KEBANGKITAN PERADABAN
DAN BUDAYA BACA
(Manifesto Gerakan Sosial Membaca di Butta Toa)
Oleh Sulhan
Yusuf (Direktur Paradigma Insitut
Makassar)
Kejayaan suatu bangsa, dapat dipastikan akan
terwujud manakala ada perhatian serius
terhadap masalah ilmu pengetahuan - teknologi. Sebab, penguasaan terhadap ilmu
pengetahuan dan teknologi akan berpengaruh langsung terhadap lahir dan eksisnya peradaban. Bangaa-bangsa maju saat ini, yang
memandu jalannya peradaban umat manusia adalah bangsa-bangsa yang memegang
kendali kemajuan ilmu pengetahuan-teknologi.Amerika Serikat, Inggris di Barat,
dan jepang di Timur adalah segelintir contoh negara-bangsa yang menguasai ilmu
penegetahuan-teknologi, sekaligus sebagai pemandu jalannya peradaban saat ini.
Di masa silam, tepatnya pada tahun
650-1250 M, dunia Islam pernah menguasai ilmu pengetahuan- teknologi. Dan
secara otomatis pun membentuk peradaban Islam yang jejak-jejaknya masih bisa dirasakan hingga
dewasa ini. Jauh sebelum itu, bangsa Mesir, Yunani telah menorehkan
peradabannya, yang kesimpulannya mereka dapat memandu peradaban karena mereka
menguasai ilmu pengetahuan-teknologi
yang berkembang saat itu.
Ketika kita bicara tentang
penguasaan ilmu pengetahuan-teknologi, maka masalah transformasi ilmu menjadi
sangat menentukan. Dengan demikian, buku dan industri perbukuan serta budaya
baca menjadi sangat urgen, karena lewat inilah ilmu pengetahuan-teknologi dapat
ditransformasikan. Dunia Islam berhasil di masa silam, salah satunya karena
mereka mampu mentransformasikan warisan Yunani dan memadukan dengan doktrin dan
tradisi Islam, lewat penerjemahan buku-karya tulis,dan spirit dari perintah
iqra-baca.
Negara-bangsa Jepang, yang hancur
pada perang dunia kedua, bisa bangkit karena mereka mentransformasikan ilmu
pengetahuan-teknologi. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin mereka, khususnya
sang kaisar? Kaisar jepang langsung menginventarisir jumlah guru yang masih
hidup dan selanjutnaya melakukan penerjemahan besar-besaran buku-karya tulis
dari barat dan pada saat yang sama memompakan budaya baca. Dan hasilnya?
Lihatlah saat ini, khususnya di Indonesia, mulai dari sandal, rumput hingga
mobil semuanya berbau jepang.
Bagainamana dengan negara-bangsa
Indonesia? Sudah lebih seratus tahun kebangkitannya dan sudah lebih dari
setengah abad kemerdekaannya, masih saja dikatagorikan sebagai negara-bangsa
yang sedang berkembang. Mengapa? Karena ekonomi kita masih bergantung pada
utang luar negeri, politik kita masih politik dagang sapi, pendidikannya masih
saja carut marut, nilai-nilai sosial-budayanya sudah hancur. Sehingga,
negara-bangsa Indonesia telah menjadi bangsa casing, yakni bangsa
yang hanya sisa kulitnya saja menjadi penanda Indonesia.
Dalam kondisi
seperti ini, amatlah sulit bagi kita untuk menjadi bangsa yang bisa bersaing
dan mandiri, apatah lagi menjadi bangsa yang akan memandu peradaban. Yang
paling mungkin adalah menjadi bangsa pemamah, baik secara intelektual, politik,
ekonomi dan budaya. Meskipun demikian, bukanlah berarti tidak ada tanda-tanda
kebangkitan sama sekali, sebab geliatnya sudah mulai terasa. Transformasi ilmu
pengetahuan dan teknologi sudah mulai berlangsung, khususnya di bidang industri
penerbitan, penerjemahan buku-karya tulis.
Pada tahun 1999 gambaran perkembangan industri
penerbitan-perbukuan menunjukkan data
bahwa ada 550 perusahaan penerbitan. 275 terkonsentrasi di Jakarta, 80
Di Jawa Barat, 60 di Jawa Tengah, 50 di Jawa Timur dan sisanya tersebar di
Sumatra, Sulawesa, Kalimantan dan NTT. Ada 6387 percetakan dan sekatar 2000
toko buku, perpustakaan dan taman baca. Bagaimana perkembangannnya 10 tahun
kemudian?
Meskipun belum ada akurasi jumlah penerbit, cukup kita melihat saja jumlah
produk buku yang terbit dan rasio jumlah penduduknya. Jumlah penduduk Indonesia
yang 200-an juta, hanya mampu menerbitkan 12 judul buku baru per satu juta
penduduknya. Bandingkan dengan negara berkembang lainnya, yang mampu
menerbitkan buku baru sejumlah 55 judul, serta di negara maju 513 judul per
satu juta pendudknya.
Menjadi menarik untuk mengemukakan ulasan Kompas
dalam salah satu tajuknya yang menulis bahwa mari kita berhitung. Indonesia
dengan penduduk 225 juta setiap tahun memproduksi 8.000 judul buku. Vietnam
dengan 80 juta penduduk memproduksi 15.000 judul. Perbandingan itu
membuat jengah sebab Vietnam baru merdeka tahun 1968, Indonesia tahun 1945.
Pada tahun-tahun 1970-an
Vietnam belajar mengembangkan pendidikan dasar dari Indonesia, sekarang Vietnam
mengungguli kita. Pada tahun-tahun 1970-an Vietnam belajar bercocok tanam padi,
sekarang menjadi eksportir beras untuk Indonesia.
Sektor distribusi buku seperti
dalam kasus Vietnam berperanan penting dalam industri perbukuan. Saat ini di
Indonesia terdapat sekitar 700 toko buku aktif ukuran besar dan kecil. Jumlah
ini masih belum memadai untuk melayani 1.000 juta pembeli buku. Dengan sekitar
6.400 percetakan dan sekitar 3.700 perpustakaan saat ini, kita pantas prihatin.
Begitupun juga dengan budaya baca, masih kalah jauh
dengan budaya nonton dan omong. Bila memang ada upaya untuk mewujudkan masyarakat agar gemar akan
baca-tulis dan jika memang kita meyakini bahwa transformasi ilmu pengetahuan
menjadi salah satu faktor kunci dari kebangkitan suatu negara-bangsa guna
mengembangkan peradabannya, maka mau tidak mau kita harus melakukan upaya
serius untuk mendukung tumbuh suburnya industri penerbitan-perbukuan dan
sekaligus budaya baca digalakkan menjadi sebuah gerakan sosial.
Pada konteks inilah
menjadi menarik, ketika kabupaten Bantaeng ikut serta mencanangkan gerakan
peningkatan minat baca masyarakat. Lewat Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJM) Daerah Kabupaten Bantaeng Periode Tahun 2008-2013, pada poin. Pengembangan Budaya Baca. Sasaran program adalah meningkatnya kualitas dan jangkauan
pelayanan perpustakaan yang diharapkan akan berdampak pada meningkatnya budaya
baca masyarakat. Pemerintah Kabupaten Bantaeng kemudian menerjemahkan
pengembangan budaya baca lewat program pencanangan Satu Ibu, Satu Minggu,
Satu Buku. Kemudian disusul dengan pencanangan Bulan Baca. Apalagi
setelah perpustakaan desa Labbo, menjadi percontohan perpustakaan desa secara
nasional.
Budaya baca sebagai gerakan sosial dapat kita lakukan
langkah-langkah stratgeisnya seperti; Pertama, memperbanyak
jumlah perpustakaan dan taman baca masyarakat. Jumlah perpustakaan dan taman
baca masyarakat saat ini belumlah memadai. Kalaupun ada, terkadang
pengadaannnya lebih berorientasi pada proyek dan pemenuhan program pemerintah,
sehingga kehadiran perpustakaan dan taman baca salah sasaran.
Kedua,
mengedukasi masyarakat agar minat bacanya meningkat, lewat pelatihan-pelatihan
semisal quantum learning, quantum reading dan quantum writing. Dalam pelatihan
ini diajarkan bagaimana belajar yang menyenangkan, membaca sebagai kebutuhan,
dan menulis sebagai terapi.
Ketiga,
hendaknya setiap rumah tangga memiliki perpustakaan keluarga. Masyarakat kita
masih lebih mengutamakan asesori-asesori yang terkadang tidak terkait langsung
dengan tumbuhnya minat baca di keluarga. Padahal fungsi perpustakaan keluarga
adalah menjadi tempat mencari solusi bagi anggota keluarga, rumah akan menjadi
sekolah bagi penghuninya.
Keempat,
alangkah menariknya jika para pejabat publik memberi contoh akan kecintaannya
pada buku. Menjadi menarik untuk mencontoh para pendiri republik ini, dimana
mereka adalah orang-orang yang akrab dengan buku. Hal ini tercermin dari
kualitas mereka ketika terlibat dalam perdebatan-perdebatan publik, sangatlah
berkualitas. Contohlah bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Tan Malaka, Buya
Natsir—yang karya-karyanya masih sangat inspiratif hingga saat ini.
Kelima, guru
sebagai ujung tombak di institusi pendidikan formal seharusnya tidak sekedar
bertanggung jawab hanya mengajar mata pelajarannya, melainkan juga harus
mendorong anak didik untuk senantiasa membaca dan mencintai buku. Guru menjadi
sangat penting untuk menjadi inspirasi bagi anak didiknya. Jadilah guru
inspiratif, yakni guru yang melahirkan pemimpin-pemimpin yang bisa memberi
solusi bagi bangsa ini.
Keenam,
selayaknya kita semua menjadikan moment-moment penting dalam hidup dan
kehidupan bermasyarakat, menyatakannya
dengan buku. Misalnya, moment ulang tahun, pernikahan. Pernahkah kita
membayangkan jikalau separuh saja dari undangan pernikahan memberikan kado
buku, maka dengan sendirinya keluarga baru tersebut akan segera punya
perpustakaan keluarga.
Ketujuh,
sangat perlu memperlakukan para penulis seperti para selebriti kita. Unsur entertain menjadi sangat
strategis untuk mensosialisasikan prilaku. Kalau saja para penulis kita dan
orang-orang yang terlibat dalam industri penerbitan-perbukuan diberitakan
secara massiv seperti pemberitaan para selebriti kita, niscaya akan memberikan
pengaruh positif bagi tumbuhnya minat baca masyarakat.
Kedelapan,
para pebisnis buku bukan hanya memikirkan keuntungan semata. Para penerbit
dan pemilik toko buku misalnya,
seharusnya terlibat langsung dalam proses mengedukasi masyarakat agar mencintai buku. Perusahaan mereka harus punya
visi sosial, sebab pebisnis yang sukses adalah mereka yang tetap melibatkan
diri dalam dimensi sosial.
Kesembilan,
merombak persepsi tentang daya beli masyarakat yang kurang. Sebenarnya, bukan
daya beli buku masyarakat yang kurang tetapi prioritas dari sebuah kebutuhan.
Pertanyaannya adalah apakah buku itu sudah menjadi kebutuhan, sebagai
makanan dari ruhani kita? Sebab, banyak
diantara kita misalnya mahasiswa-pelajar yang tidak doyan beli buku tapi sangat
royal gonta ganti HP dan rajin beli pulsa. Jadi intinya ada pada gaya hidup.
Gerakan sosial budaya baca, manakala telah
dilakukan, kemungkinan kita sudah bisa prediksi hasilnya di masa datang, bahwa
bangsa Indonesia akan menjadi salah satu bangsa yang berada sejajar dengan
bangsa-bangsa lain yang lebih dulu maju peradabannya, Dan itu berarti Kabupaten
Bantaeng yang dijuluki sebagai Butta Toa (tua dalam arti peradabannya) menjadi
daerah penyangga pilarnya peradaban bangsa. Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa
yang modern, seperti yang pernah diimpikan Sutan Takdir Ali Syahbana bahwa
modernitas suatu bangsa antara lain dicirikan besarnya produksi buku, judul
maupun eksemplar, ditunjang jumlah toko buku, perpustakaan, dan percetakan,
yang tentu saja berdampak pada gila buku.
0 komentar:
Posting Komentar