Minggu, 20 Januari 2013

KEBANGKITAN PERADABAN DAN BUDAYA BACA



KEBANGKITAN PERADABAN  DAN BUDAYA BACA
(Manifesto Gerakan Sosial Membaca di Butta Toa)
Oleh Sulhan Yusuf  (Direktur Paradigma Insitut Makassar)
           
 Kejayaan suatu bangsa, dapat dipastikan akan terwujud  manakala ada perhatian serius terhadap masalah ilmu pengetahuan - teknologi. Sebab, penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi akan berpengaruh langsung terhadap  lahir dan eksisnya  peradaban. Bangaa-bangsa maju saat ini, yang memandu jalannya peradaban umat manusia adalah bangsa-bangsa yang memegang kendali kemajuan ilmu pengetahuan-teknologi.Amerika Serikat, Inggris di Barat, dan jepang di Timur adalah segelintir contoh negara-bangsa yang menguasai ilmu penegetahuan-teknologi, sekaligus sebagai pemandu jalannya peradaban saat ini.
            Di masa silam, tepatnya pada tahun 650-1250 M, dunia Islam pernah menguasai ilmu pengetahuan- teknologi. Dan secara otomatis pun membentuk peradaban Islam yang  jejak-jejaknya masih bisa dirasakan hingga dewasa ini. Jauh sebelum itu, bangsa Mesir, Yunani telah menorehkan peradabannya, yang kesimpulannya mereka dapat memandu peradaban karena mereka menguasai ilmu pengetahuan-teknologi  yang berkembang saat itu.
            Ketika kita bicara tentang penguasaan ilmu pengetahuan-teknologi, maka masalah transformasi ilmu menjadi sangat menentukan. Dengan demikian, buku dan industri perbukuan serta budaya baca menjadi sangat urgen, karena lewat inilah ilmu pengetahuan-teknologi dapat ditransformasikan. Dunia Islam berhasil di masa silam, salah satunya karena mereka mampu mentransformasikan warisan Yunani dan memadukan dengan doktrin dan tradisi Islam, lewat penerjemahan buku-karya tulis,dan spirit dari perintah iqra-baca.
            Negara-bangsa Jepang, yang hancur pada perang dunia kedua, bisa bangkit karena mereka mentransformasikan ilmu pengetahuan-teknologi. Apa yang dilakukan oleh para pemimpin mereka, khususnya sang kaisar? Kaisar jepang langsung menginventarisir jumlah guru yang masih hidup dan selanjutnaya melakukan penerjemahan besar-besaran buku-karya tulis dari barat dan pada saat yang sama memompakan budaya baca. Dan hasilnya? Lihatlah saat ini, khususnya di Indonesia, mulai dari sandal, rumput hingga mobil semuanya berbau jepang.
            Bagainamana dengan negara-bangsa Indonesia? Sudah lebih seratus tahun kebangkitannya dan sudah lebih dari setengah abad kemerdekaannya, masih saja dikatagorikan sebagai negara-bangsa yang sedang berkembang. Mengapa? Karena ekonomi kita masih bergantung pada utang luar negeri, politik kita masih politik dagang sapi, pendidikannya masih saja carut marut, nilai-nilai sosial-budayanya sudah hancur. Sehingga, negara-bangsa Indonesia telah menjadi bangsa casing, yakni bangsa yang hanya sisa kulitnya saja menjadi penanda Indonesia.
 Dalam kondisi seperti ini, amatlah sulit bagi kita untuk menjadi bangsa yang bisa bersaing dan mandiri, apatah lagi menjadi bangsa yang akan memandu peradaban. Yang paling mungkin adalah menjadi bangsa pemamah, baik secara intelektual, politik, ekonomi dan budaya. Meskipun demikian, bukanlah berarti tidak ada tanda-tanda kebangkitan sama sekali, sebab geliatnya sudah mulai terasa. Transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi sudah mulai berlangsung, khususnya di bidang industri penerbitan, penerjemahan buku-karya tulis.
Pada tahun 1999 gambaran perkembangan industri penerbitan-perbukuan menunjukkan data  bahwa ada 550 perusahaan penerbitan. 275 terkonsentrasi di Jakarta, 80 Di Jawa Barat, 60 di Jawa Tengah, 50 di Jawa Timur dan sisanya tersebar di Sumatra, Sulawesa, Kalimantan dan NTT. Ada 6387 percetakan dan sekatar 2000 toko buku, perpustakaan dan taman baca. Bagaimana perkembangannnya 10 tahun kemudian?
Meskipun belum ada akurasi jumlah  penerbit, cukup kita melihat saja jumlah produk buku yang terbit dan rasio jumlah penduduknya. Jumlah penduduk Indonesia yang 200-an juta, hanya mampu menerbitkan 12 judul buku baru per satu juta penduduknya. Bandingkan dengan negara berkembang lainnya, yang mampu menerbitkan buku baru sejumlah 55 judul, serta di negara maju 513 judul per satu juta pendudknya.
Menjadi menarik untuk mengemukakan ulasan Kompas dalam salah satu tajuknya yang menulis bahwa mari kita berhitung. Indonesia dengan penduduk 225 juta setiap tahun memproduksi 8.000 judul buku. Vietnam dengan 80 juta penduduk memproduksi 15.000 judul. Perbandingan itu membuat jengah sebab Vietnam baru merdeka tahun 1968, Indonesia tahun 1945.
Pada tahun-tahun 1970-an Vietnam belajar mengembangkan pendidikan dasar dari Indonesia, sekarang Vietnam mengungguli kita. Pada tahun-tahun 1970-an Vietnam belajar bercocok tanam padi, sekarang menjadi eksportir beras untuk Indonesia.
Sektor distribusi buku seperti dalam kasus Vietnam berperanan penting dalam industri perbukuan. Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 700 toko buku aktif ukuran besar dan kecil. Jumlah ini masih belum memadai untuk melayani 1.000 juta pembeli buku. Dengan sekitar 6.400 percetakan dan sekitar 3.700 perpustakaan saat ini, kita pantas prihatin.
Begitupun juga dengan budaya baca, masih kalah jauh dengan budaya nonton dan omong. Bila memang ada upaya  untuk mewujudkan masyarakat agar gemar akan baca-tulis dan jika memang kita meyakini bahwa transformasi ilmu pengetahuan menjadi salah satu faktor kunci dari kebangkitan suatu negara-bangsa guna mengembangkan peradabannya, maka mau tidak mau kita harus melakukan upaya serius untuk mendukung tumbuh suburnya industri penerbitan-perbukuan dan sekaligus budaya baca digalakkan menjadi sebuah gerakan sosial.
Pada konteks inilah menjadi menarik, ketika kabupaten Bantaeng ikut serta mencanangkan gerakan peningkatan minat baca masyarakat. Lewat Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten Bantaeng Periode Tahun 2008-2013, pada poin. Pengembangan Budaya Baca. Sasaran program adalah meningkatnya kualitas dan jangkauan pelayanan perpustakaan yang diharapkan akan berdampak pada meningkatnya budaya baca masyarakat. Pemerintah Kabupaten Bantaeng kemudian menerjemahkan pengembangan budaya baca lewat program pencanangan Satu Ibu, Satu Minggu, Satu Buku. Kemudian disusul dengan pencanangan Bulan Baca. Apalagi setelah perpustakaan desa Labbo, menjadi percontohan perpustakaan desa secara nasional.

Budaya baca sebagai gerakan sosial dapat kita lakukan langkah-langkah stratgeisnya seperti; Pertama, memperbanyak jumlah perpustakaan dan taman baca masyarakat. Jumlah perpustakaan dan taman baca masyarakat saat ini belumlah memadai. Kalaupun ada, terkadang pengadaannnya lebih berorientasi pada proyek dan pemenuhan program pemerintah, sehingga kehadiran perpustakaan dan taman baca salah sasaran.
Kedua, mengedukasi masyarakat agar minat bacanya meningkat, lewat pelatihan-pelatihan semisal quantum learning, quantum reading dan quantum writing. Dalam pelatihan ini diajarkan bagaimana belajar yang menyenangkan, membaca sebagai kebutuhan, dan menulis sebagai terapi.
Ketiga, hendaknya setiap rumah tangga memiliki perpustakaan keluarga. Masyarakat kita masih lebih mengutamakan asesori-asesori yang terkadang tidak terkait langsung dengan tumbuhnya minat baca di keluarga. Padahal fungsi perpustakaan keluarga adalah menjadi tempat mencari solusi bagi anggota keluarga, rumah akan menjadi sekolah bagi penghuninya.
Keempat, alangkah menariknya jika para pejabat publik memberi contoh akan kecintaannya pada buku. Menjadi menarik untuk mencontoh para pendiri republik ini, dimana mereka adalah orang-orang yang akrab dengan buku. Hal ini tercermin dari kualitas mereka ketika terlibat dalam perdebatan-perdebatan publik, sangatlah berkualitas. Contohlah bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Tan Malaka, Buya Natsir—yang karya-karyanya masih sangat inspiratif hingga saat ini.
Kelima, guru sebagai ujung tombak di institusi pendidikan formal seharusnya tidak sekedar bertanggung jawab hanya mengajar mata pelajarannya, melainkan juga harus mendorong anak didik untuk senantiasa membaca dan mencintai buku. Guru menjadi sangat penting untuk menjadi inspirasi bagi anak didiknya. Jadilah guru inspiratif, yakni guru yang melahirkan pemimpin-pemimpin yang bisa memberi solusi bagi bangsa ini.
Keenam, selayaknya kita semua menjadikan moment-moment penting dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat,  menyatakannya dengan buku. Misalnya, moment ulang tahun, pernikahan. Pernahkah kita membayangkan jikalau separuh saja dari undangan pernikahan memberikan kado buku, maka dengan sendirinya keluarga baru tersebut akan segera punya perpustakaan keluarga.
Ketujuh, sangat perlu memperlakukan para penulis seperti para selebriti  kita. Unsur entertain menjadi sangat strategis untuk mensosialisasikan prilaku. Kalau saja para penulis kita dan orang-orang yang terlibat dalam industri penerbitan-perbukuan diberitakan secara massiv seperti pemberitaan para selebriti kita, niscaya akan memberikan pengaruh positif bagi tumbuhnya minat baca masyarakat.
Kedelapan, para pebisnis buku bukan hanya memikirkan keuntungan semata. Para penerbit dan  pemilik toko buku misalnya, seharusnya terlibat langsung dalam proses mengedukasi masyarakat agar  mencintai buku. Perusahaan mereka harus punya visi sosial, sebab pebisnis yang sukses adalah mereka yang tetap melibatkan diri dalam dimensi sosial.
Kesembilan, merombak persepsi tentang daya beli masyarakat yang kurang. Sebenarnya, bukan daya beli buku masyarakat yang kurang tetapi prioritas dari sebuah kebutuhan. Pertanyaannya adalah apakah buku itu sudah menjadi kebutuhan, sebagai makanan  dari ruhani kita? Sebab, banyak diantara kita misalnya mahasiswa-pelajar yang tidak doyan beli buku tapi sangat royal gonta ganti HP dan rajin beli pulsa. Jadi intinya ada pada gaya hidup.
Gerakan sosial budaya baca, manakala telah dilakukan, kemungkinan kita sudah bisa prediksi hasilnya di masa datang, bahwa bangsa Indonesia akan menjadi salah satu bangsa yang berada sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dulu maju peradabannya, Dan itu berarti Kabupaten Bantaeng yang dijuluki sebagai Butta Toa (tua dalam arti peradabannya) menjadi daerah penyangga pilarnya peradaban bangsa. Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang modern, seperti yang pernah diimpikan Sutan Takdir Ali Syahbana bahwa modernitas suatu bangsa antara lain dicirikan besarnya produksi buku, judul maupun eksemplar, ditunjang jumlah toko buku, perpustakaan, dan percetakan, yang tentu saja berdampak pada gila buku.

0 komentar:

Posting Komentar