MARI BELAJAR KE DESA LABBO
Oleh Sulhan Yusuf
Oleh Sulhan Yusuf
Sebab awal dari tulisan ini adalah ketika
saya menerima SMS dari Subhan Ya’kub, S.Ag, Kepala Desa Labbo, yang berbunyi; “
Alhamdulillah perpustakaan kantor Desa labbo masuk percontohan perpustakaan
desa se-Indonesia kanda”. Ada rasa haru, gembira, senang, gelisah bercampur
aduk. Tapi yang pasti adalah rasa bahagia yang tak terbayangkan akan apa yang
pernah saya bayangkan beberapa waktu silam. Dan dua pekan kemudian, saya pun ke
Desa Labbo untuk menginvestigasi perkembangan mutakhir dari perpustakaan itu,
yang memang sekitar 6 bulan terakhir belum saya tengok.
Setiba di desa Labbo, sambutan
yang amat hangat dari pak kepala desa, dan
segera kami dipersilahkan duduk
di balai desa, yang beberapa waktu lalu saya memberikan tausiah kepada
masyarakat desa Labbo prihal situasi masyarakat yang saat itu sakit dikarenakan
salah satu penyebabnya adalah pilkada. Saya memperkenalkan seorang kawan –
Ahmad Sahide, seorang penulis buku dari Yogyakarta—kepada pak kepala desa. Ada hal yang menarik, karena
pak Subo’ – sebagaimana saya sering memanggilnya—seakan tidak percaya karena
yang saya bawa adalah seorang penulis buku, padahal selama ini yang sering saya
bawa adalah buku, untuk perpustakaan desa.
Akhirnya, pak Subo’ pun
segera mengajak kami ke ruang perpustakaan desa. Apresiasi berupa pujian dan
kagum segera keluar dari ucapan Ahmad Sahide, prihal perpustakaan desa, yang
menurutnya amat langka ia jumpai, dengan profil yang seperti itu. Dari situlah
kemudian, pak Subo’ menceritakan kepada kami bahwa perpustakaan desa Labbo
menjadi salah satu percontohan perpustakaan desa secara nasional. Ada rasa syukur
yang tak terkira bagi saya, karena provokasi tentang pentingnya perpustakaan
yang selama ini saya gumuli bersama pak Subo’, setidaknya sudah punya hasil.
Dari cerita pak Subo’
tentang prestasi itulah kemudian memunculkan pertanyaan dari Ahmad Sahide, bagaimana
asal muasal ceritanya sehingga perpustakaan desa Labbo menjadi percontohan
secara nasional. Maka dengan semangat nostalgik dari saya dan pak Subo’ pun
mulai bahu membahu bercerita tentang perpustakaan Desa tersebut.
Saya sendiri sudah lupa
kapan persisnya program ini kami mulai. Tetapi, semua bermula dari setelah pak
Subo’ mengikuti pelatihan pengelolaan
perpustakaan desa yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Wilayah Sul-Sel (?),
selama dua hari di Makassar. Pasca pelatihan tersebut, pak Subo’ tidak langsung
balik ke desa Labbo, melainkan mencari orang yang bisa membantu mem-follow up-i
gagasan-gagasan yang didapat selama pelatihan, dan pilihannya pun jatuh pada
saya. Dari pertemuan saya dengan pak Subo’ inilah provokasi pembenahan
perpustakaan desa dan peningkatan minat baca warga kami rancang.
Beberapa waktu kemudian,
saya pun meluncur ke Bantaeng – hitung-hitung mudik— dan segera saya buat
janjian dengan pak Subo’ untuk merancang kegiatan yang akan kami laksanakan.
Saya pun meluncur ke desa Labbo guna melihat secara langsung lokasi agar apa
yang akan kami lakukan benar-benar kena sasaran. Setiba di lokasi, tepatnya di
balai desa, setelah bincang-bincang seadanya, saya pun di ajak oleh pak Subo’
untuk melihat sebuah ruangan, yang lebih mirip gudang, karena memang saat itu
ada gabah dan coklat. Tetapi mata saya tertuju pada salah satu sudut ruangan
yang di situ ada lemari, dan ternyata isinya adalah buku-buku yang kondisinya
sangat memprihatinkan. Coba bayangkan saja, buku-buku meski dalam lemari tapi
di situ pula ada gabah dan coklat, benar-benar ruangan paradoksal.
Ada pertanyaan yang
diajukan oleh pak Subo’ kepada saya kala itu. “Kanda bagaimana caranya agar
masyarakat saya mau membaca buku-buku ini ?”. Saya tertegun, sambil menjawab
sekaligus bercanda dan bertanya; “kenapa kau bikin akuarium buku di sini?.
Buku-buku ini karena tidak dibaca dan hanya dipajang dalam lemari itu sama saja
dengan akuarium ikan, yang di dalamnya ada ikan-ikan yang kita plototi”. Saya
pun lanjut bertanya;” dari mana saja kau perolah buku-buku Subo’ pun mengatakan
bahwa buku-buku tersebut dia perolah dari salah satu LSM yang memang menangai
proyek pengadaan buku.
Lalu, saya pun mengamati
buku-buku tersebut, dan saya langsung katakan bahwa salah satu penyebab
buku-buku ini tidak diminati untuk dibaca karena kurang tepat guna bagi
masyarakat. Sebagai contoh saja, buku yang berjudul Menanam Semangka Tanpa
Biji, apa gunanya buku ini bagi warga desa Labbo yang daerahnya berada di
ketinggian dengan curah hujan yang lumayan tinggi ?. Seharusnya buku tersebut
cocoknya diberikan pada masyarakat-petani yang memang membudidayakan semangka.
Dan memang tidak sedikit proyek pengadaan buku salah sasaran, saya kira temuan
saya di desa Labbo ini hanyalah salah satu contoh saja.
Berbekal bincang-bincang
awal inilah kemudian kami merancang program kegiatan untuk mengadvokasi
perpustakaan desa Labbo tersebut. Saya pun menawarkan dua program, yang pertama
pelatihan manajemen taman baca, untuk calon pengelolah dan yang kedua pelatihan
peningkatan minat baca-tulis, khususnya bagi kaum muda, yang dalam hal ini
dikoordinasi oleh karangtaruna desa Labbo. Dan, sepekan kemudian pun kegiatan
itu kami laksanakan.
Pada pelatihan calon pengelolah perpustakaan desa,
saya rancangkan materi pelatihan berupa; Filosofi dan motivasi mendirikan taman
baca, yang di dalamnya berisi materi sajian:
- Taman Baca sebagai pilar penyangga peradaban
- Taman Baca merupakan Kerja-kerja peradaban
- Kerja peradaban merupakan kerja-kerja kenabian
- Mendirikan Taman membaca merupakan kerja kenabian.
Manajemen Pengelolaan
- Koleksi merupakan inti dari keberadaan taman baca
- Pencatatan Koleksi
- Sumber koleksi—a. Hibah-sumbangan, b. Swadaya-pengadaan c. Peminjaman-invidu-kolektif.
- Pembentukan Pengurus
Program Kerja
- Mengadakan pelatihan-pelatihan
- Diskusi-kajian
- lomba-kompetisi
- mading-bulletin.
- Nonton bareng
Sedangkan untuk pelatihan
peningkatan minat belajar-baca-tulis bagi karangtaruna, dilaksanakan Quantum
Training ( Learning, Reading dan Writing). Dengan mengadaptasi hasil pelatihan
yang saya pernah ikuti pada Pak Hernowo—penulis buku, trainers yang berkaitan
dengan motivasi belajar, membaca dan menulis—saya kemudian melatih karangtaruna
tersebut.
Materi-materi yang
disajikan dalam quantum training ini adalah:
- Quantum Learning: Bagaimana belajar yang menyenangkan
- Quantum Reading : Bagaimana Membaca sebagain sebuah kebutuhan
- Quantum Writing : Bagaimana menulis sebagai sebuah terapi
Segera setelah pelatihan tersebut, barulah
kemudian perpustakaan desa dibenahi. Gabah dan coklat yang ikut numpang di
gudang tersebut dicarikan tempat lain, dan gudang itu pun disulap menjadi ruang
baca. Kemudian, lewa ADD Labbo, pak Subo’ selaku kepala desa mengeluarkan
anggaran untuk pembelian buku dan peralatan perpustakaan. Bukan itu saja, pak Subo’
pun mengangkat staf yang khusus bertugas di perpustakaan.
Apa hasil yang segera kelihatan waktu itu?
Perpustakaan ramai dikunjungi, bahkan perkembangannya kemudian warga meminta
koleksi-buku baru karena buku yang ada
sudah pada dibaca, hingga tiga kali. Dan dari permintaan warga inilah, kemudia
pak Subo’ mengangarkan pembelian buku setiap tahunnya lewat ADD – saat ini
koleksi buku sudah mencapai seribuan. Dan ternyata, kebijakan pak Subo’ yang
menggarkan dana desa untuk perpustakaan melambungkan namanya, yang pada
akhirnya menjadi salah satu poin penting penilaian dari ditunjuknya desa Labbo
untuk mewakili Kab. Bantaeng mengikuti lomba desa tingkat provinsi dan
nasional.
Peristiwa demi peristiwa yang kami ceritakan pada
Ahmad Sahide, tak terasa berlangsung kurang lebih sejam. Rangkaian peristiwa
yang berlangsung kurang lebih 5 tahun yang lalu hingga sekarang, menggambarkan
bahwa sebuah keberhasilan tidaklah diraih secara instan. Kami tidak tau persis
apa yang ada di benak dan alam pikiran dari Ahmad Sahide, tetapi sebagai
penulis ia telah berjanji kepada kami akan menulis sesuatu tentang perpustakaan
desa Labbo. Dan sebelum pamit, Ahmad Sahide berkenan memberikan sumbangan buku
yang ditulisnya sendiri, berjudul : Kebebasan dan Moralitas,
sejumlah 2 eksamplar, hal mana buku tersebut telah didiskusikan sehari
sebelumnya di Rumah Baca Boetta Ilmoe.
Sambil menunggu apa yang akan ditulis oleh Ahmad Sahide, yang pasti dua
hari kemudian (12 Mei 2011), pak Subo’ selaku kepala desa Labbo, didampingi
oleh ibu Esta Ahmad Karim sebagai kepala perpustakaan daerah dan ditemani oleh
ibu Nurhasni selaku Camat Bantaeng, diundang oleh TVRI Makassar untuk hadir
dalam acara dialog-live pada program Hallo Bantaeng, dengan topik dialog,
“Peningkatan Minat Baca Di Kabupaten Bantaeng”. Selamat saya ucapkan untuk Pak
Subo’ atas kegigihannya membangun desa Labbo, dan saya hanya bisa berharap
kepada kita semua, mungkin ada saatnya untuk belajar pada desa Labbo, mari
belajar ke desa Labbo untuk membangun perpustakaan desa, sehingga desa-desa di
seluruh tanah air menjadi pilar-pilar penyangga bagi tanah air ini, Indonesia.
Dari Labbo untuk Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar