Seorang tamu
datang bertandang di tempat mukimku. Dua bolamatanya menari-nari mengitari
ruang-ruang dan rak-rak, beserta isinya. Aku sangat yakin, ada yang ingin
ditanyakan, namun ia tahan untuk kali ini.
Kedatangan
berikutnya, tamuku ini mengamati perabot mukimku lebih detail. Kursiku,
mejamakanku dan aksesori lainnya, ternyata di bawah standar menurutnya. Aku
bisa menebaknya, karena tidak ada komentar tentang semua itu.
Bahkan, kalimat
pertama yang sering kuucapkan pada para tamuku, “agar berhati-hati duduk di
kursi ruang tamu itu,” sebab sudah jebol-reot, dan senantiasa bergoyang, meski
tidak sedahsyat goyang ngebor dan ngecornya para penyanyi electon di kisaran
kita.
Lalu berikutnya,
barulah muncul tanyanya, tentang empat rak yang berisi ribuan buku.
Sambil geleng-geleng
kepala, karena ia melihat judul-judul buku itu cukup serius, dan beberapa buku
tebalnya pun seperti bantal bayi, dan harganya cukup mahal tentunya.
Dari sekian
pertanyaan yang ia ajukan, ada satu tanya yang menohokku: ‘Apakah semua buku
ini sudah dibaca?”, sambil melihat kepalaku yang mirip para pendeta Shaolin. “Belum
sempat, bahkan masih ada yang tersegel plastik”, jawabku. “Lalu untuk apa semua
ini dikumpulkan?” Lanjutnya.
Tanpa tedeng
aling-aling, aku balik menohokkan jawabanku:”Untuk menakuti para tamuku, karena
dengan terheran-herannya mereka, menandakan bahwa tamuku itu adalah orang yang
tidak akrab dengan buku, dan dengan begitu aku bisa menakar kadarnya para
tetamuku”. “Berarti termasuk juga aku?” Katanya. Dengan satu kata pamungkas,
kujawab: “Mungkin”.
0 komentar:
Posting Komentar