PENDIDIKAN BERBASIS LINGKUNGAN:
PERSPEKTIF TEOLOGI-SOSIAL*)
Oleh Sulhan Yusuf**)
“Bumi bukanlah milik kita, tapi titipan anak
cucu”
Apa sesungguhnya yang terjadi
dengan bumi, tempat kita berpijak bersama saat ini? Saya ingin mengawali
tulisan ini dengan cerita ketika masih kanak-kanak dahulu. Dahulu, tepatnya
sekitar tahun 70-an, saya menyaksikan di Kabupaten Bantaeng masih penuh dengan
misteri. Kayu Lompoa, Allu, Borong Sapiria, Onto, Loka dan Lanying adalah
tempat-tempat yang masih sangat hijau. Ada hal yang menarik, manakala hujan
lebat terjadi maka bermunculan air terjun atau istilah dulunya “bantimurung”
yang jumlahnya bisa sampai mencapai 7 titik.
Kalau hujan lebat, sehingga
muncul “bantimurung” tersebut, seakan-akan memberi isyarat bagi kita yang
berada di kota untuk waspada, karena tidak lama kemudian air sungai akan
meluap-banjir. Dan kami pun, anak-anak akan segera menikmati wisata domestik,
berupa mandi-mandi di sungai, karena akan ada liku ( air sungai yang mempunyai
kedalaman yang cukup dalam) yang tercipta. Sehingga, ada beberapa liku yang
cukup disegani, misalnya liku Tinggia dan liku Jalanjang. Dan pada saat yang
sama, setelah air sungai normal, maka kami pun siap-siap mancing ikan
(ombo-ombo, bua mata dan balanak) dan .annado doang ( menangkap udang).
Bila musim libur tiba, oleh orang
tua, saya pun diajak bekerja di kebun, tepatnya di Ereng-Ereng. Apa yang
menarik dari liburan-kerja tersebut? Saya banyak menyaksikan pohon-pohon yang
begitu besar, tinggi dan rindang di antara pohon-pohon kopi. Satwanya apalagi,
saya sangat menikmati indahnya burung-burung, semisal; Jarolli, Kille-Kille,
Jalampiporo, Awu, Ballang Kallong, Bakowang, cikong-cikong, Pa’niki dsbnya.
Begitu juga, disela-sela
kegembiraan itu, masih juga bisa menikmati laut dan pantainya di dekat rumah
nenek, tepatnya di sekitar Tompong. Seperti pada umumnya anak-anak, main bola
di pantai sambil mandi air laut, nangkap kalomang, abbolu-bolu (mencari bibit
ikan bandeng dan udang) sambil menikmati tenggelamnya matahari sore.
Lalu apa yang saya lihat dan
saksikan hari ini? 40 tahun kemudian?
Tidak ada lagi misteri, semuanya sudah telanjang. Gunung yang dulunya hijau,
kini berubah menjadi coklat karena sudah gundul. ‘Bantimurung’ tidak pernah
muncul lagi, seakan gunung sudah tidak perlu lagi memberi isyarat akan
datangnya banjir. Liku-liku yang bisa mengajari keberanian anak-anak untuk
berenang sudah pada hilang, karena sungai menjadi dangkal. Wahai para burung
dengan kicaumu, kemana kau pergi? Dan terakhir, dimana lagi bisa mandi air laut
yang bersih dan main bola pantai?
Kehidupan sehari-hari pun kini
berubah. Iklim yang tidak menentu, panas yang berlebihan, hujan yang tak terduga,
dan hebatnya lagi Bantaeng pun menjadi salah satu daerah yang menjadi rawan
banjir. Apa yang akan terjadi kalau keadaan ini berlangsung terus menerus dan
tidak ada upaya untuk mengeremnya? Apalagi kalau keadaan di Bantaeng ini juga
berlangsung di daerah lain? Dan itu sudah terjadi! Jawabannya sangat
spektakuler, Indonesia menjadi negara rangking 4 perusak lingkungan, dan itu
berarti kita pun akan masuk dalam perbincangan masalah lingkungan global, yang
kemudian di kenal dengan istilah pemanasan global.
Pemanasan Global (Global
Warming)
Cuaca yang panas, bencana alam,
angin puting-beliung, semburan gas hingga curah hujan yang tak menentu, kesemua
itu adalah tanda-tanda alam yang
menunjukkan bahwa ada masalah dengan bumi kita ini. Dan ini terkait langsung
dengan isu lingkungan berupa adanya pemanasan global, yaitu peningkatan suhu
rata-rata permukaan bumi. Mengapa suhu bumi meningkat? Hal ini diakibatkan oleh
adanya gas-gas rumah kaca (efek rumah kaca), yang dihasilkan oleh aktifitas
manusia. Aktifitas seperti; Peternakan, pembakaran bahan bakar fosil pada
kendaraan bermotor, pabrik-pabrik modern serta pembangkit tenaga listrik adalah aktifitas yang menyumbang gas-gas
rumah kaca.
Apa yang dimaksud dengan gas
rumah kaca? Atmosfer bumi terdiri dari
bermacam-macam gas dengan fungsi yang berbeda-beda. Kelompok Atmosfer gas yang
menjaga suhu permukaan bumi agar tetap hangat dikenal dengan istilah “gas rumah
kaca”. Disebut gas rumah kaca karena sistem kerja gas-gas tersebut di atmosfer
bumi mirip dengan cara kerja rumah kaca yang berfungsi menahan panas matahari
di dalamnya agar suhu di dalam rumah kaca tetap hangat, dengan begitu tanaman
di dalamnya pun akan dapat tumbuh dengan baik karena memiliki panas matahari
yang cukup. Planet kita pada dasarnya membutuhkan gas-gas tesebut untuk menjaga
kehidupan di dalamnya. Tanpa keberadaan gas rumah kaca, bumi akan menjadi terlalu
dingin untuk ditinggali karena tidak adanya lapisan yang mengisolasi panas
matahari. Sebagai perbandingan, planet mars yang memiliki lapisan atmosfer
tipis dan tidak memiliki efek rumah kaca memiliki temperatur rata-rata -32o
Celcius.
Kontributor terbesar pemanasan global saat ini adalah
Karbon Dioksida (CO2), metana (CH4) yang dihasilkan agrikultur dan peternakan
(terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari
pupuk, dan gas-gas yang digunakan untuk kulkas dan pendingin ruangan (CFC).
Rusaknya hutan-hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyimpan CO2 juga makin
memperparah keadaan ini karena pohon-pohon yang mati akan melepaskan CO2 yang
tersimpan di dalam jaringannya ke atmosfer. Setiap gas rumah kaca memiliki efek
pemanasan global yang berbedabeda. Beberapa gas menghasilkan efek pemanasan
lebih parah dari CO2. Sebagai contoh sebuah molekul metana menghasilkan efek
pemanasan 23 kali dari molekul CO2. Molekul NO bahkan menghasilkan efek
pemanasan sampai 300 kali dari molekul CO2. Gas-gas lain seperti
chlorofluorocarbons (CFC) ada yang menghasilkan efek pemanasan hingga ribuan
kali dari CO2. Tetapi untungnya pemakaian CFC telah dilarang di banyak negara
karena CFC telah lama dituding sebagai penyebab rusaknya lapisan ozon. (http://www.worldwatch.org/node/6294).
Lalu apa dampak dari pemanasan Global? Pertama, mencairnya es di kutub
utara dan selatan, yang menurut publikasi dari Dr.H.J. Zwally, seorang ahli
iklim dari Nasa, yang memprediksikan bahwa hampir semua es di kutub utara akan
lenyap antara tahun 2008-2012. Kedua, meningkatnya level
permukaan air laut. Sebagai akibat dari mencairnya es di kutub utara dan
selatan maka permukaan air laut diperkirakan akan naik sampai sekitar 7 meter.
Ketiga,
Perubahan iklim/cuaca yang semakin ekstrim. Hasil publikasi Nasa menunjukkan
bahwa, pemanasan global berimbas pada semakin ekstrimnya perubahan cuaca dan
iklim bumi. Pola curah hujan berubah-ubah tanpa dapat diprediksi sehingga
menyebabkan banjir di satu tempat , tetapi kekeringan di tempat yang lain.
Keempat,
gelombang panas menjadi semakin ganas, dan semakin sering terjadi. Kelima,
Habisnya gletser – sumber air bersih, yang pada akhirnya mengancam ketersediaan
air bersih, dan pada jangka panjang akan turut menyumbang peningkatan level air
laut dunia.
Apa yang harus dilakukan ? dan dari mana mesti mulai?
Agar bumi ini masih bisa eksis di masa depan? Sehingga kita benar-benar sebagai
manusia yang hidup saat ini masih bisa dipercayai oleh anak cucu yang
menitipkan bumi ini di pundak kita? Pada konteks ini, urgensi pendidikan dalam
maknanya yang sangat luas (formal, informal dan non-formal) menjadi ujung
tombak dalam mengkritisi dan sekaligus memberikan solusi. Setidaknya, tulisan
ini menyajikan perspektif pendidikan
yang bersifat informal dan non-formal, dengan
pendekatan teologis dan sosial.
Teologi Lingkungan
Cara memahami agama menjadi sangat penting, agar agama
bisa turut berpartisipasi dan berkontribusi dalam menyelesaikan masalah-masalah
kemanusiaan, include masalah lingkungan hidup yang sudah parah saat ini.
Mengapa agama perlu dilibatkan dalam masalah lingkungan ini?
Melibatkan agama dalam mengurus lingkungan merupakan
harapan besar bagi para aktivis lingkungan karena para pemimpin agama dapat
memberikan arahan menggerakkan pengikutnya karena agama memiliki modal yang
tidak dimiliki oleh lembaga dan institusi biasa.
Lebih dari itu, konstituen pemeluk agama adalah nyata.
Di Indonesia seluruh penduduk memeluk enam agama: Islam, Kristiani (Katolik dan
Protestan), Hindu, Buddha, dan Konghucu, dengan total pemeluk 240 juta. Di Asia
saja ada 3 miliar manusia memeluk tiga mayoritas agama: Hindu dan Buddha di
India, Konghucu di China, serta Islam di Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Sebanyak 85% dari 6,79 miliar penduduk dunia ialah penganut
berbagai agama dan aliran kepercayaan: 2,1 miliar pemeluk Kristen, 1,34 miliar
pemeluk Islam, lebih dari 950 juta pemeluk Hindu, 50 juta-70 juta penganut
Daoisme, 24 juta penganut Sikh, 13 juta pemeluk Yahudi (Atlas of Religion,
Earthscan, 2007).
Dalam konteks perubahan iklim, mereka boleh jadi
mempunyai peran penting karena kaum agamawan memiliki 7%-8% lahan bagi habitat
di dunia, memiliki jaringan media, penyedia terbesar lembaga kesehatan dan
pendidikan, serta mengendalikan lebih dari 7% investasi keuangan internasional.
Dengan alasan-alasan inilah, para pemuka agama dinilai akan lebih berpengaruh
besar, terutama apabila jaringan mereka dapat diikutsertakan dalam membangun
kesadaran lingkungan.
Dengan bersandar pada pertimbangan di atas, maka
menjadi sangat urgen untuk merumuskan semacam teologi – cara memahami
agama—lingkungan. Mengapa? Karena agama paling tidak memiliki lima
landasan untuk ikut aktif dalam masalah
lingkungan ini.
Pertama, agama mempunyai referensi, yaitu modal berupa
rujukan akan keyakinan yang diperoleh dari kitab-kitab suci yang mereka miliki.
Kitab suci dan ajaran agama memiliki wisdom kehidupan yang berpotensi untuk
diangkat sebagai bekal dalam penyadaran lingkungan. Kedua, agama terbukti
mempunyai modal untuk saling menghormati atau mampu memberikan penghargaan
terhadap segala jenis kehidupan.
Ketiga, agama—selaras dengan gaya hidup yang ramah
lingkungan—menganjurkan manusia untuk berperilaku hemat dan tidak boros serta
mampu mengontrol pemanfaatan sesuatu agar tidak mubazir. Keempat, agama
menganjurkan kita untuk selalu berbagi kemampuan untuk membagikan kebahagiaan,
baik dalam bentuk harta, amal, maupun aksi sosial lannya. Kelima, agama
menganjurkan kita untuk bertanggung jawab dalam merawat kondisi lingkungan dan
alam. (Kompas, 26/12/2010)
Sudah saatnya kaum agamawan dalam ceramah-ceramah,
khutbah-khutbah, fatwa-fatwanya
memberikan penegasan akan pentingnya masalah lingkungan. Janganlah
seperti saat ini, yang banyak dibicarakan
dan diserukan adalah masalah-masalah yang bersifat ritus-ritus ibadah
dan amat sangat tumpul ketika berbicara masalah social, terutama masalah
lingkungan.
Kesadaran Individual-Sosial
Menjadi tidak bermakna wacana menjaga lingkungan hidup
di bumi manakala masyarakat tidak bergerak untuk mewujudkannya. Mengapa
masyarakat menjadi penting posisinya dalam masalah pelestarian lingkungan
hidup? Karena masyarakat adalah sesuatu yang hidup dan senantiasa bergerak. Dan
yang sangat menentukan dalam masyarakat itu adalah hadirnya individu-individu
yang bertanggung jawab terhadap eksisnya suatu kehidupan bermasyarakat.
Maka dalam kaitan antara tanggung jawab
individu-masyarakat terhadap kelestarian lingkungan hidup di bumi, memerlukan
langkah-langkah konkrit sebagai sebuah tindakan nyata, yang sedapat mungkin
berdampak pada munculnya sebuah gerakan individu-sosial secara menyeluruh.
Sebagai tindakan nyata, amat perlu melakukan hal-hal
berikut sebagai suatu upaya penyelamatan bumi. Saya kutipkan tips dari Panin
Peduli. Pertama, gunakan bola lampu jenis Flurosen alias
Fluorescent Lights CFLs). Kedua, hemat listrik di rumah. Ketiga,
jangan gunakan plastik. Keempat, maksimalkan penggunaan komputer.
Kelima, beli produk lokal. Keenam, praktikkan
prinsip 3 R. Reduce (kurangi konsumsi), Reuse (gunakan kembali barang bekas yang
masih bisa dimanfaatkan) dan Recycle (daur ulang bahan tetentu). Ketujuh,
pelan-pelan singkirkan energi tak terbarukan. Kedelapan, matikan
produk penghisap listrik. Kesembilan, kurangi pemakaian bahan
kimia. Kesepuluh, hijaukan rumah anda.
Dan terakhir sekali saya ingin meringkas tulisan ini
dalam dua judul lagu, yang menggambarkan realitas ideal, menuju ke realitas
kerusakan.
Kolam Susu
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman (Koes Plus)
Kemarau
Panas nian kemarau ini
Rumput2 pun merintih sedih
Rebah tak berdaya
Diterik sang surya
Bagaikan dalam neraka
Curah hujan yang dinanti-nanti
Tiada juga datang meniti
Kering dan gersang menerpa bumi
Yang panas bagai dalamm neraka
Mengapa, mengapa hutanku hilang
Dan tak pernah tumbuh lagi (Rollies)
*) Tulisan ini
disajikan dalam rangka seminar pendidikan berbasis lingkungan yang
diselenggarakan oleh KOSKAR PPB Bantaeng, 19 Mei 2010 bertempat di Gedung
Wanita Bantaeng
**) Penulis
adalah Direktur Paradigma Insitut Makassar, sekaligus Ceo and Owner Toko Buku
BOETTA ILMOE Bantaeng
0 komentar:
Posting Komentar