, yaitu: 1) Pernyataan Allah
dipertentangkan dengan akal manusia, 2) Kitab suci dipertentangkan dengan ilmu
pengetahuan, 3) Untuk mengamankan Kitab Suci terhadap kritik Kitab Suci (penelitian
secara historis-kritis), maka diciptakanlah ajaran tentang inspirasi
harfiah, yang menyatakan bahwa Kitab Suci itu inerrant (tidak dapat
salah), 4) Mencap orang yang tidak sependapat dengan mereka sebagai “orang
Kristen yang tidak benar”.[3]
Penegasan diri dan jargon perjuangan
inilah yang kemudian melahirkan “daya tarik” tersendiri, sehingga
gerakan fundamentalisme menjadi gerakan yang cukup memikat, karena, Pertama,
gerakan ini merupakan gerakan yang militan (a
militan organization). Kedua,
rumusan-rumusan doktrin keagamaan yang mereka kemukakan serba absolut. Ketiga,
melalui penampilan yang absolut itu fundamentalisme kemudian menuntut
keterikatan atau commitment para pengikutnya.[4]
Dari paparan di atas, maka nyatalah
bahwa istilah serta muatan nilai-doktrin yang dikandung, bukanlah berasal dari
khazanah dunia pemikiran Islam, yang kemudian istilah tersebut dipakai juga
untuk mendefenisikan salah satu model interpretasi Islam terhadap tantangan
hidup dan kehidupan, khususnya tantangan modernisme-sekularisme. Penerapan
istilah fundamentalisme terhadap salah satu corak pemikiran Islam tertentu,
mendapatkan banyak tanggapan, baik dari kalangan non-Muslim maupun dari
kalangan Muslim sendiri.
Bernard Lewis –seorang
orientalis kontorversial terkemuka-- misalnya berkomentar bahwa dewasa ini
sudah menjadi umum untuk menamakan sejumlah kelompok radikal atau militan Islam
dengan sebutan “fundamentalis”. Penggunaan istilah ini sudah dimantapkan
dan karenanya mesti diterima, tetapi istilah ini tetap harus disayangkan
penggunaannya dan bisa mengacaukan.[5]
Atau seperti ulasan dari Roger Graudi –seorang filusuf Marxis
kebangsaan Perancis yang telah memeluk Islam— bahwa fundamentalisme pada
dataran keagamaan tidaklah monolitik dalam sebab dan karakteristiknya.
Lebih dari itu, ia bukan hanya monopoli agama,
melainkan juga menggejala dalam politik dan budaya. Bahkan, akar persoalan
sebenarnya tidak terletak pada aras teologis, tapi justeru pada arus modernitas
yang ternyata mengandung unsur fundamentalis juga. Kalau terdapat kecendrungan
fanatis reaksioner dalam fundamentalisme agama, itu tidak lain dari jawaban
ekstrim melawan fundamentalisme Barat yang tidak kalah ekstrimnya.[6]
Atau seperti yang disesalkan oleh Seyyed Hossein Nasr, yang
menyatakan bahwa sejauh menyangkut fundamentalisme, penggunaan istilah tersebut
oleh para jurnalis --dan bahkan para ahli Islam yang ditujukan kepada
fenomena pemikiran Islam yang luas dalam
dunia saat ini – sangat disayangkan dan menyesatkan, sebab istilah tersebut
muncul dari konteks umat Nasrani.[7]
Demikian pula dengan kemarahan dari Riffat
Hassan yang menegaskan, tampak
benar-benar nyata bahwa pemakain kata dari istilah-istilah “fundamentalis”
dan “fundamentalisme” oleh para ahli Islam terkemuka memperlihatkan
tingkat imperialisme religius kaum Nasrani Barat yang telah dirasuki jiwa
orang-orang yang dijajah.[8]
Maka menjadi sangat relevan untuk mengajukan
kesimpulan dari Mark Jurgensmeyer,
yang mengkritisi pemakaian istilah fundamentalisme, bahwa; Pertama, istilah ini
bersifat merendahkan, bernada tuduhan ketimbang penjelasan. Kedua,
Fundamentalisme adalah kategori yang tidak tepat untuk membuat perbandingan
lintas kultural. Dan yang ketiga, istilah fundamentalisme
tidak membawa makna politis dan mengganggap motivasinya hanya
keyakinan-keyakinan religius semata, daripada perhatian yang besar terhadap
masyarakat dan dunia.[9]
Fundamentalisme Islam: Adakah?
Meskipun demikian biasnya istilah
fundamentalisme ini terhadap pemaknaan gerakan-gerakan Islam, yang mencoba
untuk memberikan tawaran-tawaran solutif terhadap problem yang dilahirkan oleh
modernisme-sekularisme, tetapi ada hal yang menarik, Pertama, ada
gerakan-gerakan dan pemikiran Islam yang muncul, yang memang tidak sedikit
indikator-indikatornya memilki persamaan-persamaan dengan gerakan
fundamentalisme yang muncul di dunia Protestan-Barat. Kedua, ada kesulitan
tersendiri untuk mencari padanan istilah dalam Islam yang bisa dipakai untuk
kepentingan studi, khususnya ketika ingin mendeskripsikan gerakan dan pemikiran
Islam yang muncul.
Karenanya, dengan tetap beranggapan
bahwa istilah fundamentalisme sarat dengan bias pemaknaan, maka tulisan inipun
tetap memakai istilah fundamentalisme, yang didasarkan pada asumsi seperti yang
dikemukakan oleh Ibrahim Abubakar, bahwa ada beberapa persamaan
antara fundamentalisme Kristen dan fundamentalisme Islam. Pertama, fundamentalisme
memberikan penekanan kepada interpretasi literal terkadap kitab-kitab suci
agama. Kedua, fundamentalisme dapat dihubungkan dengan fanatisme,
eksklusifisme, intoleran, radikalisme dan militanisme. Ketiga, fundamentalisme
memberikan penekanan kepada pembersihan agama dari isme-isme modern seperti
modernisme, liberalisme dan humanisme. Keempat, kaum fundamentalis mendakwa
diri mereka sebagai penafsir agama yang benar, dan selain mereka adalah sesat
dan menyeleweng.
Atau kerangka penjelas seperti yang
dikemukakan oleh Martin E. Marty
--seorang sosiolog agama— dapat diterapkan dalam melihat gejala
fundamentalisme Islam, dengan beberapa prinsip;
1.
Prinsip pertama fundamentalisme adalah “oppotitionalism”
(paham perlawanan).
2.
Prinsip kedua adalah penolakan terhadap hermeneutika,
Dengan kata lain, kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan
interpretasinya.
3.
Prinsip ketiga adalah penolakan terhadap pluralisme
dan relativisme.
Selain itu, patut pula dikemukakan
pandangan Hassan Hanafi tentang fundamentalisme Islam, guna
dijadikan bahan pertimbangan dalam menganalisis perkembangan gerakan dan
pemikiran Islam yang dikatagorikan sebagai gerakan dan pemikiran kaum
fundamentalis. Bagi Hassan Hanafi, sulit sekali menemukan istilah
lain yang komprehensip dari gerakan fundamentalisme Islam yang sudah terlanjur
menjadi term nama di Barat untuk menyebut gerakan Sahwa Islamiyyah, al-Ba’s
al-Islami atau “Revitalisasi Islam” yang
sedang marak di dunia Islam sekarang ini. Term al-Usuliyyah Islamiyyah
yang secara literal diterjemahkan Barat sebagai Islamic Fundamentalism
(Fundamentalisme Islam) ini dalam eskalasi sejarah umat Islam
sebenarnya tidak menunjuk sama sekali pada paham pemikiran atau politik
tertentu sebagaimana pemahaman yang sudah terlanjur saat ini.[11]
Lebih jauh dan sangat mendasar
pandangan Hassan Hanafi yang menyatakan bahwa;
fundamentalisme Islam tidak mesti diidentikkan
sebagai konservatif, terbelakang, dan
menentang peradaban modern. Toh banyak tokoh-tokoh reformis yang beraliran progressif dan tercerahkan
juga memanfaatkan sarana-sarana modern, bahkan mengadopsi teknik-teknik
kebangkitan modern. Mereka menyerukan pula pada kaum muslimin untuk mempelajari
sains dan industri, juga sistem-sistem kebebasan dan demokrasi. Fundamentalisme
Islam juga tidak bisa diartikan sempit sebagai fanatisme, berwawasan sempit,
menolak dialog, dan menutup diri (ekslusif). Buktinya, banyak
representator fundamentalisme Islam yang terkenal sebagai pemikir liberal,
rasional, berwasan luas, menguasai sejarah bangsa-bangsa sedunia, menerima
tantangan zaman, terbuka pada peradaban-peradaban modern, bahkan menulis
tentang toleransi dan saling kerjasama, serta menyerukan persaudaraan dan cinta
kasih. Begitu pula ia tidak bisa diklaim sempit sebagai organisasi-organisasi
tertutup, baik yang bergerak secara terang-terangan maupun yang bergerak dibawah
tanah, atau tidak bisa dikalim sebagai kelompok sampelan dan menyeleweng (splinter
group). Karena fundamentalisme Islam sendiri mencanangkan pembentukan
pribadi yang sempurna untuk mengemban misi persatuan ummat yang holistik dan
menyeluruh, mendidik masyarakat, mendirikan negara umat, dan mempertahankan
identitasnya. Pun, fundamentalisme Islam tidak bisa dituduh serampangan sebagai
anarkis dan machiavelis yang selalu menggunakan kekerasan untuk mencapai
tujuannya, mengkudeta rezim penguasa dan merencanakan pembunuhan-pembunuhan
berbau politik. Terakhir, fundamentalisme Islam tidak bisa dipandang sebagai
hanya militansi ritual dan perfoma luar, memanjangkan jenggot, memakai hijab,
tuntutan penerapan syariat Islam, mendirikan negara Islam, dan aktivitas membangun
masjid. Karena fundamentalisme Islam sendiri banyak melahirkan gerakan-gerakan
kemerdekaan melawan penjajahan di Sudan,
Libya, Mesir, Tunis,
Aljazair, Palestina dan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim lainnya.[12]
Bertolak dari
kerangka konseptual tersebut diatas, maka dapatlah pula disimpulkan bahwa
fundamentalisme dalam Islam, tidaklah tunggal dan sangat plural, baik dari segi
persepsi, metodologi gerakan, konsep-konsep pemikiran, latar belakang kehadiran
maupun organisasi gerakannya. Sehingga, ulasan-ulasan yang berikut akan mencoba
melacak perkembangan gerakan fundamentalisme Islam, dengan asumsi bahwa
pluralitas yang ada dapat disederhanakan dalam lanskap karakter dan katagori
yang terwujud dalam wajah yang radikal
dan moderat.
Fundamentalisme Islam: Akar Historis dan
Sosiologis
Adalah Roger Graudi yang memberikan pandangannya bahwa latar belakang dari
kehadiran fundamentalisme, khususnya fundamentalisme dalam Islam sebagai reaksi
atas modernisme Barat yang masuk ke dunia Islam. Bahkan, analisis Graudi lebih jauh lagi, bahwa
fundamentalisme bisa dilacak akarnya dalam pandangan hidup Barat tampil dalam
tiga bentuk, yaitu Fundamentalisme Sekular, Fundamentalisme Stalinis dan
Fundamentalis Vatikan.[13]
Seperti dikemukakannya, fundamentalisme Barat adalah sebab pertama, sedangkan
fundamentalisme-fundamentalisme lainnya (termasuk fundamentalisme Islam)
adalah reaksi terhadap fundamentalisme Barat.[14]
Pandangan Graudi tersebut di atas,
mengisyaratkan bahwa fundamentalisme adalah sesuatu yang relatif masih baru dan
bersifat kontemporer. Menurut Azyumardi
Azra, orang seperti Graudi keliru dengan menisbahkan
kemunculan fundamentalisme Islam semata-mata dengan dunia Barat modern.
Menuding Barat sebagai satu-satunya penyebab pertumbuhan gerakan
fundamentalisme Islam, bukan hanya merupakan pencerminan sikap apologetik,
tetapi juga mensimplifikasikan gejala perkembangan sosio-historis kaum
Muslimin.[15]
Bagi Azyumardi Azra, fundamentalisme Islam tidaklah sepenuhnya baru. Sebelum
munculnya fundamentalisme kontemporer terdapat gerakan yang mungkin dapat
disebut sebagai prototype gerakan-gerakan fundamentalisme yang muncul
dalam masa-masa lebih belakangan. Makanya, untuk menghindari kekeliruan ini,
ada baiknya kita membagi gerakan fundamentalisme menjadi dua tipologi, yaitu pra
modern dan neo-fundamentalisme (dapat pula disebut
fundamentalisme kontemporer).[16]
Uraian berikut akan mendeskripsikan perkembangan historis-sosiologis
fundamentalisme Islam dari kedua tipologi tersebut.
1)
Fundamentalisme
Islam Pra-Modern
Fundamentalisme
pra-modern muncul disebabkan situasi dan kondisi tertentu di kalangan umat
Muslimin sendiri. Karena itulah lebih genuine dan inward oriented
–berorientasi ke dalam ummat Islam sendiri. Gerakan fundamentalis Islam
pra-modern pertama, yang selanjutnya menjadi prototype banyak gerakan
fundamentalis Islam muncul di semenanjung Arabia,
di bawah pimpinan Muhammad b. ‘Abd al-Wahhab (1703-1792).
Banyak dipengaruhi gagasan-gagasan pembaruan Ibn’ Taimiyah dan memperoleh pendidikan di kalangan ‘ulama’
reformis di Haramayn, Ibn’ Abd
al-Wahhab menggoyang pendukung reformisme Islam ketitik ekstrim:
fundamentalisme Islam radikal.[17]
Ibn’ Taimiyah sendiri memperkuat
gerakan anti rasionalisme ini dengan menolak setiap penggunaan logika dalam
khazanah ilmu-ilmu Islam dan sekaligus menolak praktek-praktek yang tidak ada
dasarnya dalam teks Al-Qur”an dan Hadis.
The
Encyclopedia of Islam menyebut Ibnu
Taimiyah sebagai bitter enemy of innovations.
Paham Ibnu Taimiyah dihidupkan
kembali oleh Muhammad b. ‘Abd Wahhab
lima abad
kemudian. Seperti Ibnu Taimiyah,
ia mencela kaum mutakallimin, filusuf dan sufi. Dalam kalimat W.C.Smith, Muhammad b. Abd Al-Wahhab menolak “the corruption and laxity of
the contemporary decline, the introvert warmath and other wordly pety of the
mystic way, …the alien intelectualism not only of philosophy but also theologi”[18]
Bekerjasama dengan
kepala kabilah lokal di Nejed, Ibn
Sa’ud (w.1765), Ibn’ Abd
al-Wahhab melancarkan jihad terhadap kaum Muslim yang dipandangnya telah
menyimpang dari ajaran Islam yang “murni” yang menurutnya banyak
mempraktekkan bid’ah, khurafat, takhyul dan semacamnya. Fundamentalisme Wahhabi tidak hanya berupa purifikasi
tawhid, tetapi juga penumpahan darah serta penjarahan Makkah dan Madinah, yang
diikuti pemusnahan monumen-monumen historis yang mereka pandang sebagai sumber
praktek-praktek menyimpang.[19]
Fundamentalisme
Islam, baik langsung atau tidak dipengaruhi Gerakan Wahhabi, segera
muncul di berbagai penjuru dunia Islam. Di Nigeria Utara, Syaikh ‘Utsman dan
Fodio (1754-1817),
yang secara intelektual mempunyai kaitan erat dengan jaringan ‘ulama’ reformis yang berpusat di
Haramayn melancarkan aksi jihad memerangi penguasa Muslim dan
pendukung-pendukungnya yang dipandangnya korup dan menjalankan praktek-praktek
Islam yang bercampurbaur dengan tradisi budaya lokal. Juga di Afrika Barat, di
bawah pimpinan al-Hajj ‘Umar Tal (1794-1865), gerakan
jihad berlangsung hingga menyebar ke wilayah-wilayah Guinea,
Senegal dan Mali.[20]
Selanjutnya , hal
yang sama juga terjadi di dunia Muslim yang lain, gerakan fundamentalis yang
mirip Wahhabi berlangsung di
Minangkabau dalam wujud Gerakan Padri. Namun lahan yang paling
subur dari gerakan fundamentalis ala Wahhabi
ini terjadi di Anak Benua India.
Di bawah bimbingan Sayyid Ahmad
al-Brelvi (atau Ahmad
Syahid, 1786-1831),
yang mengambil inspirasi dari ajaran-ajaran Syah Wali Allah (1703-1762) dan putranya Syah ‘Abd Al-‘Aziz (w.1824),
memaklumkan jihad untuk memurnikan Islam dari pengaruh budaya lokal, hindu dan
Sikh.
Muncul pula gerakan Fara’idhi di Bengal, yang dikembangkan
oleh Haji Syari’at Allah (1781-1840),
yang pada intinya menekankan pada penerapan syari’at dan ajaran-ajaran
al-Qur’an lainnya secara ketat. Syariat
Allah menggalang massa petani Muslim untuk
melakukan jihad melawan kaum Hindu dan Inggris.[21]
Akhirnya gerakan
fundamentalisme memasuki masa transisi, yakni ketika muncul gerakan jihad yang
diorganisir oleh Sayyid Muhammad ‘Abd
Allah Hasan (1864-1920), di Sudan dan Somalia. Antara tahun 1899 sampai
1920, ia memimpin jihad melawan musuh internal (muslim lain) dan
musuh eksternal (Inggris, Italia dan Prancis). Gerakan ini dalam
perkembangan lebih lanjut mengklaim kemunculan Imam Mahdi dalam diri Ahmad
b. Allah (1844-1885). Nama yang terakhir ini memaklumkan
kemahdiannya pada 1881. Ia menuntut kesetiaan dari para pengikutnya melalui
bay’ah; hijrah dari wilayah Muslim lain; dan jihad untuk mensucikan Islam dari
pengaruh keberhalaan dan bid’ah.[22]
2) Neo-Fundamantalisme Islam
Studi tentang sejarah
perkembangan ummat Islam sering dibagi
menjadi periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800)
dan periode modern (1800-sekarang) dan pada periode modern inilah, atau
abad ke-19, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta terjadinya
kontak dengan dunia Barat modern, selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia
Islam seperti rasionalisme, nasionalisme, demokrasi, dan sebagainya. Semua ini
menimbulkan persoalan-persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai
memikirkan cara mengatasi persoalan-persoalan baru tersebut.[23]
Kebangkitan
Neo-Fundamentalisme adalah reaksi terhadap penetrasi sistem dan nilai sosial
politik, dan ekonomi Barat, baik sebagai akibat kontak langsung dengan Barat
maupun melalui pemikir Muslim --tegasnya kelompok modernis, sekularis, dan
westernis— atau rejim pemerintahan Muslim yang menurut kaum fundamentalis
merupakan perpanjangan mulut dan tangan Barat.[24]
Interaksi, penetrasi dan akhirnya penjajahan Barat atas hampir seluruh wilayah
Muslim dalam masa modern tidak hanya mengakibatkan disintegrasi politik Muslim,
tetapi juga menimbulkan pergumulan yang sangat intens di kalangan kaum Muslim
sendiri.[25]
Superioritas Barat
merangsang munculnya usaha-usaha pembaharuan (modernisme) di kalangan
pemikir Muslim. Di Turki Utsmani misalnya, sejak 1730-an melancarkan
pembaharuan-pembaharuan militer dan birokrasi secara kontinyu yang pada
akhirnya berpuncak pada westernisasi dan sekularisasi. Begitupun juga di tempat
lain, seperti Mesir, India-Pakistan,
juga mengalami hal yang serupa. Lahirlah kemudian para tokoh pembaharuan
pemikiran Islam, mulai dari Jamaluddin
al-Afgani, Muhammad Abduh,
Rasyid Ridha, Rifa’ah al-Tahtawi, ‘Ali Abd al-Razik, Sayyid Ahmad Khan, Abd Kalam Asad, Muhammad Iqbal, dan masih banyak lagi
yang lainnya.[26]
Dalam evolusi
pembaharuan ini, jelas terlihat bahwa Islam mengalami proses periferalisasi
atau marjinalisasi, sehingga nyaris tidak mempunyai kedudukan signifikan dalam
berbagai bentuk pembaharuan. Apalagi ditambah dengan kompleksitas perkembangan
“internal” muslim yang semakin rumit dengan perubahan-perubahan peta
politik, khususnya di Timur Tengah. Semua perkembangan ini memberikan
momentum kebangkitan
neo-fundamentalisme.[27]
Dan gerakan neo-fundamentalisme yang
paling awal lahir adalah gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) di
Mesir.[28]
Gerakan Ikhwanul Muslimin didirikan pada 1928,
oleh Hasan al-Banna, yang pada
intinya ia merumuskan ideologi Ikhwanul
Muslimin sebagai ideologi yang total dan komprehensif, yang didasarkan
pada tiga pandangan pokok; Pertama,
Islam adalah sistem komprehensif yang mampu berkembang sendiri; kedua, Islam memancar dari dua
sumber fundamental, yakni al-Qur’an dan Hadist; ketiga, Islam berlaku
untuk segala waktu dan tempat.
Dari pandangan pokok
inilah program Ikhwanul Muslimin
dirumuskan: Pertama, “internasionalisasi” organisasi, guna
membebaskan seluruh wilayah Muslimin dari kekuasaan dan pengaruh asing. Kedua, membangun di wilayah Muslimin yang telah
dibebaskan itu pemerintahan Islam, yang memperaktekkan prinsip-prinsip Islam --menerapkan
sistem sosialnya secara menyeluruh.[29]
Tokoh lain yang cukup
berperan di Ikhwanul Muslimin,
bahkan bisa dikatagorikan sebagai salah seorang ideolognya adalah Sayyid Qutb. Ketika Al-Banna meninggal,
kepemimpininan di Ikhwanul Muslimin
mengalami krisis yang cukup serius. Tapi dengan tampilnya Sayyid Qutb di garda depan, justeru kematangan gerakan Ikhwanul Muslimin menemukan bentuknya
yang sempurna. Doktrin sentral Sayyid Qutb adalah konsepnya tentang “jahiliyah modern”, yakni
modernitas sebagai “barbaritas baru”. Meskipun konsep Jahiliah
Modern itu sendiri pertama kali dikemukakan oleh Abu A’la al-Maududi, pada tahun 1939.
Gerakan
neo-fundamentalisme lain yang cukup signifikan untuk ditelaah adalah gerakan Jama’at-I-Islami, yang didirikan oleh Abu A’la al-Maududi pada tanggal 21
Agustus 1941. Sebenarnya, Jamaat-I-Islami ini hanyalah salah satu partai politik yang
ada di Pakistan.
Akan tetapi yang luar biasa adalah pengaruh konsep-konsep perjuangan yang diajukan
dan integeritas ketokohan pendirinya. Sehingga, pengaruhnya terasa sampai juga
mengilhami beberapa gerakan-gerakan Islam di luar Pakistan, seperti di beberapa
negara Timur Tengah, Iran, Afganistan, Malaysia dan juga Indonesia.
Tujuan pendirian dari
Jama’at-I-Islami sebagaimana
termaktub dalam anggaran dasarnya adalah; “menegakkan kedaulatan Tuhan di
muka bumi” dan “menegakkan Islam sebagai jalan hidup” bagi umat
manusia. Kedua tujuan tersebut, menurut Maududi
adalah identik dengan tujuan Islam itu sendiri yang mengandung sifat universal.
Kedua tujuan itu perlu dicapai, mengingat malapetaka yang menimpa umat manusia
bermula dari sikap manusia sendiri yang menjadikan diri mereka sendiri sebagai
pihak yang “berdaulat” dan bukannya Tuhan. Menegakkan Islam sebagai “jalan hidup” dan “sistem
kehidupan” adalah mutlak, karena “sistem-sistem
lain” telah “terbukti” gagal menyelamatkan manusia dari jurang
keruntuhannya. Islam adalah “satu-satunya alternatif” bagi masa depan
manusia.[30]
Tampilnya Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb dan Abu A’la al-Maududi, dapat dikatakan
merupakan trio neo-fundamentalis atau
bahkan telah menjadi ikon, pilar dan simbol inspirasi
perlawanan di berbagai belahan dunia Islam. Sehingga dapatlah disimpulkan bahwa
akar neo-fundamentalisme Islam, sesungguhnya dapat dilacak pada tiga tokoh dan
sepak terjang gerakan yang digumulinya tersebut.
Gerakan Revolusi
Islam di Iran, setidaknya juga mendapat pengaruh, meskipun bukan satu-satunya
faktor dominan. Begitupun juga gerakan-gerakan neo-fundamentalis yang lebih
mutakhir, yang lebih bersifat kontemporer, semisal gerakan Taliban dan
Hisbuttahrir, yang muncul belakangan ini di berbagai wilayah Islam maupun di
negara-negara Barat. Uraian deskriptif tentangnya membutuhkan pembahasan dan
ulasan tersendiri.***
[1] Hassan. Riffat, Mempersoalkan Istilah
Fundamentalisme Islam, Jurnal Ulumul
Qur’an, Nomor 3, Vol.IV, Th.1993, hal. 32.
[2] Soetapa. Djaka, Asal-Usul Gerakan
Fundamentalisme, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 3, Vol.IV, Th.1993,
hal. 6
[3] Soetapa. Djaka, ibid, hal. 7
[4] Soetapa. Djaka, ibid, hal. 7
[5] Lewis. Bernard, Bahasa Politik Islam, Jakarta,
Gramedia, 1984. hal. 204-205
[6] Sahal. Ahmad, Roger Graudi Tentang
Fundamentalisme, riset redaksi jurnal Islamika,
No. 1, Juli-September 1993, hal. 150-151.
[7] Hassan. Riffat, op.cit. hal. 33
[8] Hassan. Riffat, ibid, hal. 33
[9] Jurgensmeyer Mark, Menentang Negara Sekuler, Bandung,
Mizan, 1998 hal. 16-18.
[10] Azra. Azyumardi, Fenomena Fundamentalisme
Dalam Islam Survey Historis dan Doktrinal, Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 3, Vol.IV, Th.1993. hal. 18.
[11] Hanafi. Hassan, Aku Bagian Dari Fundamentalisme Islam, Yogyakarta,
Islamika, Cet. I, 2003, hal.107.
[12] Hanafi. Hassan, ibid, hal.108-109.
[13] Sahal. Ahmad, lok.cit. hal. 150-151.
[14] Azra. Azyumardi, lok.cit. hal 18.
[15] Azra. Asyumardi, ibid. hal 18.
[16] Azra. Asyumardi, ibid. hal 18.
[17] Azra. Asyumardi, ibid. hal 18.
[18] Rakhmat. Jalaluddin, Dahulukan Akhlak Di Atas Fikih, Bandung, Mutahhari Press, Cet. Ketiga, 2003,
hal.213-214
[19] Azyumardi Azra, op.cit, hal. 20
[20] Azyumardi Azra, ibid, hal. 20
[21] Azyumardi Azra, lok.cit
[22] Azyumardi Azra, ibid, hal. 21
[23] Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)
[24] Azyumardi Azra, ibid, hal. 19
[25] Azyumardi Azra, ibid, hal. 21
[26] Ulasan yang memadai tentang tokoh dan gerakan
pembaharuan dalam Islam, dapat dijumpai
melalui penjelasan Lihat Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1975
[27] Azra. Azyumardi, lok.cit.
[28] Studi yang mendalam tentang gerakan Ikhwanul
Muslimin dapat ditelusuri lewat penelitian yang dilakukan oleh Hassan Hanafi
dalam buku autobiografinya yang berjudul Aku
Bagian Dari Fundamentalisme Islam (Yoyakarta : Islamika, 2003), khususnya
pada bagian II dan III.
[29] Azra. Azyumardi, ibid, hal. 21-22.
[30] Lihat Yusril Ihza, Maududi dan
Jamaat-I-Islami Pembentukan dan Tujuan Partai Fundamentalis, Jurnal Ulumul
Qur’an, Nomor 3, Vol.IV, Th. 1993 hal 42-52.
0 komentar:
Posting Komentar