AKTUALISASI PENDIDIKAN DIALOGIS, HUMANIS DAN
BERBUDAYA *)
(Mewujudkan Keadilan Sosial Pendidikan di Butta
Toa)
Oleh Sulhan Yusuf **)
Salah satu problem terbesar bangsa ini adalah masih kurang
menggembirakannya kemajuan di bidang pendidikan. Problem-problem semisal;
disorientasi pendidikan nasional, kapitalisasi-liberalisasi pendidikan, mutu
pendidikan yang hasilnya masih diperdebatkan, kecurangan dalam pelaksanakan
ujian nasional, kondisi para guru, serta pendidikan yang adil bagi seluruh anak
bangsa, yang kesemuanya kalau disimpulkan akan tiba pada muara – pendidikan
rusak-rusakan.
Upaya
serius untuk keluar dari problem tersebut adalah harga mati, jikalau bangsa ini
ingin berbaris sejajar dan berdiri tegak sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain.
Dan salah satu jalannya adalah bagaimana terwujud pendidikan yang adil bagi
seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial dalam pendidikan, bukan saja
berbentuk bahwa semua anak bangsa mendapatkan pendidikan, tetapi lebih dari
itu, yakni pada saat proses pendidikan –belajar mengajar—adakah tercipta pula
keadilan?
Asumsi
utama dari tulisan ini adalah, bahwa untuk mewujudkan keadilan sosial di bidang
pendidikan bagi rakyat Indonesia pada umumnya, dan khususnya di Butta Toa, maka hanya lewat pendidikan yang
bersifat dialogislah sebagain jalan-metodologisnya, humanisasi di bidang
pendidikan sebagai landasan filosofinya, dan pendidikan yang berbudaya berbasis
kearifan lokal sebagai pijakan pembumiannya.
Pendidikan
dialogis adalah pendidikan yang di dalam proses belajar mengajarnya menempatkan
peserta didik dan guru (pendidik-pengajar) sebagai subjek, sedangkan yang
menjadi objek adalah ilmu pengetahuan. Asumsinya adalah peserta didik bukanlah
seorang yang dianggap tidak punya potensi untuk mengetahui ilmu pengetahuan, tetapi
sebaliknya ia adalah seorang yang punya kemampuan untuk melakukan penelaahan
terhadap ilmu pengetahun.
Demikian
pula guru, bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan. Tetapi, guru hanyalah
seorang subjek yang akan melakukan peneleaahan terhadap ilmu pengetahuan.
Sehingga, ilmu pengetahuan benar-benar menjadi sasaran pengkajian antara
peserta didik dan guru. Dalam proses pembelajaran yang seperti demikian, akan
menyebabkan ilmu pengetahuan akan berkembang, sebab hal-hal baru bisa saja
ditemukan baik oleh peserta didik maupun guru, baik secara sendiri-sendiri
maupun secara bersama-sama.
Adapun
realitas pembelajaran kita saat ini, lebih berorientasi pada guru sebagai
satu-satunya subjek yang berpengetahuan. Sehingga, akibatnya adalah ilmu
pengetahuan akan mengalami ambang batas perkembangannya sampai pada taraf
otoritas guru sebagai subjek pengetahuan yang paling otoritatif. Konsekuensi
lebih jauh adalah guru menjadi tolok ukur keabsahan suatu ilmu
pengetahuan..Pengetahuan yang tidak berkembang karena dibatasi, apalagi
keabsahannya amat ditentukan oleh otoritas guru, bukankah ini suatu wujud dari
ketidakadilan sosial dalam pendidikan? Bukankah pendidikan yang seperti ini
lebih mengutamakan orientasi hasil dan menyepelekan proses?
Akibat
turunan berikutnya adalah terjadinya dehumanisasi dalam pendidikan. Padahal,
tujuan utama pendidikan adalah memanusiakan manusia, lewat pendidikan yang
bersifat humanistik. Pendidikan humanistik adalah pendidikan yang memandang manusia secara fitrawi sebagai
mahluk yang mempunyai potensi kecerdasan. Asumsinya adalah bahwa setiap orang
secara fitrawi punya potensi kecerdasan sebagai pemberian yang ilahi, tuhan
Yang Maha Mengetahui. Penemuan paling mutakhir di bidang kecerdasan, setidaknya
saat ini telah ditemukan 8 jenis kecerdasan. Kecerdasan itu antara lain:
Kecerdasan Linguistik, Kecerdasan Logis-Matematis, Kecerdasan Spasial,
Kecerdasan Musikal, Kecerdasan Kinestik, Kecerdasan Interpersonal dan
Kecerdasan Intrapersonal, yang kesemua kecerdasan itu dikenal dengan Multiple
Intelegence (Kecerdasan Majemuk), yang berbasis pada bagian otak kiri
(serius) dan otak kanan (santai).
Sayangnya
pendidikan kita hanya menghargai kecerdasan tertentu saja, yakni kecerdasan
logis-matematik dan linguistik saja, serta lebih menekankan pada cara kerja
otak bagian kiri, bahkan menjadikan standar kelulusan secara nasional.
Karenanya, menjadi sangat ironis manakala seorang siswa secara kebetulan
memiliki kecerdasan tidak pada kecerdasan yang diukur lembaga pendidikan, dan
lebih dominan menggunakan belahan otak kanannya, maka ia akan segera jatuh pada
stigma siswa yang tidak cerdas. Akhirnya, pendidikan kita memaksa peserta untuk
berkompetisi secara tidak fair, yang kemudian melahirkan peringkat-peringkat
anak cerdas semu. Makanya, tidaklah mengherankan di kemudian hari, siswa yang
dianggap cerdas sewaktu masih di sekolah, prestasinya di masyarakat biasa-biasa
saja, sedangkan siswa yang kurang cerdas di sekolah, lebih luar biasa
prestasinya.
Mengukur,
memfasilitasi kecerdasan tertentu saja di lembaga pendidikan bukankah pula
suatu ketidakadilan yang nyata? Manalah bisa manusia yang potensi kecerdasannya
begitu beragam, diukur dan dievaluasi secara seragam? Seharusnya setiap orang
harus diukur berdasarkan potensi kecerdasan yang dimilikinya, sehingga setiap
anak menjadi anak yang cerdas di bidangnya masing-masing. Sekolah yang berani
mengukur dan mengevaluasi anak didiknya berdasarkan potensi kecerdasannya akan
menjadikan sekolah itu sebagai sekolahnya para juara. Tidak ada yang lebih
cerdas-bodoh dari yang lain, melainkan semua anak didik adalah orang-orang
cerdas.
Lalu
bagaimana realitas pendidikan demikian melihat realitas bangsa Indonesia yang
majemuk? Rupanya implikasi penyeragaman pun masuk pula pada ranah budaya,
sehingga budaya masyarakat pun mau diseragamkan. Akibatnya adalah akan ada
budaya tertentu, yang didalamnya terdapat begitu banyak pengetahuan lokal –
local wisdom-kearifan lokal—akan punah. Sehingga, amat susah menyelenggarakan
pendidikan yang berbasis pada budaya lokal. Konsekuensinya, tidak sedikit
kemudian anak bangsa yang tercerabut dari akar budayannya.
Sudah
selayaknya saat ini digagas model pendidikan yang berbasis pada penghargaan
akan pluralitas budaya bangsa, bahkan lebih dari itu, pendidikan multikultural harus segera
diwujudkan. Kalau dalam konsepsi pluralitas sekedar memberi tempat atau
toleransi pada perbedaan, maka multikultural adalah memberikan pengakuan
sekaligus pembelaan akan eksistensi dari sebuah perbedaan.
Secara
praksis, seharusnya di lembaga-lembaga pendidikan kita nilai-nilai budaya
lokal—dalam bentuk pembelajaran kearifan lokal—diajarkan secara serius.
Sehingga ke depan, manusia Indonesia adalah manusia yang betul-betul berpijak
pada budaya lokal dan hidup di Indonesia dengan semangat kearifan lokal. Menjadi
orang bugis- makassar – orang Bantaeng—dalam wadah ke-Indonesia-an. Kami bangsa
Indonesia, tapi sekaligus kami orang Bantaeng. Atau kami orang Bantaeng yang
hidup di dalam NKRI.
Akhirnya,
mengabaikan pendidikan yang bersifat dialogis, menyepelekan humanisasi dalam
pendidikan, apalagi tidak memberi ruang sosialisasi bagi
pluralitas-multikultural budaya, pada lembaga-lembaga pendidikan, sesungguhnya
bangsa ini telah jatuh ke pangkuan ketidakadilan sosial dalam pendidikan. Dan itu tidak
dimana-mana, tetapi di depan mata kita, di daerah yang diklaim sebagai tanah
yang sudah sangat tua peradabannya, Butta Toa, Bantaeng.***
*) Disajikan sebagai pengantar diskusi panel
dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2011, yang diselenggarakan oleh
Forum Mahasiswa Butta Toa, bertempat di gedung KNPI Bantaeng.
**) Penulis adalah CEO Paradigma
Insitut Makassar dan BOETTA ILMOE Bantaeng.
0 komentar:
Posting Komentar