Kamis, 03 Januari 2013

SUBHAN YA'KUB



MARI BELAJAR KE DESA LABBO
Oleh Sulhan Yusuf


Sebab awal dari tulisan ini adalah ketika saya menerima SMS dari Subhan Ya’kub, S.Ag, Kepala Desa Labbo, yang berbunyi; “ Alhamdulillah perpustakaan kantor Desa labbo masuk percontohan perpustakaan desa se-Indonesia kanda”. Ada rasa haru, gembira, senang, gelisah bercampur aduk. Tapi yang pasti adalah rasa bahagia yang tak terbayangkan akan apa yang pernah saya bayangkan beberapa waktu silam. Dan dua pekan kemudian, saya pun ke Desa Labbo untuk menginvestigasi perkembangan mutakhir dari perpustakaan itu, yang memang sekitar 6 bulan terakhir belum saya tengok.
            Setiba di desa Labbo, sambutan yang amat hangat dari pak kepala desa, dan  segera  kami dipersilahkan duduk di balai desa, yang beberapa waktu lalu saya memberikan tausiah kepada masyarakat desa Labbo prihal situasi masyarakat yang saat itu sakit dikarenakan salah satu penyebabnya adalah pilkada. Saya memperkenalkan seorang kawan – Ahmad Sahide, seorang penulis buku dari Yogyakarta—kepada  pak kepala desa. Ada hal yang menarik, karena pak Subo’ – sebagaimana saya sering memanggilnya—seakan tidak percaya karena yang saya bawa adalah seorang penulis buku, padahal selama ini yang sering saya bawa adalah buku, untuk perpustakaan desa.
            Akhirnya, pak Subo’ pun segera mengajak kami ke ruang perpustakaan desa. Apresiasi berupa pujian dan kagum segera keluar dari ucapan Ahmad Sahide, prihal perpustakaan desa, yang menurutnya amat langka ia jumpai, dengan profil yang seperti itu. Dari situlah kemudian, pak Subo’ menceritakan kepada kami bahwa perpustakaan desa Labbo menjadi salah satu percontohan perpustakaan desa secara nasional. Ada rasa syukur yang tak terkira bagi saya, karena provokasi tentang pentingnya perpustakaan yang selama ini saya gumuli bersama pak Subo’, setidaknya sudah punya hasil.
            Dari cerita pak Subo’ tentang prestasi itulah kemudian memunculkan pertanyaan dari Ahmad Sahide, bagaimana asal muasal ceritanya sehingga perpustakaan desa Labbo menjadi percontohan secara nasional. Maka dengan semangat nostalgik dari saya dan pak Subo’ pun mulai bahu membahu bercerita tentang perpustakaan Desa tersebut.
            Saya sendiri sudah lupa kapan persisnya program ini kami mulai. Tetapi, semua bermula dari setelah pak Subo’ mengikuti pelatihan  pengelolaan perpustakaan desa yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Wilayah Sul-Sel (?), selama dua hari di Makassar. Pasca pelatihan tersebut, pak Subo’ tidak langsung balik ke desa Labbo, melainkan mencari orang yang bisa membantu mem-follow up-i gagasan-gagasan yang didapat selama pelatihan, dan pilihannya pun jatuh pada saya. Dari pertemuan saya dengan pak Subo’ inilah provokasi pembenahan perpustakaan desa dan peningkatan minat baca warga kami rancang.
            Beberapa waktu kemudian, saya pun meluncur ke Bantaeng – hitung-hitung mudik— dan segera saya buat janjian dengan pak Subo’ untuk merancang kegiatan yang akan kami laksanakan. Saya pun meluncur ke desa Labbo guna melihat secara langsung lokasi agar apa yang akan kami lakukan benar-benar kena sasaran. Setiba di lokasi, tepatnya di balai desa, setelah bincang-bincang seadanya, saya pun di ajak oleh pak Subo’ untuk melihat sebuah ruangan, yang lebih mirip gudang, karena memang saat itu ada gabah dan coklat. Tetapi mata saya tertuju pada salah satu sudut ruangan yang di situ ada lemari, dan ternyata isinya adalah buku-buku yang kondisinya sangat memprihatinkan. Coba bayangkan saja, buku-buku meski dalam lemari tapi di situ pula ada gabah dan coklat, benar-benar ruangan paradoksal.
            Ada pertanyaan yang diajukan oleh pak Subo’ kepada saya kala itu. “Kanda bagaimana caranya agar masyarakat saya mau membaca buku-buku ini ?”. Saya tertegun, sambil menjawab sekaligus bercanda dan bertanya; “kenapa kau bikin akuarium buku di sini?. Buku-buku ini karena tidak dibaca dan hanya dipajang dalam lemari itu sama saja dengan akuarium ikan, yang di dalamnya ada ikan-ikan yang kita plototi”. Saya pun lanjut bertanya;” dari mana saja kau perolah buku-buku Subo’ pun mengatakan bahwa buku-buku tersebut dia perolah dari salah satu LSM yang memang menangai proyek pengadaan buku.
            Lalu, saya pun mengamati buku-buku tersebut, dan saya langsung katakan bahwa salah satu penyebab buku-buku ini tidak diminati untuk dibaca karena kurang tepat guna bagi masyarakat. Sebagai contoh saja, buku yang berjudul Menanam Semangka Tanpa Biji, apa gunanya buku ini bagi warga desa Labbo yang daerahnya berada di ketinggian dengan curah hujan yang lumayan tinggi ?. Seharusnya buku tersebut cocoknya diberikan pada masyarakat-petani yang memang membudidayakan semangka. Dan memang tidak sedikit proyek pengadaan buku salah sasaran, saya kira temuan saya di desa Labbo ini hanyalah salah satu contoh saja.
            Berbekal bincang-bincang awal inilah kemudian kami merancang program kegiatan untuk mengadvokasi perpustakaan desa Labbo tersebut. Saya pun menawarkan dua program, yang pertama pelatihan manajemen taman baca, untuk calon pengelolah dan yang kedua pelatihan peningkatan minat baca-tulis, khususnya bagi kaum muda, yang dalam hal ini dikoordinasi oleh karangtaruna desa Labbo. Dan, sepekan kemudian pun kegiatan itu kami laksanakan.        
Pada pelatihan calon pengelolah perpustakaan desa, saya rancangkan materi pelatihan berupa; Filosofi dan motivasi mendirikan taman baca, yang di dalamnya berisi materi sajian:         
  1. Taman Baca sebagai pilar penyangga peradaban
  2. Taman Baca merupakan Kerja-kerja peradaban
  3. Kerja peradaban merupakan kerja-kerja kenabian
  4. Mendirikan Taman membaca merupakan kerja kenabian.

Manajemen Pengelolaan
  1. Koleksi merupakan inti dari keberadaan taman baca
  2. Pencatatan Koleksi
  3. Sumber koleksi—a. Hibah-sumbangan, b. Swadaya-pengadaan c. Peminjaman-invidu-kolektif.
  4. Pembentukan Pengurus

Program Kerja
  1. Mengadakan pelatihan-pelatihan
  2. Diskusi-kajian
  3. lomba-kompetisi
  4. mading-bulletin.
  5. Nonton bareng

Sedangkan untuk pelatihan peningkatan minat belajar-baca-tulis bagi karangtaruna, dilaksanakan Quantum Training ( Learning, Reading dan Writing). Dengan mengadaptasi hasil pelatihan yang saya pernah ikuti pada Pak Hernowo—penulis buku, trainers yang berkaitan dengan motivasi belajar, membaca dan menulis—saya kemudian melatih karangtaruna tersebut.
            Materi-materi yang disajikan dalam quantum training ini adalah:
  1. Quantum Learning: Bagaimana belajar yang menyenangkan
  2. Quantum Reading : Bagaimana Membaca sebagain sebuah kebutuhan
  3. Quantum Writing : Bagaimana menulis sebagai sebuah terapi

Segera setelah pelatihan tersebut, barulah kemudian perpustakaan desa dibenahi. Gabah dan coklat yang ikut numpang di gudang tersebut dicarikan tempat lain, dan gudang itu pun disulap menjadi ruang baca. Kemudian, lewa ADD Labbo, pak Subo’ selaku kepala desa mengeluarkan anggaran untuk pembelian buku dan peralatan perpustakaan. Bukan itu saja, pak Subo’ pun mengangkat staf yang khusus bertugas di perpustakaan.
Apa hasil yang segera kelihatan waktu itu? Perpustakaan ramai dikunjungi, bahkan perkembangannya kemudian warga meminta koleksi-buku baru karena buku yang  ada sudah pada dibaca, hingga tiga kali. Dan dari permintaan warga inilah, kemudia pak Subo’ mengangarkan pembelian buku setiap tahunnya lewat ADD – saat ini koleksi buku sudah mencapai seribuan. Dan ternyata, kebijakan pak Subo’ yang menggarkan dana desa untuk perpustakaan melambungkan namanya, yang pada akhirnya menjadi salah satu poin penting penilaian dari ditunjuknya desa Labbo untuk mewakili Kab. Bantaeng mengikuti lomba desa tingkat provinsi dan nasional.
Peristiwa demi peristiwa yang kami ceritakan pada Ahmad Sahide, tak terasa berlangsung kurang lebih sejam. Rangkaian peristiwa yang berlangsung kurang lebih 5 tahun yang lalu hingga sekarang, menggambarkan bahwa sebuah keberhasilan tidaklah diraih secara instan. Kami tidak tau persis apa yang ada di benak dan alam pikiran dari Ahmad Sahide, tetapi sebagai penulis ia telah berjanji kepada kami akan menulis sesuatu tentang perpustakaan desa Labbo. Dan sebelum pamit, Ahmad Sahide berkenan memberikan sumbangan buku yang ditulisnya sendiri, berjudul : Kebebasan dan Moralitas, sejumlah 2 eksamplar, hal mana buku tersebut telah didiskusikan sehari sebelumnya di Rumah Baca Boetta Ilmoe.
Sambil menunggu apa yang akan ditulis oleh Ahmad Sahide, yang pasti dua hari kemudian (12 Mei 2011), pak Subo’ selaku kepala desa Labbo, didampingi oleh ibu Esta Ahmad Karim sebagai kepala perpustakaan daerah dan ditemani oleh ibu Nurhasni selaku Camat Bantaeng, diundang oleh TVRI Makassar untuk hadir dalam acara dialog-live pada program Hallo Bantaeng, dengan topik dialog, “Peningkatan Minat Baca Di Kabupaten Bantaeng”. Selamat saya ucapkan untuk Pak Subo’ atas kegigihannya membangun desa Labbo, dan saya hanya bisa berharap kepada kita semua, mungkin ada saatnya untuk belajar pada desa Labbo, mari belajar ke desa Labbo untuk membangun perpustakaan desa, sehingga desa-desa di seluruh tanah air menjadi pilar-pilar penyangga bagi tanah air ini, Indonesia. Dari Labbo untuk Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar